Bermain Bola
Langkah Arga perlahan meninggalkan keramaian balai dusun. Di tangannya, cangkul pinjaman dari tetangga ia jinjing santai, berayun ringan seirama langkah. Sementara itu, tawa dan suara riuh kerja bakti perlahan memudar di belakangnya, digantikan oleh ketenangan jalan desa yang diteduhi pepohonan di sisi kiri-kanan.
Tanpa disadari oleh Arga, dari balik kerumunan ibu-ibu yang masih sibuk menyiapkan makan siang, sepasang mata perempuan mengikutinya dengan lirih. Pandangannya tenang namun penuh makna. Ia mengenakan gamis hijau pucat, kerudung menjuntai syar’i yang membingkai wajah teduhnya.
Tatapannya pada sosok Arga tak berlangsung lama. Hanya sebentar, tapi cukup untuk membuatnya menarik napas perlahan. Sebelum siapa pun menyadari, ia cepat-cepat mengalihkan pandangan kembali ke wajan besar dan ibu-ibu yang sedang berceloteh. Ia khawatir ada yang menangkap tatapannya barusan—tatapan yang bahkan ia sendiri tak tahu kenapa terasa sulit dihindari.
Sementara itu, Arga justru tampak begitu menikmati perjalanan pulangnya. Ada senyum kecil yang menghiasi wajahnya. Bukan karena perasaan spesifik, hanya semacam ketenangan yang ia rasakan setelah berkeringat dan tertawa bersama warga. Hatinya lega, pikirannya ringan.
Namun dalam langkah-langkah itu, satu wajah samar muncul dalam benaknya. Wajah seorang wanita yang tadi hanya sempat ia pandang sekejap, namun meninggalkan kesan aneh yang sulit dijelaskan. Istri kepala dusun—begitu Pak Supratman tadi mengenalkannya. Anggun, tenang, dan karismatik dalam diam. Tapi cepat-cepat Arga menggeleng kecil.
“Ah, nggak seharusnya juga,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Senyumnya kembali muncul, seolah menertawakan dirinya sendiri. “Istri orang, Ga.”
Ia berhenti sejenak di tikungan jalan dekat pohon mangga besar. Dari sakunya, ia mengeluarkan sebungkus rokok setengah kosong dan korek api kecil. Ia mengamati sebentar batang rokok itu, lalu memasukkannya ke mulut. Dengan satu gerakan singkat, api menyulut ujungnya dan asap tipis mulai mengepul di udara pagi yang masih terasa segar.
Sudah lama Arga tak menikmati rokok seperti ini.
Dulu, di kota, ia terbiasa merokok hampir di setiap jam kerja. Freelancer seperti dia—dengan tenggat yang kadang tak manusiawi—selalu membutuhkan teman dalam bentuk asap nikotin. Tapi sejak memutuskan pulang ke desa dan meliburkan dirinya untuk sementara, kebiasaannya itu perlahan berubah. Kini, ia hanya merokok setelah makan, atau seperti saat ini—ketika pikirannya terasa terlalu tenang hingga terasa kosong.
“Beda, ya,” gumamnya lagi sambil duduk di batu pinggir jalan, cangkul diletakkan di samping. Asap rokok mengepul perlahan, terbawa angin yang semilir.
Di kejauhan, ia melihat sepasang anak kecil berlari mengejar layangan. Suara tawa mereka menyatu dengan lenguhan sapi dari ladang sebelah dan suara sepeda tua yang dikayuh bapak-bapak melintasi jalan kecil itu.
Arga menatap langit. “Kayaknya aku betah di sini.”
Tak ada yang menjawab, kecuali desir angin yang menggoyangkan ujung pepohonan. Ia menghembuskan asap terakhir dari rokoknya sebelum mematikannya dan menginjaknya perlahan. Ia berdiri, menepuk celana pendeknya yang agak kotor karena duduk di batu, lalu kembali melanjutkan perjalanan pulang.
Saat melewati gang kecil menuju rumah, beberapa tetangga menyapanya.
“Udah pulang, Ga?” tanya seorang ibu yang tengah menyapu teras.
“Iya, Bu. Kerja baktinya selesai,” jawab Arga sambil tersenyum ramah.
“Capek, ya?”
“Lumayan. Tapi seru, Bu. Dapat teh manis juga.”
Ibu itu tertawa kecil. “Enak ya, kalo masih muda. Masih kuat kerja.”
Arga hanya mengangguk sambil melanjutkan langkah. Ia menyapa dua anak muda yang sedang duduk di pos ronda, bercanda sambil main gitar.
“Eh, Mas Arga. Nanti sore ikut main bola, nggak?”
“Lihat dulu, kalau nggak ketiduran,” jawabnya santai.
“Ketiduran? Kayak bapak-bapak aja.”
Arga tertawa sambil mengacungkan jempol sebelum masuk ke halaman rumah kecil yang ia tinggali sejak kepulangannya. Rumah semi-modern, berdinding bata, catnya putih bersih. Tampak sederhana tapi terawat. Di depan rumah, ada kursi bambu yang sering ia gunakan untuk santai sore sambil ngopi.
Begitu masuk, Arga langsung meletakkan cangkul pinjaman itu di sudut teras. Ia mengganti kausnya, lalu masuk ke dapur untuk mengambil segelas air. Peluh masih terasa, tapi hatinya hangat.
Ia memandang keluar jendela, melihat sawah hijau yang menghampar luas di kejauhan. Desir angin memainkan tirai jendela perlahan. Tak ada suara kendaraan, tak ada klakson, tak ada bising yang biasa ia dengar di kota. Hanya ketenangan.
Sambil duduk di lantai, Arga membuka ponsel lamanya. Tak banyak notifikasi. Pekerjaan masih ia tahan untuk sementara. Ia ingin menikmati masa-masa ini dengan tenang. Masa-masa di mana ia hanya perlu jadi Arga—bukan Arga sang pekerja keras yang dikejar klien, atau Arga si mantan kekasih dari banyak wanita yang berlalu-lalang di masa lalu.
Kini, ia hanya ingin menyatu dengan desa, menyatu dengan waktu, dan menikmati hidup pelan-pelan.
Sambil memejamkan mata, ia kembali mengingat momen kerja bakti tadi. Dan, tanpa disadari, bayangan wanita syar’i itu muncul lagi. Senyum tipis, kerudung panjang, dan tatapan sekilas yang begitu cepat namun membekas.
Ia menarik napas panjang.
“Mungkin cuma aku aja yang terlalu peka…”
Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu. Sekilas atau tidak, tatapan itu nyata. Dan rasa penasaran yang tertinggal dalam dadanya… juga nyata.
Sore datang perlahan, menyelimuti desa dengan cahaya keemasan yang jatuh lembut dari balik perbukitan. Angin berembus ringan, membawa aroma tanah basah dan suara jangkrik yang mulai berderik pelan di semak-semak. Langit masih cerah, dengan sedikit awan menggantung malu-malu di ujung cakrawala.
Arga berdiri di depan rumah, mengenakan kaus hitam polos dan celana training yang sejak pagi tadi sudah ia siapkan. Di tangannya, sebotol air mineral dan handuk kecil tergulung. Ia memandangi jalan kecil menuju lapangan desa, memantapkan langkahnya sambil tersenyum sendiri.
“Main bola, ya? Hati-hati, Nak,” suara Ibu Murni—tetangga depan rumah—terdengar saat ia lewat.
“Iya, Bu. Numpang olahraga sedikit,” balas Arga dengan anggukan hormat.
Langkahnya santai melewati beberapa rumah warga, dan setibanya di lapangan, ia disambut pemandangan pemuda-pemuda desa yang sudah berkumpul. Ada yang sedang meregangkan kaki, ada pula yang duduk sambil bercanda dan tertawa. Lapangan itu sederhana, dikelilingi pagar kawat tua dan rumput yang tak selalu rapi, tapi cukup rata untuk sekadar bermain bola.
“Wah, Mas Arga datang juga!” seru seorang pemuda sambil melambaikan tangan.
Arga tersenyum, menghampiri mereka. “Iya dong. Janjinya sore, kan?”
Rehan, pemuda bertubuh agak berisi dengan rambut klimis dan senyum ramah, bangkit dari duduknya. “Tapi kayaknya Mas Arga belum siap nih,” ucapnya sambil menunjuk ke kaki Arga yang hanya beralas sandal.
“Ha-ha. Iya, udah lama banget nggak main bola, apalagi sepatu bola aja nggak punya,” kata Arga, agak canggung.
Beberapa pemuda lain tertawa kecil.
“Wah, tenang aja, Mas. Ini saya bawa dua pasang. Nih, coba yang satu,” ucap Rehan sambil membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sepasang sepatu bola yang tampak cukup kokoh, warna hitam dengan strip putih di sisi.
Arga mengangguk, menerima sepatu itu dan mencobanya perlahan. Ukurannya memang agak pas di kaki, sedikit sempit di bagian samping, tapi masih nyaman untuk digunakan berlari.
“Pas juga ya,” gumam Arga, sedikit tak percaya.
Rehan terkekeh. “Saya tahu ukuran kaki Mas Arga kira-kira dari tinggi badannya. Walau saya agak bulat, tapi ukuran kaki kita mirip, kayaknya.”
Arga menepuk bahu Rehan sambil tertawa. “Terima kasih, Rehan. Aku jadi utang sepatu nih.”
“Gampang, Mas. Anggap aja ini tiket masuk lapangan,” kata Rehan santai.
Suasana di pinggir lapangan makin hangat. Para pemuda mulai mengatur posisi bermain, beberapa membawa bola, sebagian lagi menggelar rompi untuk membedakan tim. Tak ada peluit resmi atau wasit profesional—hanya kesepakatan sederhana: yang penting semua main, semua senang.
Sambil menunggu giliran bermain, Arga duduk di bawah pohon trembesi di pinggir lapangan. Ia melihat Rehan sibuk menggulung kaus kaki, lalu iseng bertanya, “Eh, Rehan. Kalau beli sepatu bola di sini, biasanya di mana?”
“Oh, banyak pilihan, Mas. Kalau di pasar kecamatan ada toko olahraga kecil, lumayan lengkap. Tapi kalau mau yang bagus, biasanya kami ke kota kabupaten, ke toko ‘Top Sport’. Agak mahal, tapi awet.”
Arga mengangguk-angguk. “Kayaknya aku mau beli juga nanti. Nggak enak pinjam terus.”
Rehan tertawa lagi. “Santai, Mas. Kalau mainnya tiap sore, baru tuh wajib beli. Tapi kalau seminggu sekali, pinjam juga boleh.”
Arga ikut tertawa, merasa nyaman dengan suasana akrab para pemuda ini. Mereka tak mempermasalahkan siapa dia, dari mana dia datang, atau apa pekerjaannya. Di lapangan ini, semua setara: keringat, tawa, dan bola bundar yang menghubungkan.
Setelah pemanasan singkat, mereka mulai bermain. Arga tidak langsung tancap gas. Ia tahu tubuhnya sudah lama tidak digembleng permainan seperti ini. Ia mengambil posisi di tengah lapangan, bergerak seperlunya, sesekali mengoper, dan kadang mencoba mengejar bola dengan langkah panjangnya.
Rehan bermain di posisi belakang, sesekali teriak memberi arahan dengan gaya layaknya kapten tim. Beberapa kali ia memanggil, “Mas Arga, kiri! Kiri kosong!”
Arga menoleh cepat, menyambut operan, lalu menggocek dua langkah sebelum melepaskan tendangan... yang sayangnya melenceng jauh dari gawang.
“Wah, dikit lagi, Mas!” seru teman-teman sambil tertawa.
Arga menepuk dahinya sendiri, lalu mengacungkan jempol.
Setelah beberapa menit bermain, peluh mulai mengalir deras di pelipis Arga. Nafasnya memburu. Ia tahu, stamina lamanya belum kembali. Tapi ada kepuasan yang tak bisa digantikan dari permainan ini—kepuasan saat tubuh bergerak bebas, saat sorak-sorai terdengar dari tepi lapangan, dan saat seseorang di belakang meneriakkan namanya dengan nada bercanda, “Mas Arga, jangan pura-pura capek dong!”
“Bukan pura-pura! Ini asli capek!” balasnya sambil tertawa, lalu menjatuhkan diri di pinggir lapangan.
Giliran berganti. Sambil duduk dan menyeruput air, Arga memandangi langit yang mulai berubah warna. Senja hampir turun, dan sinarnya menciptakan bayangan panjang di rumput lapang.
Di sisi lain lapangan, ia melihat anak-anak kecil mulai berkumpul membawa bola plastik mereka sendiri. Para pemuda yang tak bermain ikut tertawa menonton mereka berebut bola tanpa aturan.
Arga tersenyum.
“Sudah lama nggak merasa segini hidupnya,” bisiknya dalam hati.
