Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 02 : Langkah Pertama di Sekolah

Kabut tipis masih menggantung di antara pohon pisang dan atap rumah warga. Dari dapur, terdengar suara air mendidih di panic kecil. Ratna duduk di kursi kayu, menguap sambil mengaduk teh yang masih mengepul.

“Sekarang jam berapa?” tanyanya lesu. Mendengar pertanyaan itu, Saras melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya.

“Setengah tujuh. Kita harus ke sekolah sekitar jam tujuh lewat dikit, kata pak Jali.”

Tak lama, Syahira muncul dari kamar sambil mengikat rambutnya yang sudah kering, “Masih ada waktu. Tapi, jalan ke sekolah lumayan jauh kan?”

“Betul. Katanya sekitar dua puluh menit jalan kaki,” timpal Saras kembali sambil merapikan buku-buku pelajaran yang sudah disiapkan semalam.

Udara pagi terasa lembap, menempel di kulit. Dari luar, terdengar ayam berkokok bersahut-sahutan dan suara anak kecil yang berlarian di jalan yang masih tanah. Rumah yang mereka tempati memang sederhana, tapi pagi ini terasa lebih hidup daripada semalam.

Ratna menuang teh ke dalam gelas enamel. “Gulanya tinggal sedikit,” ujarnya. Kemudian, Saras tertawa kecil menanggapi Ratna, “Ya udah, nanti sepulang sekolah beli di warung, kalau ada,” mereka bertiga tertawa pelan, seolah mencoba menenangkan diri dari gugup yang sebenarnya sama-sama dirasakan.

Setelah selesai sarapan yang seadanya, nasi yang sudah dingin dan telur rebus. Mereka bersiap berangkat ke sekolah. Ratna memakai blus putih sederhana, Syahira menata jilbab nya dengan rapi, dan Saras menatap pantulan wajahnya di cermin kecil. Lelahnya memang belum hilang karena perjalanan kemarin, akan tetapi ada semangat baru yang tumbuh.

“Kok grogi ya,” katanya lirih.

“Normal,” sahut Syahira. “Kita bakal ngajar di tempat baru. Anak-anaknya pasti juga punya karakter yang berbeda. Apalagi mereka belum kenal kita juga.”

“Tenang aja Sar, kita bertiga. Kamu nggak sendirian. Semuanya bakal berjalan lancar,” Ratna menepuk pundak Saras perlahan.

Setelah keberaniannya terkumpul, ketiganya langsung keluar rumah sekitar pukul tujuh kurang seperempat. Jalanan desa masih basah dengan sisa embun semalam. Dari kejauhan, danau tampak berkilau samar di balik kabut. Salah seorang warga yang melintas pun menyapa mereka dengan senyum hangat.

“Mau ke sekolah ya, bu Guru?”

“Iya, Pak,” jawab Syahira sopan.

“Owh baik. Bu Guru jalan lurus aja sampai belokan besar, nanti kelihatan bangunannya. Hati-hati, jalannya licin bu,” tambah warga tersebut.

****

Setelah mendapat informasi dari warga, mereka kembali berjalan beriringan, membawa tas berisi buku, kapur, dan beberapa alat tulis. Suasana pagi terasa hening, namun cukup tenang. Sesekali terdengar suara burung dari arah pepohonan dan suara serangga yang belum sepenuhnya berhenti sejak mereka datang ke desa tersebut.

Sekitar dua puluh menit berjalan, bangunan sekolah yang diharapkan itu terlihat. Sebuah gedung kayu berwarna pudar yang sudah lapuk dimakan usia dengan seng yang sudah berkarat di beberapa bagian. Halamannya luas tapi tidak rata dan dipenuhi rumput liar serta sisa daun kering.

“Ini ya?” tanya Ratna dengan nada heran namun lembut.

“Sepertinya iya,” jawab Saras. Ia membaca tulisan kecil yang terukir di papan depan SD Negeri Tirta Asri. Hurufnya hampir tak terbaca karena dimakan waktu.

Di teras, seorang pria paruh baya tengah menunggu kehadiran mereka. Ia mengenakan kemeja batik lusuh dan sandal jepit dengan wajah yang ramah namun letih. “Selamat pagi, ibu guru baru,” sapanya hangat. “Saya pak Darmadi, kepala sekolah di sini,” ujarnya.

Mereka pun menyalami pak Darmadi satu persatu sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh sekolah.

“Bangunannya memang sederhana, tapi jangan salah bu semangat anak-anak disini patut diacungi jempol,” kata pak Darmadi dengan nada sedikit malu. “Kami memang belum banyak memiliki fasilitas. Papan tulisnya juga sudah kusam. Tapi, semoga ibu guru sekalian bisa betah mengajar disini.”

Dalam hati Saras menangis. Keadaan sekolah disini bisa dibilang sangat tidak layak untuk dijadikan tempat belajar. Namun, mendengar perkataan pak Darmadi tentang anak-anak, ia semakin bersemangat untuk membantu mencerdaskan anak-anak di desa tersebut.

“Tidak apa-apa, Pak. Kami datang kemari juga untuk belajar,” ujar Syahira dengan tersenyum sopan.

Setelah berbincang di depan sekolah, pak Darmadi langsung melihat kondisi kelas. Kelas itu berbau campuran kapur, kayu lembab dan sedikit debu. Bangku-bangku kayu yang berderet tak rapi. Bahkan ada beberapa kaki kursi yang sudah goyah. Di sudut ruangan, ada lemari besi kecil nampak nyaris rubuh. Papan tulisnya sudah kusam, penuh goresan kapur lama yang tak pernah hilang meski sudah dibersihkan.

Beberapa menit kemudian, anak-anak mulai berdatangan. Mereka berjalan berkelompok, membawa buku lusuh di tangan, sebagian tanpa alas kaki. Wajah mereka penuh rasa ingin tahu. Ada yang langsung tersenyum, ada juga yang hanya bersembunyi di balik temannya, menatap dari jauh.

Saras berdiri di depan kelas, berusaha tersenyum. “Selamat pagi,” sapanya. Beberapa anak menjawab pelan, sebagian hanya membisu. “Namaku Bu Saras. Ini Bu Ratna dan Bu Syahira. Mulai hari ini, kami akan mengajar di sini.”

Suasana hening sesaat. Lalu seorang anak laki-laki di barisan depan mengangkat tangan. “Bu, Ibu tinggalnya di rumah guru yang deket sawah itu, ya?” “Iya,” jawab Saras. “Kamu namanya siapa?” “Eko, Bu.” “Baik, Eko. Nanti kamu bantu Ibu tunjukin di mana tempat isi air, ya?” Anak itu mengangguk cepat, wajahnya berseri-seri.

Saras menatap wajah-wajah kecil di hadapannya. Mereka tampak penasaran, tapi juga masih ragu. Ia tahu ini akan butuh waktu—membangun kepercayaan, membuat mereka nyaman. Tapi di dalam hatinya, ada rasa hangat yang perlahan muncul.

Ia mengambil kapur dari meja guru dan menulis di papan tulis yang kusam: Selamat Datang di Sekolah.

Hurufnya tidak terlalu rapi, tapi anak-anak memperhatikannya dengan mata berbinar. Ratna mulai membagikan buku tulis, sementara Syahira memindahkan bangku yang rusak ke sudut ruangan. Kelas mulai terasa hidup.

****

Di luar jendela, matahari naik perlahan, menembus sela dinding papan dan jatuh ke lantai tanah. Cahaya itu mengenai wajah Saras, membuatnya sedikit menyipit. Ia menarik napas pelan—pagi ini mungkin awal dari sesuatu yang panjang, sesuatu yang tidak mudah, tapi nyata.

Saras tersenyum kecil sambil menatap murid-muridnya. “Baik,” katanya lembut. “Sekarang, kita mulai belajar.”

Anak-anak menunduk, membuka buku mereka. Suara pensil mulai beradu dengan kertas, pelan tapi ritmis. Dari luar, angin masuk membawa aroma daun basah dan suara riuh ayam di kejauhan.

Dan di tengah kesederhanaan itu, Saras tahu: beginilah bentuk awal dari harapan tidak besar, tidak gemerlap, tapi cukup untuk membuatnya ingin bertahan di Tirta Asri.

Di tengah Saras pelan-pelan menjelaskan tentang alam dan lingkungan, terdapat siluet seseorang yang bertubuh tegap melintas. Tatapan Saras dengan tentara itu kembali terjadi. Seperti biasa, tatapannya sama dengan tatapan awal ketika mereka bertemu. Teduh namun sedikit misterius. Saras tidak mengetahui siapa tentara itu, dikarenakan ia selalu memakai kain untuk menutupi sebagian wajahnya.

“Siapa sebenarnya dia. Kenapa aku takut ketika beradu pandang dengannya,” gumam Saras pelan. Pertanyaan itu menggantung di udara, lalu menguap begitu saja bersama tawa anak-anak yang memanggilnya lagi. Mengajak kembali ke kenyataan yang belum sempat benar-benar ia pahami.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel