Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sahabat Lama

Langit mulai terang ketika Arga membuka pintu depan. Udara pagi menusuk lembut ke kulit, membawa aroma tanah basah yang tersisa dari embun malam. Ia melangkah ringan mengenakan kaus abu lengan pendek dan celana pendek berkantong. Kakinya hanya dibungkus sandal jepit, khas gaya sederhana yang memang menjadi kebiasaannya sejak dulu.

Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan paru-parunya terisi penuh dengan udara segar pedesaan. Tak ada polusi, tak ada bising kendaraan. Hanya kicau burung dan gemericik air selokan yang mengalir tenang di pinggir jalan cor beton yang menghubungkan rumah-rumah warga.

Arga mulai jogging kecil-kecilan. Tak ada target. Hanya sekadar menggerakkan badan setelah beberapa hari ini sibuk beres-beres rumah dan halaman. Jalur yang ia lewati bukan asing — jalan setapak yang dahulu sering ia lintasi saat kecil, ketika masih suka main layangan atau sekadar keliling kampung bersama teman-teman sebaya.

“Pagi, Ga!” seru seorang bapak tua yang tengah menyiram bunga di depan rumahnya.

Arga melambai sambil tersenyum. “Pagi, Pak.”

Beberapa langkah kemudian, seorang ibu muda keluar dari halaman sambil menggendong anak kecil. “Lho, Mas Arga udah balik kampung ya?”

“Iya, Mbak. Sudah seminggu,” jawabnya sambil sedikit memperlambat langkah.

“Aku seneng liat anak-anak muda masih inget kampung halaman,” ucapnya tulus.

Arga hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya. Di persimpangan jalan kecil, ia berbelok ke arah utara. Jalur itu membawanya menuju hamparan sawah yang kini mulai menghijau kembali. Pematang-pematang rapi membelah lahan dengan simetris, menciptakan pola alami yang menyejukkan pandangan.

Ia berhenti di pinggir pematang, menarik napas panjang, lalu duduk bersila di atas gundukan tanah yang agak kering. Matanya menatap jauh ke arah barisan pegunungan di ujung sana, membentuk siluet biru yang samar.

Suasana itu mengingatkannya pada masa kecil. Ketika ia dan teman-teman sering berlarian di sini, mengejar belut atau sekadar duduk-duduk sambil makan nasi bungkus. Namun, saat ini ia sendiri. Sepi, tapi tidak hampa.

Setelah beberapa menit beristirahat, Arga bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke arah jalan kecil yang menurun menuju kawasan warung. Di ujung sana, terlihat sebuah bangunan semi permanen berdinding bata ekspos dengan atap seng rapi. Warung kecil milik Bu Sri, yang sejak dulu terkenal dengan lontong sayur dan teh manis hangatnya.

Ketika Arga masuk ke dalam, aroma santan dan daun salam langsung menyambutnya.

“Wah, ini baru namanya tamu lama!” seru seorang perempuan paruh baya yang mengenakan celemek lusuh tapi wajahnya bersinar ramah.

Arga terkekeh. “Bu Sri masih ingat saya?”

“Masak lupa? Arga, anaknya Pak Budi, kan? Yang dulu suka ngutang es teh lima ratusan,” jawab Bu Sri sambil tertawa kecil.

Arga tersenyum malu. “Sekarang saya bayar lunas, Bu.”

“Duduk dulu. Mau lontong sayur atau nasi pecel?”

“Lontong aja, Bu. Sama teh hangat.”

Bu Sri mengangguk lalu berbalik ke dapur. Arga memilih duduk di bangku panjang dekat jendela. Warung itu cukup ramai, beberapa petani sudah duduk menikmati sarapan. Obrolan ringan tentang cuaca, harga pupuk, dan panen padi mengalir pelan di udara.

Beberapa menit kemudian, Bu Sri kembali membawakan sepiring lontong dengan kuah santan hangat, dilengkapi telur pindang dan kerupuk.

Saat Arga mulai menyantap suapan pertama, terdengar suara langkah lembut masuk dari pintu depan. Tak ingin terlihat kepo, Arga tetap menunduk, mengaduk lontongnya.

Namun, aroma parfum lembut membuatnya sedikit berpaling.

“Bu Sri, kayaknya lontongnya makin enak aja sekarang ya.”

Suara perempuan itu terdengar ceria, agak manja, dan... entah kenapa, terasa akrab.

Bu Sri tertawa. “Halah, kamu mah, dari dulu sukanya lontong terus. Duduk sana, Rin!”

Rin?

Arga diam sejenak. Nama itu seperti menampar memorinya. Ia berusaha tidak langsung menatap perempuan yang kini duduk dua bangku di sampingnya. Dari sudut mata, ia menangkap sosoknya. Jilbabnya lembut, warnanya pastel. Wajahnya cerah, kulit bersih, dengan garis lembut di ujung matanya yang menunjukkan usia sudah tidak benar-benar muda. Tapi jelas, cantiknya bukan cantik biasa.

Rinaya?

Arga hampir yakin, tapi belum cukup berani menatap langsung. Ia menyuap lagi lontongnya perlahan sambil berusaha memancing ingatan. Rinaya... teman masa kecil. Yang dulu sering main masak-masakan, berdua atau bertiga dengan teman lain. Yang pernah nangis waktu ayam peliharaannya hilang, dan Arga menemaninya mencari sampai sore.

Rinaya. Ya, itu dia.

Tiba-tiba, perempuan itu menoleh ke arahnya. Senyumnya mengembang kecil, mata tajam namun hangat.

“Kamu Arga, kan?”

Suara itu, ekspresinya, semuanya terasa seperti jembatan waktu.

Arga akhirnya membalas pandangan itu. “Iya. Rinaya, ya?”

Perempuan itu mengangguk, senyumnya makin lebar.

“Wah, lama banget ya. Terakhir kayaknya waktu SMP?”

“Iya... aku juga sempat mikir tadi, bener nggak ini Rinaya yang dulu suka main kelereng tapi nggak pernah menang.”

Perempuan itu terkekeh. “Masih inget aja.”

Obrolan mengalir ringan. Mereka saling melempar cerita singkat tentang kehidupan masing-masing, pekerjaan, dan kenangan lama yang muncul satu per satu. Tak ada pembahasan pribadi terlalu dalam. Hanya nostalgia yang dibumbui tawa dan jeda panjang antar kalimat.

Namun, saat Bu Sri menyebut, “Rin, titipan dari suamimu udah aku taruh di belakang ya,” suasana sedikit berubah. Arga hanya mengangguk pelan. Tidak ada rasa canggung, hanya semacam getaran kecil di dada yang ia sendiri tidak bisa artikan.

Sementara itu, Rinaya tersenyum tetap tenang. “Makasih, Bu. Nanti aku ambil pas pulang.”

Mereka melanjutkan obrolan beberapa menit lagi. Lalu Rinaya pamit lebih dulu.

“Sampai ketemu lagi, Arga.”

“Iya, hati-hati.”

Perempuan itu melangkah pergi, meninggalkan jejak samar yang belum bisa hilang dari pikiran Arga. Bukan karena penampilannya, tapi karena kenangan itu... dan kenyataan bahwa ia kini bukan perempuan bebas seperti dulu lagi.

Arga duduk diam. Mengaduk sisa teh hangat yang sudah setengah dingin.

Hari masih pagi. Tapi sepertinya, pikirannya tidak akan tenang hingga malam nanti.

Usai sarapan di warung Bu Sri dan pertemuannya dengan Rinaya yang masih menempel samar di benaknya, Arga melangkah pulang dengan langkah tenang. Matahari mulai meninggi, tapi hawa pagi masih terasa sejuk. Jalanan desa mulai sedikit ramai. Ada anak-anak sekolah bersepeda, bapak-bapak membawa cangkul, dan ibu-ibu yang sibuk di halaman menyapu atau menjemur pakaian.

Desa ini memang telah berubah. Jalan cor menggantikan tanah becek, rumah-rumah bata berdiri tegak menggantikan rumah panggung dulu. Tapi suasananya tetap sama. Damai. Tidak tergesa.

Sesampainya di rumah, Arga langsung menuju belakang. Ia melepas kaus, menyisakan tubuh yang terbakar matahari, memperlihatkan bekas kerja keras yang tak bisa dibohongi. Di sudut halaman belakang, pohon kelapa pendek berdiri teduh di samping sumur yang kini sudah tak terpakai karena rumah-rumah di desa sudah memakai air PDAM.

Arga membuka gudang kecil di samping dapur. Aroma kayu tua dan debu menyambutnya. Ia menyapu perlahan, membuka kardus-kardus lama yang berisi barang-barang peninggalan orang tuanya. Ada foto-foto lawas, surat-surat tanah, bahkan beberapa catatan keuangan milik almarhum ayahnya yang dulu mengurus koperasi kecil di kampung.

Ia tersenyum samar, menyentuh sebuah foto lawas: dirinya masih kecil, digendong sang ibu, sementara sang ayah berdiri di belakang mereka, tersenyum tipis. Rumah mereka dulu memang sederhana, tapi selalu penuh kehangatan.

Jam berlalu perlahan. Ia sibuk membersihkan beberapa sudut rumah yang masih kotor. Mengelap jendela, menyapu teras, lalu menyiram tanaman di halaman depan. Rumah itu memang tidak besar, hanya satu lantai dengan dua kamar dan ruang tamu kecil, tapi nyaman dan rapi. Setiap sudutnya penuh cerita.

Sesekali, Arga duduk di kursi kayu panjang di teras. Dari situ, ia bisa melihat sawah di kejauhan. Hamparan hijau yang tenang. Angin semilir membawa aroma rerumputan dan wangi bunga melati dari pot-pot kecil di pinggir pagar.

“Kalau bukan karena kenangan, mungkin aku nggak akan balik ke sini,” gumamnya pelan.

Tapi tentu saja, bukan cuma kenangan yang membawanya pulang. Ada alasan lain, yang belum bisa ia ceritakan pada siapa pun. Bukan karena ia tak percaya, tapi karena waktu belum tepat. Tentang semua aset yang ia simpan selama ini—bukan pamer, tapi karena ia tahu hidup tak selalu bisa ditebak. Menjadi sederhana, bagi Arga, bukan karena tak mampu, tapi karena ia memilihnya.

Ia berdiri lagi. Menuju sisi rumah tempat beberapa potong kayu tersusun rapi. Dulu, ayahnya suka mengukir di sela-sela waktu luang. Arga mengambil salah satu pisau ukir peninggalan itu, lalu duduk di atas tikar di depan rumah, mulai mengukir sebongkah kayu kecil. Tangan-tangannya masih cekatan, seperti dulu saat ia membuat kerajinan di kota.

Tak terasa, suara adzan dzuhur terdengar dari kejauhan. Ia meletakkan kayu dan pisau, lalu bangkit dan masuk ke dalam untuk mengambil wudhu. Setelah shalat, ia kembali ke ruang tengah, menyandarkan tubuhnya ke dinding sambil memejamkan mata.

Di tengah keheningan itu, pikirannya melayang. Wajah Rinaya terbayang samar, diikuti kenangan masa kecil yang berserakan. Ia ingat perasaan hangat saat mereka dulu duduk bersama di bawah pohon jambu. Rinaya kecil yang cerewet, tapi selalu perhatian. Ia ingat juga betapa mereka sempat berjanji untuk tidak saling melupakan.

“Dan ternyata, aku hampir lupa kamu...” bisiknya pelan.

Tapi ia tak ingin terlalu larut. Terlalu banyak hal yang belum ia selesaikan. Kehidupan barunya di desa baru dimulai, dan ia ingin menjalaninya perlahan, tapi pasti.

Sore menjelang, Arga keluar lagi, menyapu dedaunan yang mulai jatuh dari pohon mangga di samping rumah. Beberapa anak kecil lewat sambil tertawa, menyapa singkat sebelum melanjutkan permainan mereka.

Seseorang dari ujung jalan melambaikan tangan. Arga membalasnya dengan senyuman. Ia belum hafal semua nama warga, tapi wajah-wajah itu mulai akrab di ingatannya.

Setelah beres menyapu, Arga duduk lagi di bangku panjang. Ia membuka ponsel tuanya, mengecek beberapa pesan yang masuk. Tak banyak. Hanya notifikasi dari aplikasi perbankan yang mencatat aktivitas otomatis dari beberapa rekening miliknya.

Arga menatap angka-angka itu sebentar, lalu mengunci ponsel dan meletakkannya di meja.

“Bukan waktunya sekarang,” ucapnya pelan.

Sampai saat ini, tak ada satu pun warga desa yang tahu soal tabungan dan investasi Arga. Mereka hanya mengenalnya sebagai anak kampung yang pulang merantau, tinggal di rumah tua orang tuanya, hidup sederhana.

Dan Arga ingin biarkan itu tetap seperti itu, setidaknya untuk sekarang.

Matahari mulai turun perlahan. Langit berubah oranye. Angin sore membawa dingin yang menyegarkan. Arga menyalakan lampu depan dan menutup pintu belakang. Ia menyiapkan air panas di dapur, menyeduh kopi hitam yang ia bawa sendiri dari kota. Aroma pahit yang menguatkan.

Malam akan datang. Tapi hidup baru Arga di desa ini baru saja dimulai.

Dan mungkin, siapa tahu... kenangan lama yang muncul kembali akan membawanya pada kisah baru yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel