Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 04: Malam di Tirta Asri

Malam di Tirta Asri selalu datang lebih cepat dari jam di dinding. Ketika matahari bersembunyi di balik bukit, seluruh desa ditelan gelap. Belum ada listrik yang masuk. Rumah-rumah warga hanya mengandalkan lampu minyak atau lilin. Sementara, suara jangkrik serta angin dari arah danau menjadi teman malam yang paling setia.

Di rumah dinas ala kadarnya yang berdiri di ujung jalan tanah, Saras duduk di meja kayu. Cahaya lampu minyak di depannya berdesir halus setiap kali angin menyapanya dari celah dinding bambu. Bayangannya sendiri bergerak di dinding, seolah sedang menyapanya menulis.

Dari kejauhan, terdengar dengungan samar mesin genset dari arah bukit, barak tempat para tentara tinggal. Kadang juga disusul dengan gelak tawa yang memantul lewat udara malam.

6 Januari 2023.

Malam pertama setelah aku mengajar. Gelap sekali disini. Angin dari danau terasa dingin dan lembap. Dari bukit, terdengar gelak tawa para tentara. Aku merasa sedikit aneh. Tidak tau kenapa justru suara tawa itu membuat sunyi semakin panjang.

Tangannya masih tersisa kapur putih bekas mengajar, kemudian ia mengusapnya pelan dengan saputangannya dan melanjutkan menulis.

Anak-anak yang kutemui sangatlah lucu, menggemaskan dan polos tentu saja. Tapi, aku takut. Takut pada sesuatu yang belum kuketahui. Pada suara langkah di luar jendela, pada tempat ini yang terasa terlalu jauh dari duniaku sebelumnya.

Saras menghentikan aktivitas menulisnya, kemudian ia memerhatikan pintu yang sudah tertutup. Ia memastikan kembali apakah selotnya sudah terkunci. Angin malam kembali menyapanya dengan lembut sehingga membuat cahaya dari lampu minyak bergoyang perlahan.

“Baru malam pertama mengajar, sudah terasa sepinya,” gumamnya perlahan.

Ia kembali memandangi buku cokelat itu dan kembali menuliskan kalimat “Kadang, aku ingin berani. Akan tetapi, di tempat ini, keberanian seperti harus dikaji ulang kembali.”

Setelah menulis kalimat terakhir itu, ia menutup bukunya. Menopang dagunya di atas meja serta memandangi api kecil di lampu minyak di hadapannya. Dari luar, tawa para tentara kembali menggelegar, bercampur dengan bunyi gelas kaleng dan percakapan yang samar-samar terbawa angin malam.

****

Dari kejauhan, barak tentara tampak seperti bayangan besar di tengah kegelapan. Hanya cahaya dari tong besi tempat api menyala yang memberi warna pada malam itu. Serta cahaya bulan menemani. Beberapa lelaki berseragam duduk melingkar, sebagian lagi masih mengenakan Sepatu tempur, sebagian lagi sudah membuka rompi.

“Serius, kamu tadi hampir kepleset pas patroli, Ra?” seru Mahendra sambil menepuk bahu Pranavira. “Aku kira tadi kamu mau mandi lumpur sekalian,” terdengar gelak tawa yang cukup kencang dari Mahendra.

Pranavira hanya mendengus kesal sambil menendang kerikil ke api. “Kamu aja yang panik duluan. Aku tadi cuma salah pijak saja. Bukan jatuh.”

“Kalau jatuh, aku pasti videoin,” celetuk Kresna disambut tawa keras yang menggema ke seluruh bukit.

Aruna, sang senior yang sedari tadi duduk di tepi lingkaran menyambar gelas kopi lalu berkata dengan tenang, “Kalian kayak bocah. Baru seminggu di sini sudah ribut setiap malam. Warga bisa dikira kita mabuk suara sendiri.”

Naraya menimpali cepat, “Justru kalau sepi, makin ngeri, Komandan. Suara hutan aja sudah bikin bulu kuduk merinding.”

Tawa mereka kembali memecah keheningan malam. Mahardika menepuk pahanya, menahan geli. “Benar! Mending dengerin ocehannya Naraya daripada suara monyet diatas sana, komandan.”

Suasana menjadi hangat setelah beberapa anggota melempar candaan receh mereka. Api kecil memantulkan cahaya ke wajah mereka yang lelah namun masih bisa tertawa.

Akan tetapi, diantara gelak tawa mereka. Ada satu anggota yang terdiam. Dia duduk menjauh dari lingkaran dan menatap jauh ke bawah bukit. Dari sana, cahaya lampu minyak dari rumah Saras tampak kecil dan bergetar, seperti bintang tunggal di kegelapan.

Aruna menoleh. “Hei, ada apa. Dari tadi ngelamun aja. Capek, ya?”

Lelaki itu menatap kosong ke arah cangkirnya yang berisi kopi. “Nggak, Komandan. Cuma mikir aja…. Tumben suasana malam ini hening sekali.”

“Ya jelas hening, kalau kamu aja nggak ikut ngobrol,” sela Yudhistira, membuat yang lain kembali tertawa. Sementara itu, Aruna menggeleng sambil tersenyum tipis. “Biarkan saja, mungkin dia lebih senang mendengar suaranya sendiri.”

Suasana kembali ramai, akan tetapi lelaki itu masih tidak banyak bicara. Pandangannya tertahan pada satu arah, yaitu rumah sederhana yang ditinggali oleh para guru di bawah sana. Entah apa yang ia pikirkan, namun sorot matanya seperti menahan sesuatu: rasa ingin tahu, cemas, atau mungkin hal yang bahkan tak bisa ia namai.

Angin malam berhembus membawa sedikit abu dari tong api. Lelaki itu menatap bara yang menari, lalu berdiri perlahan.

“Aku mau patrol keliling sebentar,” katanya singkat.

“Sendirian?” tanya Mahendra.

“Iya, cuma mau cek sekitar aja. Nanti balik.”

Aruna yang mendengar perkataan lelaki itu hanya mengangguk, “Boleh, jangan lama.”

Setelah mendapat persetujuan dari komandannya, ia berjalan menjauh. Langkahnya tenggelam di tanah lembap, meninggalkan suara tawa teman-temannya yang perlahan tenggelam di balik gelapnya hutan.

****

Suara binatang malam semakin mendominasi. Di tepi jalan tanah yang mengarah ke rumah dinas guru, seorang lelaki berdiri sambil menyandarkan diri pada pohon kelapa muda. Itulah Satya, lelaki berusia tiga puluh dua tahun dengan baju lusuh dan wajah yang jarang tersenyum.

Ia kembali memerhatikan rumah yang dihuni Saras yang remang-remang. Dari balik jendela, tampak bayangan seseorang yang bergerak, mungkin itu Saras yang tengah menulis kembali, seperti malam-malam sebelumnya.

Satya mendecak pelan. “Perempuan kota, datang-datang sudah bikin ramai,” gumamnya.

“Satya, ngapain kau di sini?” suara parau datang dari arah belakang. Seorang pria tua, pak Banu yang kebetulan lewat segera mendekati Satya.

“Nggak ngapa-ngapain kok pak. Cuma lewat aja,” jawab Satya cepat.

“Lewat jam segini?” pak Banu mendekat, mengeryit curiga. “Rumah guru itu bukan jalan pintas, Satya. Jangan bikin orang salah sangka.”

Satya berdeham, menatap tanah. “Saya Cuma penasaran. Katanya, guru itu cantik, Pak. Orang-orang desa udah banyak yang ngomongin.”

Mendengar respon Satya, pak Banu menarik napas dalam. “Iya cantik. Tapi, dia datang buat ngajar. Bukan untuk diganggu.”

Satya hanya tersenyum miring. “Saya nggak ganggu dia kok, Pak. Cuma…. Aneh aja. Tentara-tentara di bukit itu sering terlihat mengobrol bersama para guru itu,” tepis Satya untuk mempertahankan argumennya.

Pak Banu hanya geleng-geleng kepala, “Kamu kebanyakan mikir, Nak. Tentara itu tugasnya jaga des aini. Kau jangan berusaha memperkeruh suasana.”

Satya hanya tertawa kecil dengan nada suaranya pelan namun getir. “Masalah udah dari dulu, pak. Cuma orang pura-pura nggak lihat.”

Kembali, ia menatap ke arah rumah Saras. Dari dalam, samar terdengar suara kursi digeser. Satya spontan menunduk, bersembunyi di balik batang pohon kelapa. Pak Banu kembali menggelengkan kepala dan melangkah pergi “Kau ini, memang susah diatur.”

Begitu langkah pak Banu menghilang, Satya berbisik pelan. Seolah berbicara dengan dirinya sendiri. “Lihat saja…. perempuan itu bakal bikin banyak orang berubah.”

Ia masih berdiri di belakang pohon kelapa, menatap jendela yang mulai redup. Samar-sama, ia mendengar tawa dari arah bukit. Tawanya membuat matanya memerah karena amarah.

“Selalu saja tentara…. selalu mereka,” gumamnya kesal.

Suara ranting pohon yang patah diterpa angin membuatnya kembali siaga. Namun, ia tidak melihat siapa pun, hanya bayangan yang gelap bergerak di antara pohon. Sekilas, ia merasa seperti sedang diawasi. Tapi, sebelum sempat memastikan, lampu minyak di rumah Saras sudah padam.

Sunyi. Hanya angin dan suara air danau di kejauhan yang tersisa. Satya akhirnya berbalik, berjalan kembali ke rumahnya sambil menendang beberapa kerikil yang berserakan di jalan. Tapi, di wajahnya tersisa sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran. Akan tetapi, terbersit niat yang mulai tumbuh pelan-pelan di tengah kegelapan.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel