Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sinta

Pagi ini, udara masih mengandung embun tipis ketika Arga duduk termenung di teras rumah. Secangkir kopi hitam yang mulai mendingin diletakkannya di atas meja kayu kecil. Sorot matanya menerawang ke arah jalan setapak yang membelah pemukiman desa. Sunyi, damai, dan terasa jauh dari hiruk-pikuk dunia yang pernah membuatnya lelah.

Dulu, saat usianya baru dua puluh, ia hidup seakan tak punya rem. Dikelilingi banyak wanita, berpindah dari satu hubungan ke hubungan lain, menikmati perhatian dan cinta seolah itu hak miliknya yang tak bisa ditawar. Arga tahu dirinya menarik—bukan hanya soal rupa, tapi karena pembawaannya yang tenang, tutur katanya yang ramah, dan caranya membuat orang merasa nyaman. Ia punya semua yang dibutuhkan untuk dicintai. Dan itu jugalah yang dulu membuatnya terjebak dalam kehidupan yang ia pikir penuh warna, padahal perlahan menguras jiwanya.

"Lu tuh ya, kalo udah nemu satu, bisa diem nggak sih?" 

"Emang semua orang harus punya satu doang?" 

"Ya bukan soal jumlah, tapi lo kayak... nyari validasi mulu."

Ucapan itu masih terngiang dalam benaknya. Bukan dari satu orang, tapi dari beberapa wanita yang pernah mengisi hidupnya. Semuanya benar, dan Arga tahu itu. Tapi ia terlalu muda untuk menerima kenyataan, terlalu keras kepala untuk berhenti. Sampai suatu titik... semuanya berubah.

Tiga tahun lalu, ia memutuskan berhenti dari semuanya. Pekerjaan, hubungan, bahkan lingkungan sosial yang sudah menjeratnya terlalu dalam. Ia pergi. Memilih sunyi, memilih untuk menata kembali hidupnya yang berserakan.

Sejak kembali ke desa ini, Arga seperti menemukan kembali jati dirinya. Ia mulai bangun pagi tanpa harus memikirkan jadwal kerja, mulai menanam beberapa tanaman di halaman rumah, mulai membaca buku yang dulu hanya dibeli lalu disimpan. Ia belajar menjadi manusia yang lambat. Dan anehnya, itu membuatnya bahagia.

Pagi ini pun seperti itu. Setelah menghabiskan kopi, Arga melangkah ke luar rumah, mengenakan kaus lusuh dan celana pendek yang sudah mulai pudar warnanya. Meski ia terlihat biasa saja, siapa sangka, di rekening yang ia biarkan tak tersentuh selama berbulan-bulan, jumlah yang cukup untuk hidup layak selama bertahun-tahun tersimpan rapi. Tapi itu bukan lagi sesuatu yang ingin ia pamerkan.

Langkahnya menyusuri jalan desa, perlahan tapi pasti. Ia menyapa beberapa warga yang kebetulan melintas.

"Mas Arga, jogging ya?" "Iya, Bu. Sekalian nyari angin segar."

Seorang bapak tua duduk di kursi bambu depan rumahnya, melambaikan tangan dengan senyum ramah. Arga membalas, menghampiri sejenak untuk berbasa-basi.

"Lama-lama kamu betah ya di sini." 

"Betah, Pak. Di sini nggak ribet, kepala juga jadi adem."

"Orang kota mah emang gitu. Capek dulu, baru nyari desa."

Arga tertawa kecil. Ia paham betul makna kalimat itu. Jalanan desa pagi itu begitu bersahabat, dan ketika ia sampai di ujung jalan, hamparan sawah hijau menyambut pandangannya. Tanpa ragu, ia melangkah ke tepian pematang, duduk bersila di atas rumput yang masih basah oleh embun.

Angin sepoi meniup pelan. Di kejauhan, suara petani mulai terdengar samar, bercampur tawa anak-anak yang sedang bermain lumpur. Dunia ini terasa jauh dari semua kekacauan yang pernah mengelilinginya.

Dalam diam, Arga membuka ponselnya. Notifikasi tak banyak, hanya beberapa pesan lama dari teman-teman kota yang belum ia balas. Sejak meninggalkan semuanya, ia memang tak lagi suka menjelaskan. Bagi Arga, tidak semua keputusan harus diceritakan, dan tidak semua orang perlu tahu alasannya.

Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk menyembuhkan, tapi belum cukup untuk melupakan. Beberapa kenangan masih datang menghampiri—tentang seseorang yang pernah ia anggap 'yang terakhir', tapi justru meninggalkan luka terdalam. Tentang hubungan yang dulu ia jaga mati-matian, namun akhirnya hancur karena keegoisan keduanya.

"Kenapa kita selalu nyalahin waktu, padahal kita yang nggak pernah benar-benar saling ngerti?"

Pertanyaan itu pernah muncul di benaknya. Tapi sekarang, ia tak lagi mencari jawabannya. Yang ia tahu, ia tak ingin mengulang semua itu.

Langkah kakinya kemudian membawanya ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Warung itu dijaga oleh seorang ibu paruh baya yang sudah ia kenal sejak kecil.

"Mas Arga, udah lari-lari nih ceritanya?" 

"Sedikit, Bu. Tapi lebih banyak jalan kaki sih."

"Capek, Mas? Sini sarapan dulu, masih ada gorengan sama lontong sayur."

Arga tersenyum. "Wah, cocok banget. Saya duduk sini aja ya?"

Ia duduk di bangku kayu panjang. Warung itu sederhana tapi bersih, dan aroma kuah sayur lodeh menggoda perut yang mulai lapar. Tak lama kemudian, sepiring lontong sayur dan segelas teh manis disajikan di depannya.

Sambil makan, Arga memperhatikan orang-orang yang datang silih berganti. Ada ibu-ibu yang baru pulang dari pasar, ada bapak-bapak yang mampir sebelum ke sawah, dan ada pula anak-anak sekolah dasar yang jajan sebelum berangkat.

Dunia kecil yang hangat, yang tak ia temukan di kota besar.

Tiba-tiba, suara lembut menyapa dari belakangnya. "Masih suka makan lontong ya?"

Arga menoleh cepat. Ada sesosok wanita berdiri dengan senyum manis. Wajahnya terasa familiar, namun Arga tak bisa langsung mengingat siapa dia. Pakaiannya sopan, berkerudung lembut warna krem.

Arga mengerutkan dahi, mencoba mengingat.

"Eh… kita pernah kenal, ya?" 

"Kita sering main layangan di lapangan waktu kecil."

Arga tertawa kecil, masih mencoba menyusun potongan-potongan ingatan. Wanita itu hanya tersenyum, seolah menikmati wajah bingung Arga.

"Saya duduk ya?" 

"Silakan, sini."

Mereka duduk berseberangan. Arga memandangi wajahnya dengan seksama. Ada satu nama yang perlahan mulai muncul di benaknya, namun belum cukup kuat untuk ia ucapkan.

Warung itu tetap ramai, namun waktu terasa melambat untuk mereka berdua. Dalam hati, Arga tahu… desa ini belum selesai mengenalkannya pada masa lalunya.

Dan mungkin, juga belum selesai membentuk masa depannya.

Arga mengerutkan dahi, mencoba mengingat.

Waktu seperti menahan napas sejenak ketika Arga memandangi perempuan yang kini duduk di hadapannya. Senyumnya tak berubah—hangat, lembut, dan sedikit jahil, seperti yang pernah ia lihat saat mereka masih sama-sama berlarian di pematang sawah, berebut layangan yang putus di sore hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda kini. Wajah itu... tak lagi seperti kenangan masa kecil yang samar.

Perempuan itu bernama Sinta.

Dulu, mereka hanya teman bermain. Masa kecil mereka diisi oleh lumpur, air hujan, dan debu jalanan desa. Tak ada romansa, tak ada kesadaran akan pesona rupa. Arga kecil hanya tahu bahwa Sinta pandai memanjat pohon, selalu menang lomba tarik tambang, dan bisa tertawa lebih keras dari anak laki-laki manapun. Ia tomboy, keras kepala, dan nyaris tak pernah memakai baju yang bersih lebih dari satu jam.

Dan sekarang… Arga merasa seolah dunia sedang menggodanya dengan cara yang sangat halus.

Sinta tampak begitu berbeda. Perempuan dewasa di hadapannya ini tampil sederhana, dengan kerudung krem polos dan gamis longgar berwarna senada. Tak ada perhiasan mencolok, tak ada make-up yang tebal. Namun justru kesederhanaan itulah yang membuat Arga merasa silau. Ia belum pernah begitu memperhatikan mata seseorang seperti ini. Tenang, teduh, dan… entah mengapa, menenangkan.

"Makan aja dulu, nanti keburu dingin tuh kuahnya."

Suara Sinta membuyarkan lamunannya. Arga mengangguk, sedikit salah tingkah, lalu menyendok lontong sayur yang mulai kehilangan panasnya.

"Eh... kamu tinggal di sini sekarang?" 

"Iya. Udah hampir seminggu balik ke desa. Pindah total kayaknya."

Sinta tampak terkejut. "Wah... tumben. Biasanya juga cuma sebentar terus balik kota."

Arga tersenyum tipis. "Bosan aja. Capek juga sama hiruk pikuk kota. Di sini lebih tenang."

Sinta hanya mengangguk. Suasana sempat diam beberapa saat, tapi bukan keheningan yang canggung. Justru sebaliknya, ada rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Seakan semesta memang sengaja mempertemukan mereka di titik ini—bukan karena kebetulan, tapi karena waktunya memang telah datang.

Dari sudut pandang Arga, pertemuan ini terasa seperti potongan puzzle yang lama hilang. Sinta adalah bagian dari masa lalu yang dulu tak pernah ia pikir akan berarti. Ia hanya teman masa kecil, tak lebih. Tapi sekarang, perempuan itu hadir dalam bentuk yang jauh berbeda—dan pesona itu perlahan menumbuhkan sesuatu yang telah lama Arga kubur: rasa ingin mengenal lebih jauh.

Sinta sendiri, tanpa ia sadari, telah tumbuh menjadi perempuan yang memikat dalam diam. Tak hanya soal rupa, tapi juga dari caranya bicara, dari tawa kecilnya yang ditahan, dari gestur tangannya yang sederhana saat menata kerudungnya yang tertiup angin. Semuanya seperti musik tenang yang tak butuh banyak nada untuk terasa indah.

"Aku kira lo udah lupa sama aku," ucapnya sambil menyeruput teh. 

"Sebenernya... tadi aku sempet mikir, ini siapa ya. Tapi senyuman kamu nggak banyak berubah."

Sinta tertawa kecil. "Padahal dulu aku paling sering nyakitin lutut kamu pas main bola di lapangan."

Arga ikut tertawa. "Kamu dulu kayak cowok banget, Sin. Sering bikin aku malu kalah main layangan."

"Ya maaf kalo dulu aku terlalu jago."

Tawa mereka berpadu dengan suasana warung yang mulai sepi. Pagi beranjak siang, namun waktu seolah tak berjalan saat mereka saling mengenang. Arga memandangi Sinta dalam-dalam. Ia tahu, perasaan yang mulai tumbuh ini bukan hanya nostalgia. Ada sesuatu yang baru—seperti benih kecil yang muncul tiba-tiba, tertanam di sela-sela kesunyian hidupnya selama ini.

Setelah sarapan selesai, mereka berjalan beriringan menyusuri jalan kecil menuju pertigaan desa. Sepanjang jalan, obrolan mereka ringan, tentang siapa saja teman kecil yang kini telah menikah, siapa yang merantau, dan siapa yang malah makin tenggelam dalam kehidupan yang sulit ditebak.

Namun, dalam hati Arga, langkah-langkah kecil ini seperti awal dari sesuatu yang lebih besar.

Setibanya di pertigaan, Sinta berhenti. "Rumahku deket sini. Aku belok kanan ya."

Arga mengangguk. "Nanti kita ngobrol lagi ya. Kalo nggak keberatan, kamu bisa main ke rumah."

Sinta tersenyum. "Boleh. Tapi jangan kaget ya, sekarang aku lebih kalem daripada dulu."

Arga membalas senyumnya. "Aku juga. Tapi jujur, lo sekarang... bikin aku agak deg-degan."

Sinta tertawa, lalu melangkah pergi. Arga menatap punggungnya yang menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik pagar rumah tetangga.

Dan saat itu, ia tahu—hidupnya yang selama ini sunyi, mungkin perlahan akan berubah. Ia tak mencari cinta, tapi jika rasa itu datang, Arga tak akan menolaknya.

Karena ternyata, masa lalu menyimpan kejutan yang indah... jika kita bersedia menengoknya kembali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel