Bab 11
Zara tersenyum melihat dirinya di cermin dengan balutan mantel hitam milik Alfa. Tak henti-hentinya ia memeluk dan mencium mantel itu, menghirup aroma tubuh Alfa. "Ya Allah betapa rindunya aku pada Kakakku, " gumam Zara.
Ia lalu mengambil handphone nya dan melihat foto yang ia ambil dari pigura besar itu di rumah Alfa. Ali sengaja mengajak Alfa untuk memeriksa ruangan lain dan mengecek kerusakan yang terjadi. Dan saat itu juga Zara memotret foto yang ada di pigura besar itu.
Zara bersyukur dengan adanya Ali. Ali sungguh membantunya dan ia begitu peka sebagai seorang pria.
Zara tersenyum merekah memeluk mantel itu tanpa sadar Ali mengintip dari balik pintu yang tak tertutup lengkap. Ia bersyukur dan sangat senang melihat senyuman yang sempat hilang kini kembali. Lentera itu perlahan menampakkan cahayanya hingga membuat hati Zara yang tersesat dalam kegelapan kini mulai terang sedikit demi sedikit. Ali berharap Zara mau secepatnya menemui Alfa dan mengakui siapa dia. Karena Ali tau kalau Alfa juga tersesat dalam kegelapan dan ia membutuhkan lentera hatinya.
***
"Zara." Zara menoleh ke sampingnya saat mendengar panggilan dari seseorang. Seperti biasanya ia berdiri di balkon dan menatap hamparan bangunan yang di penuhi salju.
"Aku tau ini terlalu mendadak dan mungkin terlalu cepat. Aku ingin mengetahui jawaban kamu mengenai lamaranku waktu itu," seru Ali yang kini berdiri di sampingnya.
"Bagaimana dengan hubunganmu bersama Meysa?" tanya Zara. "Aku lihat kalian begitu dekat."
"Aku dulu pernah berjanji menemaninya jalan-jalan seharian, dan kemarin sudah aku penuhi janjiku itu. Setelahnya kami tak saling berkomunikasi lagi," jawab Ali dengan sangat jujur.
"Dia terlihat menyukaimu, Kak."
"Tetapi aku tidak menyukainya," seru Ali.
"Sebenarnya aku sedikit heran dan bingung, kenapa rasanya hidupku hanya dalam ruang lingkup mereka. Aku sebenarnya sudah tidak ingin berhubungan ataupun bertemu kembali dengan keluarga dari Mr. Abraham. Tetapi Allah ternyata telah menuliskan takdirku seperti ini." Zara menghirup udara di sana dan kembali melanjutkan ucapannya. "Aku tidak ingin bermasalah dengan Meysa, aku rasa sudah cukup aku bermasalah dengan Kak Rival. Jadi sebaiknya Kak Ali bersama Meysa saja. Dia terlihat begitu menyukaimu, jangan sia-siakan perasaannya," seru Zara berusaha tegar mengatakan semua itu.
"Lalu bagaimana dengan perasaanku kepadamu, apa kamu akan menyia-nyiakannya?" tanya Ali.
"Aku tidak bisa memaksakan perasaanku sendiri, Kak. Aku tidak memiliki perasaan apapun kepadamu. Aku tidak mencintaimu," jawab Zara seraya memalingkan wajahnya karena ia tak ingin Ali melihat matanya yang berkabut.
"Benarkah?" tanya Ali berusaha memungkiri semua yang ia dengar.
"Ia, aku sudah menganggapmu sebagai Kakakku. Keluargamu juga kamu sudah banyak membantuku," ucap Zara.
"Baiklah, terima kasih sudah menjawabnya, aku pergi. Assalamu'alaikum," ucap Ali berlalu pergi meninggalkan Zara sendirian yang kini menjatuhkan air matanya. Sejak tadi ia sudah menahan diri supaya air mata itu tak sampai jatuh dari pelupuk matanya.
'Maafkan aku, Kak Ali.' batin Zara.
***
"Bagaimana bisa semuanya jadi seperti ini, Rival!" amuk Abraham saat ia melihat semua laporan yang ada di atas meja kerja Rival. Ia berdiri penuh murka melemparkan semua berkas itu ke arah meja dengan memegang tongkat hitam.
"Aku tidak tau," jawab Rival seenaknya.
"Bagaimana mungkin kamu bisa menjawab tidak tau? perusahaan kita sudah di ujung tanduk! Ku pikir kau bisa mengurusi perusahaan, nyatanya tidak!" amuk Abraham.
"Sejak awalpun aku sudah menolaknya, aku tidak menyukai profesi seperti ini. Tetapi Dad terus saja memaksaku."
"Kau sungguh tidak berguna! Dan sial Kakakmu pun tak bisa di andalkan. Dia terlalu keras kepala, bagaimana jadi seperti ini!" keluh Abraham memjit ujung hidungnya. Kepalanya terasa mau pecah, ia mempercayakan semuanya pada putera keduanya, tetapi Rival tak memiliki kecerdasan dan keahlian seperti Alfando.
***
