Pustaka
Bahasa Indonesia

Lelaki dari Lembah Sunyi

268.0K · Tamat
Brostar
154
Bab
5.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Di balik hamparan sawah dan kabut pagi suasana pedesaan, hidup seorang pria bernama Arga Wiratama, pemuda 27 tahun yang baru kembali ke desa setelah bertahun-tahun tinggal di kota. Ia datang dengan luka lama dan mimpi baru, ingin hidup tenang di desa tempat ia lahir. Namun, desa kecil itu menyimpan lebih banyak rahasia dari yang ia bayangkan. Arga tak pernah menyangka bahwa kehadirannya akan mengguncang kehidupan para perempuan di sekitarnya: Sinta, janda muda tetangga yang diam-diam menyimpan rindu lama. Annisa, istri kepala dusun yang kesepian. Laras, gadis lugu penjaga warung kopi. Rinaya, sahabat masa kecil yang kini telah bersuami. Seiring waktu, hubungan yang awalnya sederhana mulai berubah jadi rumit, mengikat mereka dalam jaring asmara, hasrat, dan perselingkuhan yang tak terhindarkan. Di antara cinta, petualangan, dan godaan, Arga harus memilih: menjadi pelindung, perusak, atau korban dari dunia yang ia bangun sendiri. Lelaki dari Lembah Sunyi adalah kisah tentang cinta yang menggelora di balik kesederhanaan desa, tentang rahasia yang menyala dalam sunyi, dan tentang lelaki yang tak pernah berniat jatuh cinta... pada terlalu banyak perempuan.

RomansaFantasiDewasaPerselingkuhanPengkhianatanCLBKplayboyCoganDrama

Awal Datang

Langit siang itu mendung, menebar bayang kelabu di sepanjang jalan beraspal yang mulai retak dimakan usia. Angin berembus pelan, membawa bau tanah basah dari ladang-ladang yang terbentang di kejauhan. Sebuah bus tua berhenti di tepi jalan kecil, tepat di dekat gapura bertuliskan “Selamat Datang di Dusun Banyu Wangi”.

Pintu bus terbuka dengan desis pelan. Seorang pria turun perlahan, membawa ransel besar di punggungnya dan koper kecil di tangan kiri. Matanya menyapu sekeliling, menatap jalan tanah yang membentang lurus ke arah perkampungan yang mulai tampak samar di balik pepohonan.

Ia menarik napas dalam, membiarkan aroma desa yang khas itu mengisi dadanya—perpaduan antara dedaunan basah, kayu bakar, dan kotoran hewan. Aroma masa kecil.

Kakinya mulai melangkah, pelan tapi pasti. Suara alam menyambutnya; serangga, burung, dan desiran dedaunan yang ditampar angin sore.

Beberapa meter dari gapura, suara berat menyapanya dari balik pagar bambu.

“Eh, ini siapa ya? Nggak asing mukanya.”

Ia menoleh. Seorang lelaki tua berdiri di balik pagar, membawa cangkul di bahu. Rambutnya sudah memutih, kulit keriputnya mengilap oleh keringat.

“Pak Sarno, ya?”

Orang tua itu mengernyit, lalu tertawa.

“Lha iya, bener kamu, Arga? Astaga, udah segede gini. Terakhir lihat kamu masih nyeker lari-larian sama anak-anak di sawah!”

Arga tertawa kecil. “Saya juga nggak nyangka, masih bisa nemu Bapak di sini.”

“Waduh, aku mah nunggu mati aja, Ga. Kabar siapa yang mati duluan juga belum tentu,” seloroh Pak Sarno sambil membuka pagar.

Mereka berjabat tangan sebentar, hangat, sederhana, seperti menyambung kembali benang yang lama putus.

“Numpang lewat aja, Pak. Mau ke rumah.”

“Rumah orang tuamu yang di ujung sana itu?”

“Iya. Mau saya tinggali. Pindah ke sini, istirahat dari kota.”

Pak Sarno mengangguk pelan, lalu menepuk bahunya. “Bagus, bagus. Desa ini butuh anak muda kayak kamu.”

Arga melanjutkan perjalanan, menapaki jalan tanah yang lembap dan dipenuhi dedaunan gugur. Langkahnya berhenti sesaat saat melihat warung kayu kecil di pinggir jalan, atap sengnya miring, tapi masih berdiri tegak.

Dari dalam warung, terdengar suara cempreng yang sudah tak asing baginya. Suara itu dulu sering memarahinya karena suka nyolong jajan.

“Eh, itu Arga ya? Masya Allah, ini anak beneran balik kampung!”

Sosok wanita paruh baya keluar dari warung, mengenakan daster dan kerudung yang digulung seadanya. Di tangannya, sebungkus keripik singkong.

“Iya, Bu. Balik kampung, nih.”

“Waduh, makin ganteng aja. Udah laku belum?”

“Nah, itu pertanyaan yang bikin males jawab, Bu.”

Wanita itu tertawa keras. “Sini mampir dulu, minum teh. Capek tuh pasti jalan dari depan.”

“Lain kali aja ya, saya buru-buru ke rumah dulu. Mau beberes. Tapi makasih tawarannya.”

Ia mengangkat tangan sambil terus berjalan, melewati deretan pohon pisang dan pagar-pagar tua dari kayu. Desa ini seperti tidur panjang selama ia pergi. Tak banyak berubah, hanya terlihat lebih sepi.

Beberapa saat kemudian, Arga sampai di depan rumah yang sudah bertahun-tahun kosong. Catnya mengelupas, jendelanya berdebu, dan rerumputan tumbuh liar di halamannya.

Ia menghela napas. Ranselnya ia letakkan, lalu mengeluarkan kunci yang sudah mulai berkarat. Pintu itu berderit pelan saat terbuka. Bau lembap langsung menyergap, namun tak membuatnya mundur.

Ia melangkah masuk, membuka jendela satu per satu agar cahaya masuk. Debu-debu beterbangan, menari di udara sore yang hangat.

Butuh waktu hampir dua jam baginya untuk membersihkan ruang depan. Lelah, ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, memandangi langit yang mulai menguning di luar sana.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pagar. Suara langkah pelan dan sapaan yang lembut.

“Assalamu’alaikum…”

Arga bangkit dan keluar. Di luar pagar berdiri seorang perempuan muda, mengenakan gamis cokelat dan jilbab besar. Wajahnya teduh, senyumnya lembut.

“Wa’alaikumussalam… Eh, kamu…”

“Masih inget nggak?”

“Wah, gimana lupa… Kamu yang dulu sering ngajak main masak-masakan, kan?”

“Iya… Lama banget ya. Aku kira kamu nggak bakal balik kampung lagi.”

“Ya gini deh, akhirnya sadar juga kota nggak ngasih tenang.”

Perempuan itu tersenyum, matanya menatap rumah di belakang Arga.

“Kalau butuh bantuan, bilang ya. Aku tinggal nggak jauh dari sini. Masih sendiri, jadi waktu juga banyak.”

“Wah, makasih banget… Masih sendiri?”

“Udah pernah, tapi sekarang sendiri lagi.”

Arga hanya mengangguk pelan. Mereka saling bertukar pandang sebentar sebelum perempuan itu pamit pulang.

“Besok-besok mampir, ya…”

“Iya… Hati-hati jalan.”

Ia menatap punggung perempuan itu sampai menghilang di tikungan, lalu menghela napas panjang. Hari pertama saja sudah terasa… aneh.

Malam pun turun perlahan. Suara jangkrik mulai mengisi celah keheningan. Arga menyalakan lampu minyak di ruang depan dan duduk di teras, menatap langit malam yang bertabur bintang.

Lelah hari ini bukan karena pekerjaan, tapi karena kenangan yang pelan-pelan datang lagi. Ia tahu, kedatangannya ke desa bukan hanya tentang tempat tinggal… tapi juga tentang hati yang sedang mencari pulangnya.

Langit pagi di Dusun Banyu Langit begitu jernih. Kabut tipis menggantung di antara pohon jati dan rumpun bambu, sementara embun masih menempel di daun-daun liar yang tumbuh sembarangan di halaman. Udara segar menyambut Arga saat membuka jendela kamarnya.

Ia berdiri di ambang kusen, memejamkan mata sejenak, menghirup dalam-dalam aroma tanah basah dan dedaunan. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Tak ada suara klakson, tak ada derap sepatu orang berlalu lalang—hanya suara alam yang pelan namun terasa akrab.

Setelah mencuci muka dan menyeduh kopi hitam instan seadanya, Arga mulai membereskan beberapa bagian rumah. Debu-debu tebal di meja dan rak buku ia lap perlahan. Foto-foto lama di dinding ia pandangi satu per satu. Wajah almarhum ayah dan ibunya tersenyum dalam bingkai kayu yang warnanya mulai pudar.

Di ruang tengah, ia menemukan lemari kecil yang masih terkunci. Ia belum berniat membukanya. Beberapa kenangan mungkin memang perlu waktu untuk kembali dibuka.

Menjelang siang, ia keluar ke halaman membawa sabit kecil dan kantong plastik. Rumput-rumput liar yang hampir menutupi jalur setapak mulai ia babat sedikit demi sedikit. Sesekali ia berhenti, menyeka keringat dengan lengan baju, memandangi sekitar. Rumah ini... perlahan terasa hidup kembali.

Namun, di tengah semua itu, pikirannya tak bisa tenang sepenuhnya. Sejak pagi, bayangan perempuan semalam terus hadir di sudut benaknya. Cara bicaranya lembut, tatapannya tenang, dan senyumnya—entah mengapa—menyimpan sesuatu yang tidak asing.

Ia mencoba mengingat.

Beberapa nama muncul di kepala. Teman sekolah? Tetangga lama? Saudara jauh? Tapi tak ada yang benar-benar cocok. Ia merasa pernah melihat sosok itu, bukan sekali dua kali, namun berkali-kali… hanya saja dalam bentuk yang lebih muda.

Mungkin ia teman kecil. Atau… sahabat dari masa lalu yang sempat terlupakan oleh waktu dan jarak.

Sore harinya, ia duduk di teras rumah dengan secangkir kopi kedua. Pandangannya kosong ke arah jalanan desa yang sepi. Seekor ayam melintas malas, dan dari kejauhan terdengar suara ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian sambil bergosip pelan.

Arga menyesap kopi sambil bersandar. Angin sore menyapu rambutnya yang mulai panjang. Sekilas, ia mengingat suara perempuan itu.

“Masih inget aku nggak?”

Nada suaranya lembut, ada senyum malu-malu di balik pertanyaannya. Tapi juga sedikit menggoda.

Arga menunduk, mengusap dagunya perlahan. “Siapa, ya…”

Ia mencoba membayangkan ulang wajah perempuan itu. Gamis netral, kerudung panjang, postur tubuhnya ramping, gerak-geriknya anggun. Tapi bukan anggun yang dibuat-buat. Lebih seperti… seseorang yang terbiasa menunduk, tapi tidak pernah kehilangan wibawa.

Wajahnya… memang belum sepenuhnya jelas. Tapi ada sesuatu di sorot matanya—tatapan yang terasa menyimpan banyak cerita. Seperti tatapan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya, lalu pergi tanpa pamit.

“Kalau benar dia teman lama, kenapa aku lupa?”

Pertanyaan itu tidak menemukan jawaban. Namun yang jelas, ia tak akan bisa tenang sebelum tahu siapa sebenarnya perempuan itu.

Matahari mulai condong ke barat. Senja merayap perlahan. Di atas meja, secangkir kopi sudah habis setengah. Di hadapan rumah, dedaunan bergoyang tertiup angin, membentuk bayangan yang menari di lantai teras.

Dan di dalam kepala Arga, bayangan perempuan itu tak kunjung pergi.

------------------------------

Pagi menjelang perlahan. Langit di atas desa masih memeluk sisa embun yang bergelantungan di ujung dedaunan. Angin bertiup pelan, menebarkan aroma tanah basah dan rumput liar. Arga berdiri di teras rumah, mengenakan kaus tipis dan celana pendek berkantong. Sederhana, seadanya, seperti orang kebanyakan di desa itu. Tapi justru itulah yang membuatnya tidak mencolok—seperti bagian dari tanah itu sendiri.

Ia memandangi halaman dengan tatapan tenang. Di ujung pekarangan, rumpun pisang yang dulu ditanam ayahnya masih tumbuh. Sedikit lebih liar, memang, tapi tetap berdiri tegak. Ia melangkah pelan ke samping rumah, memeriksa kayu-kayu penyangga, kusen jendela, dan genteng bagian belakang yang tampak sedikit menurun.

“Masih bisa ditambal,” gumamnya sambil mengangguk kecil.

Di sela aktivitas itu, pandangannya tertumbuk pada sebuah benda kecil yang tergeletak di atas meja kayu dekat jendela dapur. Sebuah pin rambut tua, berwarna cokelat gelap, dengan ukiran bunga kecil di sisi sampingnya. Arga terdiam. Ia menatapnya cukup lama, lalu memungutnya perlahan.

“Bukan barang Ibu, ini... kayaknya pernah gue liat dulu,” ucapnya lirih.

Ingatannya berputar, samar. Suara perempuan yang sempat menyapanya kemarin sore ikut melintas. Tapi wajahnya tetap buram. Ia menaruh pin itu ke dalam saku celananya, seolah merasa benda itu akan membawanya pada sebuah petunjuk.

Sisa hari itu ia habiskan untuk bersih-bersih. Mengangkat karung-karung tua dari sudut gudang kecil, membuang barang-barang yang sudah lapuk, dan menyapu lantai rumah yang ditinggal bertahun-tahun. Gerakannya tenang tapi konsisten. Tidak terburu-buru, tapi tidak pula bermalas-malasan. Ada ketelitian dalam setiap geraknya.

Menjelang sore, ia duduk di lantai beranda, menyesap teh hangat dari gelas bening. Angin bertiup pelan, membawa suara anak-anak bermain di kejauhan. Ia memandangi jalan setapak yang mengarah ke gang kecil, tempat ia pertama kali mendengar suara yang memanggil namanya kemarin.

Tiba-tiba terdengar langkah pelan di luar pagar. Ia menoleh cepat, namun hanya siluet seorang perempuan yang tampak dari kejauhan, berjalan perlahan menjauh. Tak sempat ia lihat wajahnya, hanya kerudung panjang dan langkah tenang yang seolah memang tak ingin diketahui.

Ia menghela napas pelan.

“Siapa, sih, sebenernya...”

Penasaran itu menggantung di benaknya. Tapi ia tak terburu-buru mencari tahu. Dalam pikirannya, jika memang takdir ingin menghadirkannya kembali, maka waktu akan membuka jawabannya sendiri.

Malam tiba perlahan, membawa ketenangan. Di dalam rumah, Arga menyimpan pin rambut itu di dalam laci kecil di samping tempat tidur. Ia merebahkan tubuh, memejamkan mata, dan membiarkan angin malam masuk lewat celah jendela yang terbuka sedikit.

Desa ini memang sunyi. Tapi di dalam sunyi itu, ada sesuatu yang hidup. Sesuatu yang perlahan membawanya kembali—bukan hanya pada rumah masa kecilnya, tapi juga pada kisah-kisah yang dulu sempat tertinggal.

Dan mungkin, perempuan itu adalah bagian dari kisah itu.