Bagian 03: Suara dari Hutan
Siang itu, matahari menggantung berat di atas atap seng sekolah Tirta Asri. Udara di dalam ruang kelas terasa hangat, campuran bau kapur dan kayu tua yang mengelupas. Saras berdiri di depan papan tulis kusam, memegang kapur putih yang sudah menipis di ujung jari. Dua belas anak duduk di bangku kayu yang sudah reyot. Ada beberapa siswa yang memeluk lutut karena papan duduknya sudah miring ke satu sisi.
“Baik, sekarang coba tulis namamu di buku kemarin, ya,” katanya lembut kepada salah satu anak yang duduk di depannya. Beberapa masih menunduk, menatap pena mereka seolah baru pertama kali melihat buku dan pena. Seorang bocah laki-laki dengan rambut acak-acakan mengangkat tangan, suaranya kecil berkata, “Bu, huruf “r” itu kayak gini, ya?” tanya nya lembut.
Mendengar pertanyaan tersebut, Saras tersenyum dan mendekati anak tersebut. “Iya, betul. Bagus nak. Begitulah huruf “r”. Tapi kakinya kurang panjang sedikit.” Ia kemudian menggambar ulang huruf itu di buku dan setelah memberikan contoh kepada anak tersebut, ia kembali ke depan kelas.
Suasana siang terasa lambat, namun hangat. Di luar, terdengar suara ayam berkokok, kadang suara ombak kecil dari arah danau. Sesekali, anak-anak tertawa kecil ketika melihat Saras mencoba menirukan logat mereka yang khas. Beberapa dari mereka pun mulai berani mengangkat tangan untuk membaca keras-keras kalimat sederhana yang ia tulis di papan tulis.
“Ini rumah saya,” ujar Saras perlahan.
Anak-anak murid itu mulai menirukan contoh yang dicontohkan oleh Saras, beberapa dengan aksen kental yang membuat Saras dan menahan senyum. “I-ni ru-mah sa-ya,” kata mereka serempak.
Perlahan, rasa asing yang menggeroti pikiran Saras mulai pudar. Saras sedikit merasa lebih lega dan anak-anak pun sudah tidak terlalu malu berinteraksi dengan Saras. Dalam hati, ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi melihat anak-anak menatapnya dengan mata yang jujur, ada semangat baru yang tumbuh.
“Bagus sekali,” katanya. “Sekarang, siapa yang mau maju dan baca kalimat ini?”. Seorang anak perempuan ragu-ragu berdiri. Diketahui namanya adalah Sinta. Sinta adalah anak yang sedari tadi diam. Saras kemudian berjalan pelan menuju bangku Sinta. Ia menepuk bahu gadis kecil itu dengan lembut untuk maju ke depan. “Ayo, Sinta pasti bisa.”
Sinta menarik napas, lalu membaca pelan, “Ini…. Rumah…. Saya.”
Setelah berhasil membaca kalimat sederhana tersebut, Sinta mendapat pujian dari teman-temannya berupa tepuk tangan dan Sinta tersipu malu. Saras ikut tertawa kecil. Namun di sela tawa itu, ia sempat menatap jendela yang terbuka separuh. Dari sana, ia bisa melihat jalan tanah menuju arah pos penjagaan. Sunyi. Akan tetapi, entah kenapa setiap kali matanya menatap ke arah sana, dadanya terasa berdebar tanpa sebab. Menyadari hal tersebut, ia langsung menggeleng pelan. Mencoba menepis perasaan yang aneh itu. Ia merasa bahwa dirinya sekadar kelelahan. Harinya masih panjang dan anak-anak setia menanti dirinya untuk menjelaskan pelajaran selanjutnya.
****
Baru saja Saras melanjutkan menulis kata “Keluarga” di papan tulis, seketika suara tembakan memecah keheningan anak-anak yang tengah fokus memperhatikan Saras. Letupan tajam dan berat terdengar dari arah hutan di seberang danau. Seketika, suasana di kelas pun sedikit mencekam, beberapa anak langsung menunduk spontan dan sebagian lagi menatap pintu dengan mata lebar.
Kembali terdengar suara letupan tajam, namun kali ini lebih dekat. Suaranya menggema lewat lembah di belakang sekolah. Lalu disusul satu lagi, tiga kali suara tembakan beruntun.
“Bu…. suara apa itu?” tanya seorang anak laki-laki, suaranya nyaris tak terdengar padahal ia berada di dekat Saras persis.
Saras menatap ke luar jendela untuk memastikan apakah ada pertengkaran yang melibatkan angkatan bersenjata atau tidak. Namun sayangnya, yang ia lihat hanyalah barisan pepohonan yang tertutup kabut tipis sedang menari di atas permukaan danau.
Ia mencoba menarik napas panjang namun pelan. Ia harus menenangkan dirinya sendiri dulu sebelum ia menenangkan anak-anak. Setelah dirasa sudah tenang, ia tersenyum kepada anak-anak, “Mungkin hanya suara kayu jatuh atau mungkin petasan nak,” katanya. Muka Saras dipenuhi keraguan karena ia tau tidak ada yang menyalakan petasan siang hari begini.
Akan tetapi, usahanya untuk menenangkan anak-anak gagal. Karena mereka sudah panik dulu. Sinta menangis kecil, sambil memeluk buku di dadanya. Sedangkan, anak lain menutup telinga mereka dengan rapat.
“Tenang semuanya. Tenang ya nak ya, sekarang semuanya duduk di dekat ibu,” ujar Saras. Ia memutuskan untuk duduk di tengah anak-anak yang sedang ketakutan, mulai menepuk bahu mereka pelan untuk memberikan rasa aman dan mencegah mereka berlari keluar kelas.
Belum juga reda, tiba-tiba Saras mendengar dari kejauhan terdengar suara langkah berat mendekat ke sekolah. Tempo suara itu cepat dan tegas, diikuti dengan suara logam yang beradu. Jantung Saras semakin berdegup tak karuan dan anak-anak yang berada di pelukannya pun ikut terpaku.
Perlahan, pintu kayu terbuka dan di ambang pintu berdiri tegap sosok tiga orang tentara yang seragamnya dipenuhi dengan debu, wajah yang berkeringat tapi mata mereka tetap waspada. Salah satu dari tentara itu ada anggota yang punya sorot mata dingin berdiri paling depan.
“Tenang semuanya. Sekarang kondisinya sudah aman,” katanya. Suaranya berat namun datar.
Setelah mendengar suara yang sedikit menenangkan, anak-anak yang berada di pelukan Saras spontan menoleh. Sebagian masih terdiam dan sebagiannya lagi menangis terisak, namun suara tangisan itu hanya didengar oleh Saras. Saras mencoba memeluk kembali supaya mereka segera tenang.
Tentara tersebut hendak masuk ke ruang kelas, namun salah satu rekannya menahannya. Sedangkan dua rekannya masih berdiri di belakang mengawasi keadaan sekitar. Tentara dingin itu hanya berjongkok untuk menjajarkan posisi tubuhnya dengan tubuh anak-anak yang sedang bersembunyi di pelukan Saras.
“Ada apa, Pak?”
“Tidak apa-apa, hanya latihan saja,” jawab salah satu dari mereka. “Tadi memang agak dekat, tapi sudah terkendali.”
Saras hanya mengangguk tanda mengerti. Padahal, jauh di lubuk hatinya mereka semua berbohong. Mungkin mereka mengatakan hal itu supaya anak-anak tidak merasa khawatir.
Pria tinggi itu kembali menatap ke seisi kelas, kemudian ke Saras. Tatapannya masih sama, dingin , tenang dan seolah sedang membaca isi pikirannya. Entah kenapa, dadanya terasa sesak. Ia menunduk sebentar, lalu mencoba mengalihkan pandangannya dari tatapan anggota itu.
“Anak-anakku,” katanya. Ia membuat suaranya selembut mungkin supaya mereka tidak semakin ketakutan lagi. “Kalian mengerti kan. Bapak sudah mengurus semuanya, jadi kalian tidak perlu takut lagi.”
Sinta yang sedari tadi menangis pun akhirnya berhenti menangis. Beberapa anak murid mulai duduk ke tempat duduknya masing-masing. Sesekali mereka juga masih melirik keluar.
“Kami pamit dulu, Bu. kalau ada apa-apa, kirim pesan lewat warga.”
“Baik,” jawab Saras pelan.
Ketika ia mengangkat kepalanya lagi, pria itu masih sempat menatapnya sekali lagi sebelum balik badan meninggalkan sekolah itu. Tatapannya tetap sama, tajam namun menyimpan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan.
Saras menatap kepergian mereka dengan mematung di depan pintu. Dari kejauhan, suara burung kembali berkicau. Namun, suasana belum sepenuhnya kondusif. Setelah punggung ketiga anggota tidak tertangkap di netranya, Saras memutuskan untuk mengakhiri pembelajaran hari ini. Setelah memastikan anak-anak sudah dijemput orangtuanya masing-masing, Saras kembali menatap lekat papan tulis yang masih menampilkan tulisan “Keluarga.”
Udara sore mulai berubah lembap serta cahaya matahari menembus sela-sela papan dinding dan mulai membentuk garis-garis oranye di lantai. Matahari mulai turun perlahan di balik bukit. Dari arah hutan, terdengar sama suara burung dan desir angin yang membawa aroma tanah basah. Hatinya masih dilanda ketakutan, namun ia mengetahui bahwa inilah resiko hidup di desa Tirta Asri. Kehidupan yang sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan, tapi selalu ada sesuatu yang menunggu di antara senja dan malam.
****
