Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kenangan

Udara pagi di desa menyambut dengan sejuk yang berbeda. Embun masih menggantung di ujung daun, aroma tanah basah tercium samar seiring langkah kaki Arga yang menyusuri jalan setapak kecil dari halaman rumahnya. Rumah itu sederhana, hanya berdiri satu lantai dengan atap genteng berlumut di beberapa sudut. Ia menatap sebentar ke sekeliling—sawah menguning di kejauhan, suara ayam bersahut-sahutan, dan bau asap dapur yang menyelusup dari celah jendela rumah tetangga.

Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana pendeknya, melangkah perlahan ke arah warung kecil di dekat perempatan. Belum banyak yang berubah. Meski waktu telah lama berlalu sejak terakhir kali ia pulang, suasana desa itu seakan tetap diam di tempat.

Dari kejauhan, terdengar suara sapaan.

"Heh, itu Arga ya?"

Langkahnya terhenti. Ia menoleh. Seorang pria tua dengan topi caping dan membawa pacul di pundaknya menghampiri. Wajahnya legam terbakar matahari, namun senyum lebarnya membuat kerutan di pipi tampak menghangatkan.

"Iya, Pak. Arga, anaknya Bu Wati."

"Walah! Aku bilang juga apa. Gede juga kau sekarang. Terakhir lihat kau masih pake celana kolor lari-lari sama anak-anak dusun." 

"Hehe, iya, Pak. Dulu saya memang suka lari-larian di belakang musala." 

"Halah, sekarang dah gede, pulang kampung mau kerja apa? Atau sekadar ngadem dari kota?"

Arga tersenyum kecil. "Ngadem dulu, Pak. Cari angin segar." 

"Yah, yang penting jangan lupa bantu-bantu warga. Di sini banyak yang butuh tenaga muda."

Percakapan ringan itu mengalir seperti sungai kecil yang mengaliri sawah. Tidak ada kesan terburu-buru, tak ada tekanan. Setelah mengangguk pamit, pria tua itu melangkah ke arah ladang.

Arga kembali berjalan. Sepanjang jalan, beberapa orang yang mengenalnya sejak kecil menyapa. Seorang ibu paruh baya yang menjajakan sayur di pinggir jalan memanggil namanya. Seorang bocah kecil mengejar layangan yang tersangkut di tiang bambu, tersenyum malu-malu saat bertemu tatap dengannya.

Sesampainya di warung, ia duduk di bangku panjang dari kayu, menghadap jalan desa yang belum beraspal. Seorang ibu penjual warung menyambutnya dengan pandangan heran.

"Waduh, ini bukan Arga ya?" 

"Masih inget juga, Bu?" 

"Ingetlah. Gimana kabarnya? Baru pulang, ya?" 

"Iya, Bu. Baru 1 malam ini tidur di rumah."

"Rumah ibumu masih bagus, meski kosong lama. Tapi kelihatan bersih, pasti dirapihin dulu ya?" 

"Iya, saya beresin sedikit-sedikit."

Sang ibu menyeduhkan kopi tubruk, lalu duduk di ujung meja. "Kau sendirian di sana?" 

"Iya, Bu. Sementara ini tinggal sendiri."

Ia meminum kopi perlahan. Uap panas menyapu wajahnya yang tenang. Suasana warung pagi itu tak ramai, hanya satu-dua orang tua duduk di pojok, mengobrol sambil menunggu waktu turun ke ladang.

"Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan ya, Ga. Banyak warga yang siap bantu. Walau kampung ini kecil, kita semua saling jaga." 

"Iya, Bu. Makasih."

Ia duduk cukup lama di sana. Tak ada yang penting dibicarakan, tapi semua terasa berarti. Kehangatan yang sederhana, keramahan yang tak dibuat-buat. Ia baru ingat mengapa dulu ia begitu betah di desa ini.

Menjelang siang, ia memutuskan berjalan ke arah balai desa. Bukan karena ada urusan, tapi sekadar ingin melihat keadaan. Jalanan kecil yang ia lewati membelah rumah-rumah kayu dan pekarangan luas. Beberapa warga terlihat menyapu halaman, menggiling padi, atau menjemur pakaian. Ia menyapa dengan anggukan kecil, senyum ramah, dan tak lupa menyebut nama yang ia ingat.

Saat tiba di dekat balai, ia melewati sebuah rumah besar yang terlihat baru direnovasi. Di depan pagar, dua anak perempuan sedang bermain lompat tali. Salah satunya sempat melirik ke arahnya.

"Eh, itu siapa ya?"

Ia hanya tersenyum dan melanjutkan langkah. Tapi di balik rumah itu, ia mendengar suara samar seorang wanita memanggil namanya—pelan, nyaris seperti bisikan.

"Arga…"

Ia berhenti sejenak, menoleh perlahan, tapi tak melihat siapa pun. Hanya suara daun yang bergesekan, dan gemerisik ayam yang lari kecil di halaman.

Ia mengerutkan kening.

Siapa yang memanggilnya tadi?

Ia kembali berjalan, mencoba mengingat. Suaranya terdengar lembut, tak asing, tapi juga bukan suara yang jelas ia kenal. Bukan suara ibu-ibu di warung tadi, bukan juga warga tua yang ia temui di jalan.

Sesampainya di balai, ia menyapa beberapa petani yang sedang istirahat di bawah pohon besar. Mereka sedang membahas hasil panen dan pembagian air irigasi.

"Heh, ini anak kota yang pulang kampung!" 

"Jangan lupa, di sini tak ada AC, cuma kipas dari daun kelapa!"

"Yang penting, di sini hatinya adem, Pak."

Tawa mereka pecah, ringan dan akrab. Tak butuh waktu lama bagi Arga untuk kembali menyatu. Tapi di sela tawa itu, pikirannya tetap terpaku pada satu hal:

Suara itu.

Lembut, nyaris seperti kenangan, tapi tak cukup jelas untuk diingat siapa pemiliknya. Ia mencoba membayangkan wajah-wajah yang mungkin, tapi tak satu pun terlintas pasti.

Matahari mulai condong ke barat. Ia memutuskan kembali ke rumah, berjalan santai menyusuri jalan yang kini mulai berdebu. Sesekali ia berhenti untuk menyapa tetua yang duduk di teras rumah, atau melihat anak-anak bermain kelereng di bawah pohon.

Sesampainya di rumah, ia mengganti bajunya, lalu duduk di tangga kayu depan. Pandangannya menerawang jauh ke sawah yang beriak ditiup angin. Ada rasa rindu yang belum ia mengerti, dan ada tanya yang mulai tumbuh di sudut hatinya.

Siapa wanita yang menyapanya tadi?

Kenapa suara itu terasa begitu dekat?

Tapi Arga tahu, tidak semua jawaban datang sekaligus. Di desa, waktu mengalir lambat, tapi setiap tetesnya punya cerita.

Dan ia baru saja membuka lembar pertama dari kisah panjang yang tak ia duga akan menjadi perjalanan hati.

Sore itu, Arga duduk termenung di depan rumah. Angin membawa bau tanah basah dan suara burung-burung kecil yang mulai kembali ke sarangnya. Langit sudah mulai oranye, awan bergerak perlahan, dan suara jangkrik mulai terdengar dari balik rerumputan.

Sambil memegang cangkir teh hangat, Arga memejamkan mata sejenak. Udara desa memang menenangkan, tapi pikirannya justru melayang ke beberapa bulan ke belakang—ke saat semuanya berubah.

Di kota, Arga menjalani hidup yang tak bisa dibilang buruk. Ia tinggal di sebuah kontrakan sederhana, cukup bersih dan rapi. Bekerja sebagai teknisi freelance di bidang jaringan dan sistem, penghasilannya lebih dari cukup untuk hidup sendiri. Bahkan, ia punya simpanan tunai dan aset kecil lain yang kalau dihitung-hitung, bisa membuatnya hidup nyaman tanpa bekerja keras selama beberapa tahun.

Namun entah mengapa, semua itu terasa kosong.

Setiap pagi ia bangun dalam keheningan. Setiap malam ia tidur ditemani suara mesin pendingin dan lampu jalanan yang masuk dari celah jendela. Tidak ada orang tua yang menunggu, tidak ada adik atau saudara dekat yang bisa ia ajak makan malam sekadar bertukar cerita.

Ibunya meninggal lima tahun lalu, akibat komplikasi penyakit jantung. Arga sempat merawatnya selama dua bulan terakhir di rumah sakit, dan itu jadi masa paling melelahkan sekaligus paling berharga dalam hidupnya.

Ayahnya menyusul setahun setelahnya. Bukan karena sakit, tapi karena kecelakaan saat dalam perjalanan ke tempat kerja. Sejak itu, Arga benar-benar sendiri. Ia anak tunggal, dan kedua orang tuanya juga anak tunggal dari keluarga mereka. Tak ada kakek-nenek, tak ada paman atau bibi. Di kota, ia hanya punya kenalan kerja, bukan keluarga.

Di desa ini, tempat ibunya lahir dan dibesarkan, sebenarnya masih ada beberapa wajah yang mengingatnya. Karena memang Arga cukup sering liburan di sini dulu. Tapi bukan kerabat dekat, hanya tetangga lama, teman ibunya saat muda, atau anak-anak yang dulu bermain dengannya saat liburan sekolah.

Setelah kepergian kedua orang tuanya, Arga tetap tinggal di kota. Ia mencoba menjalani hari-hari seperti biasa. Tapi makin lama, rasa hampa itu makin nyata. Ia mulai sulit tidur, sering termenung, dan kehilangan semangat bekerja. Sampai suatu hari, ia membuka kembali kotak kayu tua milik ibunya, yang selama ini disimpan di lemari bagian atas.

Di dalamnya ada beberapa buku harian, foto-foto lama, dan satu lembar surat tanpa tanggal. Tulisan tangan ibunya di kertas itu terbaca jelas:

"Kalau suatu hari kau merasa sendiri, pulanglah ke desa. Di sana, kau akan temukan kembali siapa dirimu, dari mana kau berasal, dan untuk apa kau dilahirkan."

Arga membacanya berulang kali. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi menyentuh bagian terdalam hatinya. Malam itu, ia memutuskan. Ia akan pulang. Bukan hanya untuk menenangkan diri, tapi untuk mencari makna yang pernah hilang.

Beberapa hari kemudian, Arga meninggalkan kontrakannya. Ia tidak menjual apapun—hanya menitipkan kunci dan membayar sewa beberapa bulan ke depan. Semua asetnya, baik tabungan, kendaraan, maupun barang elektronik, ia simpan dan amankan. Ia tidak lari dari kehidupan kota, hanya memutuskan rehat.

Ia naik bus ekonomi dari terminal pinggiran kota, membawa satu ransel besar dan satu tas selempang kecil. Tidak ada yang mengantar. Tidak ada yang tahu ia pergi. Di dalam bus, ia duduk dekat jendela, menatap jalanan yang berganti dari gedung tinggi ke pepohonan dan bukit.

Ia tidur di tengah perjalanan, terbangun saat bus melewati hutan kecil dan sungai jernih yang mengalir deras. Semuanya mengingatkannya pada masa kecil—bermain lumpur, berenang di sungai, memancing di kali belakang rumah.

Tiba di desa, ia langsung menuju rumah peninggalan orang tuanya. Rumah itu sudah lama tak ditinggali, tapi tetap berdiri kokoh. Beberapa bagian atap perlu diganti, lantai sedikit berdebu, dan sarang laba-laba tersebar di sudut ruangan. Tapi suasana di dalamnya tetap akrab. Ia masih bisa mencium aroma kayu tua dan wangi lemari ibunya yang khas.

Malam pertamanya di desa ia habiskan dengan duduk di teras, ditemani lampu minyak dan suara jangkrik. Di atas langit, bintang terlihat jelas, tidak terhalang kabut polusi atau cahaya kota. Ia menghela napas panjang.

"Aku pulang, Bu... Pak..."

Tidak ada yang menjawab, tapi ia merasa damai.

Keesokan harinya, ia mulai membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, mengganti lampu, dan membuka ventilasi. Semua dilakukan perlahan, tanpa terburu-buru. Ia menikmati tiap detiknya.

Saat berjalan ke sumur di belakang rumah, ia melihat pohon mangga besar yang dulu ditanam ayahnya. Kini pohon itu sudah tinggi dan lebat. Arga mengelus batang pohon itu sebentar, lalu tersenyum kecil.

"Masih berdiri tegak, ya."

Hari-hari setelahnya ia gunakan untuk berkeliling desa, menyapa tetangga yang masih mengingatnya, mencari tahu keadaan desa sekarang, dan sedikit demi sedikit mulai menyatu dengan ritme hidup yang lambat tapi tenang.

Meski tak punya kerabat dekat, Arga tidak merasa asing. Senyum para tetua desa, sapaan anak-anak kecil, dan obrolan ringan di warung kopi membuatnya merasa diterima.

Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang terus berputar di pikirannya.

Suara yang menyapanya hari itu—lembut, tenang, tapi meninggalkan rasa penasaran yang belum terjawab. Siapa perempuan itu? Kenapa seolah tahu betul siapa dirinya?

Malam itu, saat duduk kembali di teras rumahnya, Arga memejamkan mata. Ia mencoba mengingat wajah-wajah masa kecil, sahabat-sahabat lama, dan gadis-gadis desa yang dulu bermain layangan atau petak umpet dengannya.

Namun, kenangan masa kecil kadang kabur. Tidak semua wajah tertinggal utuh dalam ingatan.

Tapi satu hal pasti.

Ia tidak datang ke desa hanya untuk berdiam.

Ada sesuatu yang menunggunya di sini. Entah itu ketenangan, cinta, atau mungkin... takdir yang telah lama menantinya kembali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel