5. Rencana Keberangkatan Ke London
Pagi di musim dingin.
Rumah keluarga Alexander dipenuhi suara gaduh pagi itu. Di ruang keluarga, koper-koper terbuka dan pakaian berserakan. Udara harum lavender dari pengharum ruangan bertabrakan dengan aroma kayu bakar. Di luar, salju tipis mulai menyelimuti jalanan desa Bibury. Teman-teman Daniel berkumpul di rumahnya untuk persiapan keberangkatan mereka ke London.
Di tengah tumpukan pakaian, Marsha dan Caroline sibuk berdebat sambil mengemas barang-barang.
Marsha kesal.
“Caroline, kamu bawa berapa tas,. Kita ini ke London, bukan pindahan rumah!”
Caroline membalas dengan nada tak kalah keras.
“Aku butuh semuanya, Marsha! Sepatu musim dingin, sepatu pesta, juga sepatu kuliah!”
Marsha menghela keras sambil merapikan bajunya yang telah dilipat.
“Ya ampun, kenapa perempuan bisa punya begitu banyak jenis sepatu?”
Caroline memelototi Marsha sambil memeluk sebuah kotak sepatu merah. Gadis itu semakin dramatis. “Karena sepatu adalah senjata, Marsha. Kita harus tampil sempurna di London nanti!”
Sementara itu, di kursi dekat perapian, Hugo dan Filbert duduk mengamati kekacauan yang terjadi. Hugo tertawa terbahak.
“Ha-ha-ha. Kalian ributnya seperti dua ibu-ibu rebutan diskon di pasar!”
Marsha menjawab sinis. “Ssst! Urus saja dirimu sendiri, Hugo!”
Filbert menunduk, wajahnya tampak murung. Hugo melirik ke arahnya, lalu menepuk bahu sahabatnya dengan senyum menggoda.
“Eh, Filbert, kamu bawa minyak kayu putih tidak?”
Filbert curiga,
“Buat apa?”
Hugo menahan tawa.
“Buat kamu. Biar tak mabuk di kereta saat ke London nanti. Tidak mungkin laki-laki sebesar kamu masih mabuk perjalanan.”
Wajah Filbert memerah. Dia mendorong pelan bahu Hugo.
“Hei! Jangan keras-keras ngomongnya! Nanti ketahuan dengan yang lain. Aku Memang kadang mabuk kalau perjalanan jauh.”
Caroline dan Marsha langsung melirik.
Dia tertawa kecil pelan.
“Ha-ha-ha! Makanya, Filbert, jangan kebanyakan minum susu cokelat sebelum berangkat.”
Marsha menambahkan “Tenang saja, Fil. Nanti kita makan permen jahe. Katanya bagus untuk mabuk perjalanan.”
Hugo semakin menggoda.
“Atau kita ikat saja si Filbert di dalam koper, biar nggak pusing!”
Filbert merengut, tapi akhirnya ikut tertawa.
Dia menghela napas. “Huh, ke London saja belum sampai, aku sudah pusing duluan.”
Di sudut ruangan, Daniel tersenyum melihat kelucuan sahabat-sahabatnya. Dia berdiri sambil melipat sweater dan memasukkannya ke dalam koper. Sesekali, tatapannya kosong, pikirannya seolah melayang ke Kota London.
Marsha menghampirinya sambil membawa dua gulung selimut.
Marsha memelototi sahabatnya.
“Daniel, kamu hanya membawa satu koper?”
Daniel tersenyum dingin.
“Ngapain banyak-banyak, Marsha? Baju juga bisa beli di sana.”
“Daniel itu cowok paling irit sejagat raya. Padahal di London kita butuh banyak outfit!” tukas Caroline.
Daniel hanya mengangkat bahu. Hugo tiba-tiba berbisik.
“Mengaku saja, Dani. Kamu bawa koper kosong biar bisa muat kenangan sama Stefany, ya?”
Daniel melempar kaus ke arah Hugo sambil tertawa pelan.
“He-he-he. Ada-ada saja kamu, Sobat!”
Tiba-tiba Nyonya Miriam datang dari dapur, membawa nampan berisi biskuit dan teh panas. Wajahnya penuh kasih sayang.
Nyonya Miriam berkata lembut.
“Kalian semua jangan lupa makan dulu. Tidak boleh berangkat dengan perut kosong.”
Marsha dan Caroline langsung menyerbu biskuit.
“Aunty, biskuit jahenya enak sekali!”
Marsha sambil mengunyah. Ikut berkata,
“Aunty, nanti kalau kami di London, boleh dikirimi biskuit ini lewat pos?”
“He-he-he.”
Nyonya Miriam tertawa kecil.
“Boleh. Saya akan kirim satu kotak penuh.”
Tiba-tiba Grandpa Jhon muncul dari arah tangga, membawa koper kulit tua. Matanya berkaca-kaca.
“Waktu kalian pergi nanti, rumah ini akan terasa sangat sepi.”
Daniel menghampiri dan memeluk kakeknya erat. Dan berkata pelan.
“Aku akan sering mengabari, Grandpa. Jangan khawatir.”
Grandpa Jhon mengangguk dan menepuk bahu Daniel.
“Dani kalau kamu bertemu Stefany, sampaikan salam kami. Katakan, dia tetap keluarga.”
Daniel hanya mengangguk, matanya berkaca-kaca.
Hugo tiba-tiba membuka koper Filbert dan terkejut.
“Hah? Filbert kamu bawa bantal sendiri?”
Filbert merengut.
“Aku tidak bisa tidur kalau tak pakai bantalku ini, okay?”
“Astaga Filbert kamu ada-ada, Saja!”
“Ha-ha-ha.”
Semua tertawa.
Bahkan Daniel ikut ertawa lepas. Untuk sesaat, beban di dadanya terasa terangkat.
Di tengah tawa dan kekacauan koper, Daniel merasakan sebuah kehangatan yang meyakinkannya, apapun yang menanti di London nanti, dia tidak akan melaluinya sendirian.
Peron, Stasiun Bibury.
Kereta uap menuju London berdiri gagah di peron. Uap putih mengepul, bercampur kabut pagi musim dingin. Suara peluit lokomotif sesekali memecah kesunyian desa. Hembusan angin membawa aroma logam, kayu bakar, dan rel kereta yang basah.
Orang-orang ramai hilir mudik. Sebagian melambaikan tangan, sebagian lain diam dengan wajah murung. Hari ini, Daniel Alexander meninggalkan Bibury bukan sekadar untuk kuliah, tapi mengejar sesuatu yang lebih besar yaitu masa depan dan cinta yang hilang.
Daniel berdiri di tengah peron, memegang gagang kopernya. Di belakangnya, sahabat-sahabatnya,
Filbert, Hugo, Marsha, dan Caroline juga sedang bersiap. Namun tidak ada yang bisa menyembunyikan air mata di sudut mata mereka.
Adegan perpisahan dimulai.
Para orang tua mulai memeluk anak mereka masing-masing.
Tiba-tiba Nyonya Miriam berlari kecil. Matanya sembab, pipinya basah oleh tangis. Dia langsung memeluk Daniel erat.
Nyonya Miriam menangis tersedu-sedu.
“Daniel, Nak. Jangan pernah lupa rumahmu di sini. Jangan lupa dengan keluarga kita.”
Daniel terkejut, lalu membalas pelukan sang ibu.
Di berkata dengan suara parau.
“Aku tidak akan lupa, Mommy. Aku janji. Aku akan sering mengabari.”
Nyonya Miriam mengusap pipi putranya. “Hati-hati di sana. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kalau lelah, pulanglah. Bibury selalu menunggumu.”
“Iya, Mommy. Aku tidak akan lupa Bibury dan segala kenangannya.”
Tuan Carlos berdiri agak jauh, dalam mantel abu-abu. Wajahnya keras, tapi sorot matanya bergetar.
Sang ayah lalu berkata pelan.
“Jaga dirimu baik-baik, Daniel.”
“Iya, Daddy,” sahut Daniel.
“Kalau ada apa-apa, kabari. Jangan buat ibumu cemas,” seru sang ayah.
Tuan Carlos berbalik. Nyonya Miriam menatap suaminya dengan pandangan sedih.
Grandma Sophia mendekat dengan langkah lambat. Dia memberikan syal rajutan hijau lumut kepada Daniel.
“Grandma rajut syal ini sendiri. Supaya kamu tetap hangat di London.”
Daniel menahan tangis “Terima kasih, Grandma.”
Grandma Sophia mengecup kening cucunya. Seraya berkata
“Cinta bukan kelemahan, Daniel. Kejarlah Stefany kalau itu kata hatimu. Tapi jaga dirimu. Kamu permata kami.”
Grandpa Jhon datang dengan tongkat kayu.
“Cucu lelakiku, Daniel Alexander tidak mundur dari apapun, bahkan demi cinta.” Grandpa Jhon ikut menyemangati.
“Aku takut, Grandpa... Kalau Stefany sudah tak mencintaiku,” ujar Daniel putus asa.
“Jangan pikirkan itu sekarang. Yang penting kamu berjuang. Kalau dia bahagia dengan orang lain, setidaknya kamu tak akan menyesal,” nasihat Grandpa Jhon.
“Terima kasih, Grandpa. Aku sayang Grandpa.”
“Aku lebih sayang kamu, Nak,” sahut Grandpa Jhon.
“Semangat untuk kita yang akan berangkat ke London!” seru Samuel.
Caroline dan Marsha mulai menangis.
“Kita boleh menangis lagi. Nanti maskara kita luntur bareng, Marsha!”
“Semangat untuk kita semua!” teriak Hugo.
“Semangat!” sahut semua orang.
Daniel menatap rel kereta yang mengular ke timur. Dia mendengar detak jantungnya sendiri. Bayangan Stefany berkelebat di pikirannya, senyum gadis itu, syal ungu, dan malam Natal Yang bersalju.
"Ini mungkin satu-satunya kesempatan bagiku. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus ke London, dan harus menemui Stefany, meskipun aku belum tahu apa yang akan kutemukan di sana."
Peluit panjang memecah udara dingin. Kereta mulai masuk perlahan ke peron. Asap putih menari, derak rel bergetar.
Petugas stasiun berteriak.
“Kereta ke London siap berangkat! Silakan naik!”
