Bab 7
Alfa sampai di tempat yang ia tuju bersama dengan sahabatnya Gio. Di sana kebanyakan orang-orang pinggiran dan beragama nasrani. Ada sedikit rasa tak yakin di hati Alfa kalau Zara sempat tinggal di tempat ini. Dia adalah seorang gadis muslim yang bisa saja kembali di anggap teroris.
"Apa kau yakin adikmu ada di sini?"
"Aku tidak tau, tetapi wanita tua itu memberitahuku kalau mereka berpisah di sini."
"Bisa juga dia pergi ke kota yang ada di sebelah kota ini, tetapi untuk sekarang kita mencoba mencari tau saja di daerah sini. Mungkin Zara masih berada di sini di salah satu rumah," ucap Gio.
"Entahlah, aku akan mencoba mencarinya di sini. Bagaimanapun caranya aku harus menemukannya," ucap Alfa penuh tekad.
"Aku sudah menyuruh seluruh anak buahku untuk mencari keberadaan Zara di kota ini dan juga kota sebelah."
"Apa anak buahmu itu bisa di percaya?" tanya Alfa sedikit tak yakin.
"Percayalah, mereka detektif yang sudah terlatih, dan sudah sangat handal," ucap Gio penuh keyakinan.
"Oke kali ini aku percayakan semuanya kepadamu," seru Alfa.
***
Zara kembali pergi berjalan-jalan sendirian menyusuri jalanan bersalju di Chicago. Ia memang hampir setiap hari di siang atau sore hari berjalan-jalan hanya untuk menghirup udara segara dan penat di kepalanya.
Ini juga sudah hampir sepekan ia tak bertemu dengan Ali, ia memang sengaja menghindar dari Ali karena belum memiliki jawaban. Ia memang tak bisa memungkiri perasaannya sendiri kalau ia juga menyukai Ali, apalagi Ali pria yang sangat baik, tak kuasa Zara menolaknya. Tetapi apa mau di kata, ia tak memiliki rasa percaya diri. Ia tidak pantas bersanding dengan Ali yang begitu sempurna.
"Lamia!" panggilan itu membuat Zara menoleh dan ia sempat memekik kaget melihat siapa yang menghampirinya.
Zara berjalan mundur saat seseorang yang sangat tak ingin ia temui kini berdiri di hadapannya.
"Apa kabar? kamu menerima bunga-bunga yang aku kirimkan, kan?" Ya Zara sadar sekali kalau sudah tiga hari ini sering sekali kiriman bunga datang kepadanya. Dan siapa lagi pria yang mengirimkannya kalau bukan Rivaldo.
"Aku menunggumu, ku pikir kamu akan datang memenuhi undanganku," seru Rival dengan nada sedih.
"Maaf aku sedang sibuk," jawab Zara dan hendak beranjak tetapi Rival dengan sengaja menghalangi langkahnya.
"Baiklah kita lupakan yang lalu, karena kita sudah bertemu di sini, bagaimana kalau kita makan siang bersama?" ajak Rival membuat Zara semakin tidak nyaman. Tubuhnya sudah di penuhi dengan keringat dingin dan gemetar juga rasa takut.
"Maaf tetapi aku tidak bisa, permisi." Rival kembali menghalangi langkah Zara.
"Kenapa kamu begitu sombong, Miss Lamia? Aku masih menjaga sikapku untuk tidak berlaku kasar padamu," ujar Rival yang mulai kesal karena penolakan dari Lamia.
"Maafkan saya, tetapi saya sangat terburu-buru," ucap Zara dan kali ini dia bisa melewati tubuh Rival yang sudah tidak menghalangi langkah Lamia lagi.
Zara berjalan cepat meninggalkan tempat itu, tak perduli dia harus beberapa kali bertabrakan dengan orang. Ia merasa kepalanya pening dan dadanya sesak, rasa traumanya ini begitu menyiksa dirinya.
"Aww!"
Zara kembali tidak sengaja menabrak seseorang tepat di depan pintu masuk tokonya.
"Apa kau tidak punya mata!" bentaknya.
"Maafkakn saya, Miss-?" ucapan Zara menggantung di udara saat melihat siapa orang yang baru saja dia tabrak. "Meysa...."
"Dasar gadis aneh," serunya tampak kesal. "Kak Ali ayo dong temani aku, kamu kan sudah berjanji padaku," ucapnya dengan manja hingga kini tatapan Zara beralih pada mata tajam nan teduh milik Ali. Keduanya saling menatap satu sama lain, hingga Ali bergerak menjauh karena tarikan dari Meysa.
Tatapan Zara tak teralihkan dari mereka berdua yang kini menjauh darinya. Zara melihat kedekatan Ali dengan Meysa. Ada rasa cemburu di dalam hatinya, tetapi ia juga merasa kalau Ali lebih cocok bersama Meysa daripada dirinya.
***
