Pustaka
Bahasa Indonesia

Langkah di Ujung Senja

12.0K · Ongoing
LyaAnila
10
Bab
0
View
9.0
Rating

Ringkasan

Desa itu tampak biasa di siang hari, tapi berubah sepenuhnya ketika malam datang. Suara angin membawa dingin, dan langkah sepatu tentara terdengar bergaung di jalan tanah. Saras datang sebagai guru baru, berharap tugas di perbatasan hanya akan menjadi masa singgah yang tenang. Namun setiap malam, rasa gelisahnya tumbuh. Dari balik tirai, ia melihat sosok berseragam yang selalu lewat di depan rumahnya — bayangan yang tak pernah jelas, tapi sulit diabaikan. Semakin lama ia tinggal, semakin banyak rahasia yang mulai muncul. Tentang desa itu, tentang orang-orangnya, dan tentang sesuatu yang membuatnya tak lagi bisa tidur dengan tenang. Di ujung senja, Saras belajar bahwa kadang, yang paling menakutkan bukan langkah di luar sana, tapi perasaan yang tumbuh diam-diam di dalam dirinya.

Cinta Pada Pandangan PertamaBaperSalah PahamMusuh Jadi CintaEmosionalLicikDinginBaik HatiLembutModern

Bagian 01: Tatapan di Dermaga

Perahu kecil yang dikendari oleh beberapa penduduk lokal berderit pelan saat menepi di dermaga sederhana Tirta Asri. Senja merona di langit, memantul di permukaan sungai yang tenang. Setibanya mereka di dermaga, salah satu penduduk yang menaiki perahu bergegas turun dan membantu para penumpangnya untuk turun.

“Bawa sini mbak. Biar saya bantu,”seru penduduk yang sudah mengulurkan tangan untuk menerima barang. Pertama kali barang yang diturunkan adalah tas punggung yang dibawa oleh Saras. Setelah memastikan tas punggungnya aman, dengan langkah hati-hati, Saras memerhatikan setiap papan dermaga yang usang dan licin. Suara air yang menabrak tiang-tiang kayu terdengar menenangkan, tapi ada ketegangan halus di udara. Seakan desa itu menyimpan rahasia yang siap mengejutkannya.

“Ayo cepat, sudah larut ini. Takutnya nanti kemalaman bertemu kepala desanya,” ujar Ratna.

“Sabar dulu napa. Ini nggak lihat apa papannya licin, habis hujan pula. Salah langkah, kejebur awak ke sungai,” cicit Syahira.

Saras hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat heran dengan kedua temannya yang dari tadi ribut. Saras pun dengan segera mengedarkan pandangan ke ujung dermaga. Matanya menangkap sosok seorang pria yang bediri diam, tegap namun tanpa tersenyum. Tatapannya menusuk seolah sedang mengamati kehadiran orang asing masuk ke wilayahnya.

“Astaga, siapa itu. Kenapa pandangannya sangat menyeramkan seperti itu. Memangnya apa salahku?” batin Saras setelah bertatap mata dengan pria asing itu. Tatapannya sangat menusuk dan tajam. Serta memberikan beragam pertanyaan untuk Saras yang baru saja menginjakkan kakinya di desa itu.

“Apa desa ini berhantu? Alamak, baru pertama kali kesini udah dapat desa berhantu aja.”

“Ayo mari mbak-mbak. Saya antarkan bertemu kepala desa di aula desa kami,” keheningan Saras pecah begitu namanya secara langsung disebut oleh penduduk yang mendampingi mereka.

Saras dan kelima temannya mengikuti arahan dari penduduk yang menemani mereka. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk menjangkau aula desa Tirta Asri dari dermaga desa. Diperjalanan, banyak warga yang melihat enam perempuan itu secara sinis. Ada yang menggunjing dan ada yang tak peduli dengan kehadiran mereka.

“Buset, ini kenapa warganya pada sinis semua ya pandangannya,” celetuk Ratna.

“Iya ya. Eh apa memang mereka belum pernah lihat cewek cantik kah? Makanya mereka lihatnya nggak biasa gitu,” tambah Syahira dengan menggoda Ratna, Saras dan teman-teman yang lain.

****

Tak lama setelah mereka melewati beberapa penduduk, netra mereka melihat ada pos penjagaan kecil di pinggir jalan. Dua tentara berdiri di depan, seragam mereka tampak gelap di bawah cahaya senja yang memudar. Salah satu dari mereka menatap rombongan itu cukup lama.

“Guru baru dari dinas, Pak,” ujar pak Darto.

Setelah menjelaskan siapa yang mereka bawa, tentara itu hanya mengangguk. “Selamat datang. Kalau malam jangan ke arah hutan. Kadang ada suara-suara yang bikin salah paham,” ucapan itu diikuti keheningan singkat. Lalu mereka melanjutkan perjalanan.

Ketika akhirnya aula desa sudah terlihat, langit sudah benar-benar gelap. Lampu minyak di teras menyala redup. Beberapa warga berdiri menunggu dan di tengah-tengah warga terlihat seorang lelaki berkemeja batik melangkah maju sambil tersenyum lebar.

“Selamat datang, Ibu Guru,” sapanya. “Saya Jali, kepada desa Tirta Asri.”

Mereka saling menyalami. Pak Jali menawari mereka air minum dan mengajak duduk sejenak. “Rumah dinasnya dekat dengan sekolah yang akan kalian gunakan, tidak jauh dari sini,” katanya. “Memang tidak besar, namun cukup nyaman. Besok pagi, baru kita ke sekolah.”

Setelah semuanya menerima informasi yang cukup jelas dari pak Jali. Rombongan Saras mengekor pak Jali untuk melihat rumah dinas yang akan mereka tempati. Rumah dinas itu memang sederhana, dinding yang terbuat dari papan, beratap seng, dengan dua kamar dan dapur kecil di belakang. Lampu minyak di ruang tengah menebar cahaya kuning pucat.

“Sudah ya, saya pulang dulu. Silakan kalian istirahat dulu sebelum besok kita menuju ke sekolah. Mohon maaf kalau fasilitasnya hanya ala kadarnya,” ujar pak Jali kepada mereka. Setelah berpamitan, Saras dan kawan-kawan langsung masuk ke rumah tersebut. Ratna langsung menaruh tas di sudut ruangan, sementara Syahira membuka jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang.

“Lumayan,” katanya pelan. “Nggak separah yang kubayangin.” Saras tersenyum simpul. “Yang penting, atapnya nggak bocor.”

“Semoga lancar-lancar aja ya kegiatan kita. Aku juga heran, kenapa kepala dinas memindahkan kita sampai kesini. Sangat jauh dari tempat kita yang awal,” sahut Syahira.

Setelah mereka selesai membersihkan diri, mereka makan malam seadanya dengan bekal yang tersisa dari perjalana. Di luar, suara jangkrik terdengar bersahut-sahutan.

****

Angin malam masuk dari celah dinding, membawa udara lembap dan bau tanah basah. Menjelang tengah malam, suasana desa benar-benar sunyi. Saras berbaring di Kasur tipis, matanya belum sepenuhnya terpejam. Akan tetapi, dari arah hutan di kejauhan, terdengar suara letusan pelan, seperti suara tembakan.

Saras terperanjat, lalu ia menegakkan badan. “Ratna, kamu dengar nggak?”

“Ada apa. Kamu dengar apa Saras?” Ratna beralih menghadap Saras. Karena kondisinya Ratna sudah setengah tertidur.

“Sepertinya ada suara tembakan, dari arah hutan Na,” tambah Saras. Ratna diam sebentar lalu bergumam, “Kata warga, tentara sering latihan malam. Udah, nggak ada apa-apa Sar, cepat tidur. Besok harus bangun pagi, soalnya kita mau ke sekolah.”

“Mungkin memang itu hanyalah latihan para tentara, sudah Saras tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja,” ucapnya yang berusaha untuk menenangkan diri.

Ia menarik napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, setiap ia akan memejamkan mata, suara tersebut selalu terdengar. Suaranya samar namun nyata. Ketika Saras ingin berusaha memejamkan mata, tiba-tiba suara kayu berderit dari dapur. Suaranya memang hanya sekali, namun cukup membuatnya menahan napas.

Waktu berjalan pelan. Jarum jam di dinding berdetak nyaris tanpa suara. Akhirnya, di tengah rasa cemas dan kantuk beradu, matanya sudah mulai berat. Suara-suara di luar melebur jadi satu, angin, serangga dan mungkin juga tembakan samar yang entah benar atau hanya bayangannya saja.

Saras kembali menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi, kantuk yang tadi hampir datang, menguap begitu saja. Ia bangkit pelan, menyalakan lampu minyak kecil di meja, lalu mengambil buku bersampul cokelat dari dalam tasnya. Tinta pena mulai mengalir di atas buku bersampul cokelat.

5 Januari 2023.

Malam pertama di Tirta Asri.

Perjalanan hari ini terasa panjang. Danau, jalan tanah, pos penjagaan, lalu aula desa. Aku masih belum percaya akhirnya sampai di tempat ini. Desa ini sepi, namun keheningannya terasa lain, seperti menyimpan sesuatu yang belum ingin diceritakan.

Ia berhenti sejenak, menghadap jendela yang bergoyang pelan diterpa angin. Lalu kembali menggerakkan penanya lagi.

Di pos penjagaan, aku melihat seorang tentara. Tatapannya aneh, tidak ramah tapi juga tidak kasar. Seolah ia tahu sesuatu yang kami tidak tahu. Entah kenapa, aku masih teringat matanya sempai sekarang. Aku ingin percaya kalau malam ini aman. Tapi, di luar terlalu sunyi. Kadang terdengar suara yang tidak jelas datangnya darimana, seperti langkah yang seolah-olah masih tertahan.

Setelah selesai menuangkan perasaannya, Saras menutup buku cokelatnya perlahan, meniup lampu minyak sampai padam. Kegelapan kembali memenuhi ruangan. Ia menarik selimut, berusaha memejamkan mata dan mencoba tidur sambil menenangkan diri. Namun, di kepalanya masih terlintas tatapan tentara di dermaga itu masih tersisa. Dingin, tenang dan entah kenapa terasa terlalu dekat.

“Tuhan, tolong selamatkan kami selama kami tinggal disini. Kami kesini bukan bermaksud aneh-aneh. Melainkan kami ingin mengabdi untuk mensejahterakan anak-anak di desa Tirta Asri ini,” gumam Saras. Dan setelah lima menit akhirnya Saras bisa tertidur pulas.

****