Harus Terbiasa
“Lo cobain dulu!”
Fathan menyimpan pakaian itu di kasurnya dan langsung di ambil Kai. “Lo udah mandi?”
“Udah tadi sebelum kesini,” jawab Kai sembari membuka bajunya.
Fathan sampai menelan salivanya melihat tubuh Kai. Kulit putih dan sedikit berotot membuat Fathan tidak percaya. Selama ini Kai selalu menggunakan jaket bututnya, tidak di sangka Kai memiliki tubuh yang menggoda. Meskipun tidak dapat di pungkiri, wajah Kai sedikit hitam karena mungkin terkena sinar matahari.
‘Gila si Kai. Gue aja cowok ampe gak nahan liat tubuhnya,’ batin Fathan.
Fathan memalingkan mukanya dan melean salianya berkali-kali. Untung saja Fathan masuh dapat mengendalikan diri.
Kai mengenakan pakaian itu di depan Fathan tanpa malu. Karena ia pikir mereka sama-sama laki-laki, jadi ada salahnya. Namun, ternyata pikiran Kai tidak sama dengan Fathan yang memang menyukai sesama sesama jenis. Mungkin lebih tepatnya Fathan suka laki-laki tampan karena ia biasa saja melihat laki-laki yang ada di lingkungan Kosan ini.
“Giman menurut lo?”
Fathan yang sedari tadi melamun tersentak kaget dengan suara tiba-tiba Kai. “Wow. Gila, lo keren banget.”
Tidak munafik, Kai memang sekeren itu jika mengenakan pakaian yang rapih, sangat jauh berbeda dengan pakaian buluk yang tadi Kai gunakan.
“Beneran gue sekeren itu?”
“Ya, lo bisa lihat sendiri di kaca.”
Kai berjalan ke arah lemari Fathan yang ada kacanya dan ia langsung berkaca.
“Abis ini kita ke babershop buat cukur rambut lo supaya lebih rapih,” ujar Fathan sembari mengambil bajunya sendiri karena ia akan mengantar Kai ke babershop untuk potong rambut.
“Tapi gue nggak punya duit buat ke barbershop,” keluh Kai.
Kai mengambil jaketnya dan mengeluarkan uang rp10,000 dari sana. Ibunya memberikan Kai uang untuk jajan hanya rp10,000 karena hanya itu yang ibunya punya selain uang untuk belanja kue lagi dan membeli beras untuk makan hari esok.
Fathan lagi-lagi hanya bisa membuang nafas melihat Kai menunjukan uangnya. “Yaudah pake duit gue dulu aja.”
Akhirnya Kai dan Fathan pergi ke Barbershop dan mempotong rambut Kai. Benar saja, aura ketampanan Kai terlihat jelas setelah Kai memotong rambut juga sedikit jenggot dan kumis tipisnya. Kalau di lihat-lihat, Kai memang seperti bukan orang Indonesia, perbeaannya terlihat dari kulit putih dan iris matanya yang berwarna kecoklatan.
Padahal Kai hanyalah orang miskin yang bahkan mendapat uang untuk makan pun susah, tapi tetap saja jika memiliki gen keturunan pasti setidak terurus apapun ketika di dandani akan terpancar auranya.
Menaiki motor butut Fathan Kai di ajak Fathan untuk makan dulu. Karena Fathan yakin jika Kai belum makan mendengar suara yang terdengar dari perut Fathan.
Fathan membawa Kai ke warteg yang tidak jauh dari Barbershop. Kedatangan Kai dan Fathan menjadi pusat perhatian kerena tiba-tiba ada dua orang pria yang lumayan tampan mengenakan motor bubut ke sana.
Kai dan Fathan mengambil nasi dan lauknya sendiri karena warteg di sana di bebaskan mengambil sendiri.
“Pelan aja kali, Kai makannya!”
“Sorry kebiasaan.”
Kai memlaannkan makannya setelah di tegur Fathan. “Sekarang makannya biasakan santai oke. Buat diri lo elegan dikit, biar keliatan mahal.”
“Orang susah kaya gue lo suruh elegan, Han-han.”
Kai menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan sahabatnya ini.
“Ya, ‘kan ini demi menujang pekerjaan lo biar makin mantep.”
“Iya-iya.”
‘Palingan Gue juga jadi tukang bersih-bersih atau jadi pelayan kaya di klub malam itu. Ngerubah penampilan mungkin supaya mereka nggak jijik sama gue,’ batin Kai.
Fathan mengantarkan Kai pergi ke rumah bordil milik Livia. Di depan rumah bordil itu banyak sekali wanita seksi sedang nongkrong atau memang pekerjaannya seperti itu, menunggu laki-laki datang untuk di puaskan.
“Lo masuk aja, ada Livia di dalam. Nanti Livia yang akan ajarin lo kerja. Gue nggak bisa nganterin lo kedalam karena gue harus pergi ke klub.”
“Okay, nggak apa-apa. Makasih, ya.”
“Iya.”
Kai melihat motor Fathan sampai menghilang dari penglihatannya. Lalu Kai mulai masuk. Namun, sebelum masuk Kai di hadang dulu oleh wanita-wanita seksi yang sedari tadi memperhatikannya.
“Hai, ganteng, main sama aku, yuk,” ajaknya yang membuat Kai geli.
Apalagi Kai langsung di kerumuni banyak wanita.
‘Njir, gue kesini mau kerja, kok malah di gangguin cabe-cabean,” batin Kai.
“Nggak dulu, Mbak. Maaf, saya mau bertemu dengan Nona Livia,” ujar Kai mencoba menolak dengan halus.
“Nona Livia?” Mereka langsung menjauhi tubuh Kai setelah mendengar nama Livia di sebut. Kai tersenyim pada mereka dan, “apa saya boleh masuk?”
“Silahkan, Tuan.”
Kai segera masuk, tapi tidak sengaja Kai mendengar teriakan histerin wanita ang baru saja mengrumuninya.
“Gila, ganteng banget. Siapanya madam Livia, ya?”
“Nggak tau, kayaknya pacarnya deh.”
“Seandainya pelanggan kita kaya gitu, guemah dengan suka rela ngangkang buat dia.”
“Bukannya bodelan gimana aja lo ngangkang, ya?”
“Njir.”
Ternyata tidak hanya di depan pintu, di dalam pun Kai masih di krumuni wanita-wanita. Dan Kai bingung harus menghindar bagaimana lagi.
“Saya mau bertemu Nona Livia, mohon lepaskan dulu, Mbak!”
“Memangnya apa salahnya sama kita, hem? Kita juga cantik, buat kamu diskon deh, Sayang.”
‘Gila nih cewe murahan banget. Diskon berapa, di dompet gue aja cuma ada rp10,000 perak,” batin Kai sembari berusaha melepaskan tangan wanita-wanita itu yang bergelayutan di tangannya.
“Kai,” panggil seorang wanita yang baru saja keluar dari salah satu ruangan.
Wanita-wanita itu perlahan mengurai tangannya saat suara Livia terdengar. Kai buru-buru mengambil kesempatan itu untuk mendekat pada Livia.
“Aku pikir kamu belum datang,” ucap Livia sembari memperhatikan penampilan Kai dari atas sampai bawah.
“Sudah.”
Livia menelan salivanya berkali-kali berusaha mengendalikan diri. ‘Gila nih cowok, perasaan tadi pagi buluk banget. Kenapa sekarang jadi ganteng parah, di apain ini sama si Fathan?’ Livia membatin.
Melihat tubuh Kai saja sudah membuat sesuatu di bawahnya basah. ‘Oh, shitt.’
“Nona Livia,” panggil Kai karena merasa tidak nyaman sedari tadi Livia terus menatapnya.
“Ah, iya. Yasudah mari masuk,” kaget Livia sebelum akhirnya ia membawa Kai masuk ke ruangannya.
Livia duduk di sofa panjang yang memang di sana hanya itu satu-satunya sofa. “Sini duduk!” Menepuk-nepuk sofa di sampingnya Livia menyuruh Kai duduk.
Dengan ragu Kai duduk di ujung sofa agak jaug dengan Livia. “Kenapa duduknya jauhan?”
“Nggak apa-apa, Nona.”
Livia menggeser duduknya agar bisa berdekatan dengan Kai. “Mulai sekarang kamu harus terbiasa agar bisa mendapatkan uang dengan cepat,” ucap Livia.
Livia juga memegang paha dalam Kai hingga membuat Kai menegang dan menelat salivanya berkali-kali.
“Nona,” panggil Kai dengan menangkap tangan nakal Livia.
