Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kerja Bakti (Istri Kepala Dusun)

Sinta tersenyum dalam diam.

Ia tak pernah mengira akan bertemu Arga pagi ini. Lelaki itu kini telah menjadi pria dewasa yang matang—tutur katanya tenang, pembawaannya bersahaja, dan tatapan matanya… ah, masih sama seperti dulu: tajam tapi hangat. Tapi tentu, Arga yang sekarang berbeda dengan bocah tengil yang dulu sering ia goda saat main layangan di lapangan belakang masjid.

Ada desir halus yang menyelinap ke hatinya sejak pertemuan tadi. Dan meski bibirnya tetap melengkung lembut saat berbincang, jauh di dalam dadanya, ada kegugupan yang tak mampu ia redam sepenuhnya.

Sinta kini seorang janda.

Status itu, walau sudah cukup lama disandangnya, masih saja membekas di sudut-sudut batin. Bukan karena ia malu, tapi lebih kepada rasa tak percaya diri yang sesekali muncul tanpa permisi. Ia tahu banyak yang masih memujanya—anak muda yang diam-diam mencuri pandang saat ia belanja ke warung, bapak-bapak yang bersikap terlalu ramah, bahkan ibu-ibu pun tak bisa menolak aura hangat yang selalu ia bawa setiap kali menghadiri pengajian.

Namun, bagi Sinta sendiri, semua itu tak selalu menyenangkan. Dipuji, didekati, bahkan digoda—seringkali membuatnya merasa lebih seperti objek ketimbang pribadi yang utuh. Dan karena itu pula, ia tak pernah benar-benar membuka diri. Apalagi setelah perpisahan dengan suaminya tiga tahun lalu, hati Sinta seperti terkunci rapat. Ia sibuk menata hidup, membesarkan anak semata wayangnya, dan menghindari urusan cinta yang ia anggap sebagai urusan kedua… atau bahkan ketiga.

Tapi tadi…

Saat matanya bersitatap dengan Arga, ada sesuatu yang berubah. Tatapan itu tidak menilai, tidak memvonis, tidak pula menggoda. Tatapan itu seperti berkata, “Aku ingat kamu Sinta.” Dan kalimat tanpa suara itu, membuat hatinya sedikit gemetar.

Ia masih ingat, Arga adalah anak paling pemalu di antara geng kecil masa kecil mereka. Tapi Arga jugalah yang pertama kali membelanya saat ia dijatuhkan dari sepeda oleh anak tetangga yang usil. Ia lupa ucapan Arga waktu itu, tapi ingat betul caranya berdiri di depannya, mencoba terlihat galak meski lututnya gemetar.

Mungkin karena kenangan itulah, senyum Sinta tak kunjung pudar pagi ini.

Tapi meski senyum itu bertahan, ada perasaan lain yang diam-diam menyusup ke dalam dada—rasa insecure yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Ia sadar benar, lelaki seperti Arga pasti didekati banyak perempuan. Ia masih muda, belum menikah, wajahnya rupawan, masa depannya jelas. Sedangkan dirinya? Seorang janda beranak satu, usia kepala tiga, dan sering merasa lelah oleh dunia yang kadang terlalu bising menilai tanpa tahu cerita di baliknya.

Ia takut berharap.

Tapi rasa itu sudah terlanjur muncul. Halus, sederhana, tapi nyata. Seperti embun di pagi hari, tak terlihat mencolok, namun mampu membuat dedaunan berkilau.

Saat ia berpamitan tadi, Sinta sempat melihat Arga menatapnya agak lama. Tatapan itu seperti pelan-pelan menyingkap selubung keraguan dalam dirinya. Bukan sebagai godaan, tapi sebagai pengakuan: bahwa dirinya masih pantas untuk disapa, dikenang, bahkan mungkin… dicintai kembali.

Langkahnya pelan saat menyusuri jalan menuju rumah, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sinta merasa gugup karena seseorang. Bukan karena takut akan dinilai, tapi karena ada harapan kecil yang tiba-tiba tumbuh. Ia belum tahu akan dibawa ke mana, tapi setidaknya, pagi ini Sinta tahu satu hal:

Hatinya yang lama beku… mungkin mulai mencair.

Pagi menjelang siang itu, matahari mulai meninggi, namun cuaca masih bersahabat. Angin semilir dari arah persawahan membuat udara terasa segar dan tidak menyesakkan. Arga berjalan santai menyusuri jalan utama desa, pulang dari warung makan sederhana milik Bu Lestari yang biasa di sapa Bu Tari. Ia baru saja mengisi perut dengan sepiring nasi hangat, sambal terasi, dan ikan asin goreng yang rasanya jauh lebih nikmat dari restoran mewah sekalipun.

Di tangannya ada sebungkus gorengan yang sengaja ia bawa pulang, entah untuk siapa. Mungkin hanya kebiasaan lama, atau mungkin juga sekadar alasan agar bisa berjalan lebih lama menikmati suasana desa.

Saat melewati gang kecil menuju rumah, suara cempreng khas dari kejauhan membuatnya menoleh.

“Heh! Arga! Masih inget aku kagak?!”

Arga menghentikan langkahnya, menoleh sambil menyipitkan mata. Seorang lelaki bertubuh tambun, dengan kaus oblong ketat dan celana selutut, berlari kecil menghampirinya. Wajahnya tampak familiar, tapi nama masih mengambang dalam ingatan.

“Wah, bentar-bentar... ini... Wahyu?” Arga mengangkat alis, setengah yakin.

“Gile! Masih inget juga!” Lelaki itu, ternyata benar Wahyu, langsung menepuk bahu Arga sambil tertawa keras. “Aku pikir kamu udah lupa sama aku Ga. Gimana kabar di kota, sukses besar nih keliatannya.”

Arga tersenyum, sedikit canggung. “Sukses belum, sehat aja dulu, Yu.”

“Biasa, orang kaya emang gitu... merendah untuk meroket,” sahut Wahyu, membuat dua ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian di dekat mereka ikut melirik dan tersenyum-senyum kecil.

“Aduh Yu, kamu masih aja sama kelakuan,” sahut salah satu ibu, yang ternyata adalah Bu Marsih, tetangga lama Arga. “Dulu tiap pagi ngopi sambil gosip, sekarang makin cerewet aja.”

“Bu, cerewet itu tanda sehat!” Wahyu menjawab tanpa malu, lalu melirik Arga. “Eh, ngomong-ngomong, kamu sekarang tinggal di mana? Rumah lama?”

“Iya, rumah simbah. Niatnya beres-beres dulu sambil nyari udara segar,” jawab Arga.

“Wah, pas banget! Kamu dateng di momen yang tepat. Besok ada kerja bakti di balai desa, kamu harus ikut. Kalo nggak, bisa-bisa dianggap pendatang gelap,” canda Wahyu sambil tertawa sendiri.

Arga ikut tertawa, meski tak seheboh Wahyu. “Ya udah, ntar aku ikut. Tapi jangan kasih kerjaan yang berat-berat.”

“Tinggal angkat daun kering aja kok, kayak angkat hati mantan yang udah nggak sayang,” celetuk Wahyu sambil mengedipkan mata ke arah Bu Marsih.

Si ibu cuma geleng-geleng sambil nyengir.

Setelah berpamitan, Arga melanjutkan langkahnya. Tapi belum jauh, ia bertemu dengan satu lagi warga yang mengenalinya. Kali ini seorang kakek tua, duduk di depan rumah sambil menyeruput kopi dari gelas enamel yang warnanya sudah memudar.

“Arga to, le, ini kamu? Waduh, makin mirip sama bapakmu dulu,” ucap si kakek dengan suara berat namun hangat.

Arga mendekat, lalu menundukkan kepala dengan hormat. “Mbah Sastro ya? Wah, saya masih inget lho. Dulu sering ngasih saya permen waktu kecil.”

Mbah Sastro tertawa kecil. “Heh, sekarang udah gede, udah lupa sama permen-permen itu, ya?”

“Nggak mbah, malah inget terus. Cuma sekarang permennya udah ganti, jadi gorengan,” jawab Arga sambil menunjukkan bungkusan di tangannya.

“Walah, gorengan bikin kolesterol,” sahut si kakek.

“Tenang mbah, saya makan gorengan sambil jalan kaki, jadi impas,” sahut Arga, membuat si kakek tertawa lagi.

Sambil terus berjalan, senyum Arga tak kunjung reda. Rasanya seperti kembali ke masa lalu yang damai, di mana dunia hanya selebar halaman rumah dan satu bungkus permen sudah bisa membuat bahagia seharian.

Setibanya di jalan masuk ke rumahnya, ia sempat berhenti sebentar. Seekor kucing oranye tampak duduk di atas pagar tembok, menatapnya lekat-lekat. Arga melirik balik.

“Kamu juga masih inget aku?”

Kucing itu mengeong, lalu melompat turun dan menggosokkan tubuhnya ke kaki Arga.

“Wah, ternyata bukan cuma manusia yang masih kenal,” gumamnya.

Langkah Arga kembali menyusuri halaman rumah. Masih ada beberapa pekerjaan kecil yang ingin ia bereskan hari itu, seperti membersihkan halaman samping dan mengecek saluran air belakang rumah yang sempat mampet waktu hujan kemarin.

Namun entah mengapa, pikirannya sedikit teralihkan. Sejak tadi, ada satu wajah yang samar muncul dalam benaknya. Bukan Wahyu, bukan Mbah Sastro, apalagi si kucing. Tapi seorang perempuan... seseorang yang menyapanya kemarin saat baru sampai di rumah.

Wajahnya tak terlihat jelas, hanya senyum hangat yang tertinggal samar di ingatan. Suaranya pun masih mengambang, seperti bisikan lembut yang singgah lalu pergi begitu saja. Tapi entah mengapa, bayangan itu justru terus memanggil rasa penasaran dalam benaknya.

“Siapa ya...”

Arga bergumam pelan saat duduk di teras, memandangi pepohonan rindang di depan rumah. Semilir angin menari lembut, membawa aroma tanah dan rumput segar.

Hari itu pun berjalan lambat, tanpa kejutan besar. Tapi justru di situlah letak keindahannya. Kesederhanaan yang membumi, tawa-tawa kecil yang tulus, dan rasa penasaran yang pelan-pelan tumbuh, menanti waktu untuk terjawab.

Pagi itu, mentari menembus celah awan dengan lembut. Langit bersih, angin berhembus perlahan, dan aroma tanah yang baru tersiram embun masih terasa segar. Di lapangan kecil depan balai desa, ramai suara-suara warga yang tengah bersiap kerja bakti. Beberapa membawa alat kebersihan, yang lain membawa bahan makanan untuk memasak bersama.

Arga tiba sambil menenteng cangkul yang ia pinjam dari rumah tetangga. Ia mengenakan kaus polos dan celana pendek berkantong, penampilannya tetap sederhana meski tubuhnya mencolok karena postur tegap dan wajah yang bersih.

“Heh, Arga! Ikut kerja bakti juga,” celetuk salah satu bapak paruh baya sambil tergelak kecil.

Arga tersenyum santai. “Iya, Pak. Sekalian nyari keringat, biar nggak kelamaan rebahan di rumah.”

Tawa pun pecah. Beberapa warga menepuk pundaknya sambil tertawa geli.

“Nah, ini baru anak muda yang patut dicontoh,” timpal seorang pria berkumis lebat sambil mengangguk puas.

Di antara keramaian itu, Kepala Dusun, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun bernama Pak Supratman, berdiri sambil mengatur pembagian tugas. Tubuhnya sedikit tambun, dengan senyum yang jarang lepas dari wajahnya.

“Kamu ikut bersihin saluran air ya, Ga. Nanti habis itu bantu angkut karung ke belakang,” ujar Pak Supratman, menunjuk ke arah gang sempit yang menuju kebun warga.

“Oke, Pak,” jawab Arga dengan anggukan.

Setelah mengambil posisi, Arga mulai bekerja bersama beberapa pemuda lain. Sesekali mereka saling lempar candaan, membuat suasana jadi hangat dan menyenangkan. Tak jauh dari sana, terdengar suara perempuan-perempuan yang sedang sibuk memotong sayur dan menanak nasi di dapur umum semi terbuka yang disiapkan di samping balai desa.

Arga mencuri pandang ke arah kerumunan itu. Ia mengenali beberapa wajah, termasuk Sinta yang tengah mengaduk sayur dalam kuali besar sambil sesekali tertawa ringan bersama ibu-ibu lain. Di sisi lain, Rinaya juga terlihat ikut membantu, sesekali menatap ke arah Arga dengan senyum kecil.

Namun bukan itu yang membuat langkah Arga sedikit terhenti.

Seorang wanita berdiri di antara kerumunan ibu-ibu itu, mengenakan gamis longgar berwarna lembut dan kerudung syar’i yang menjuntai menutup dada. Penampilannya sangat tertutup, tetapi aura anggun dan kecantikannya terasa mencolok. Ia tampak memberi arahan pada beberapa ibu-ibu muda, dan dari gesturnya, terlihat ia sangat dihormati.

Beberapa wanita bahkan memanggilnya dengan sapaan “Bu” meski ia tampak tak jauh lebih tua.

Wanita itu menoleh sekilas ke arah Arga. Pandangan mereka hanya bertemu sepersekian detik, sebelum ia kembali sibuk dengan tugasnya. Arga mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat wajah itu. Ada sesuatu yang familiar, tetapi terlalu samar.

“Hei, jangan melamun. Itu saluran belum bersih,” celetuk seorang bapak sambil menunjuk ke arah parit.

“Hehe, iya, Pak. Maaf, tadi ada angin lewat,” jawab Arga sambil kembali menekuni pekerjaannya.

“Tuh, hati-hati. Di sini anginnya kadang berwajah cantik,” goda bapak lain, disambut tawa ramai.

Arga hanya tertawa kecil, tak ingin menanggapi terlalu dalam. Tapi dalam hatinya, ia tahu — momen tadi bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu dari wanita itu yang terasa menarik, meski hanya dalam tatapan singkat.

Setelah selesai membersihkan area parit, Arga duduk di tepian lapangan, mengelap keringat dengan kausnya yang basah. Seorang bapak mendekat, membawa dua gelas plastik berisi teh manis.

“Nih, buat kamu. Biar semangat lagi.”

“Wah, makasih, Pak. Seger banget.”

“Aku lihat kamu cepat akrab lagi sama warga. Padahal baru beberapa hari balik ke sini.”

“Ya, karena dari dulu desa ini selalu ramah,” jawab Arga sambil tersenyum.

Pak Supratman juga ikut bergabung, menepuk bahu Arga dengan akrab.

“Kamu cocok, Ga. Anak muda kayak kamu penting buat bangun semangat warga. Nggak semua orang punya hati kayak kamu.”

Arga tersenyum kecil, tak menjawab apa-apa. Pandangannya kembali mengarah ke area dapur. Wanita tadi masih sibuk, kini tampak sedang mengecek masakan sambil tertawa kecil dengan para ibu-ibu.

“Bu Annisa itu orangnya baik banget,” kata Pak Supratman tiba-tiba, membuat Arga sedikit terkejut.

“Siapa, Pak?”

“Yang pakai gamis hijau tadi. Istriku,” ucapnya dengan bangga.

“Oh… iya, kelihatan ramah banget,” jawab Arga sedikit kikuk.

Pak Supratman tertawa, lalu menepuk bahu Arga sekali lagi sebelum berjalan pergi. Arga hanya bisa memandang punggung Kepala Dusun itu sambil menghela napas pelan. Dalam diam, ia tertawa kecil pada dirinya sendiri.

‘Lihat aja baru sebentar, tapi udah bikin jantung nggak karuan.’

Suasana kerja bakti terus berlangsung hingga siang menjelang. Arga membantu hingga selesai, lalu berpamitan pada warga sambil membawa bekas cangkulnya. Beberapa anak kecil menyalaminya, ibu-ibu melambaikan tangan, dan para bapak menepuk pundaknya dengan bangga.

Hari itu, kerja bakti tak hanya menyatukan warga, tapi juga membuka sedikit demi sedikit tabir baru dalam hidup Arga — termasuk pertemuan yang hanya berlangsung sekilas, namun membekas begitu dalam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel