4. Dukungan Keluarga Untuk Daniel
Angin musim dingin menyusup melalui celah-celah jendela tua rumah keluarga Alexander. Di ruang tengah, perapian menyala tenang, api kecilnya memancarkan cahaya jingga yang hangat.
Aroma kayu pinus terbakar menyebar ke seluruh ruangan, bercampur wangi rempah-rempah dari teh yang baru diseduh.
Daniel duduk sendirian di kursi tua dekat jendela, memandangi salju yang terus turun di luar. Wajahnya sendu. Syal ungu milik Stefany masih melingkar di tangannya, seperti relik berharga yang tak pernah lepas.
Langkah pelan terdengar dari tangga. Sosok wanita tua dengan rambut perak dan senyum lembut muncul, Grandma Sophia Alexander. Dia mengenakan cardigan rajut biru laut dan membawa nampan berisi dua cangkir teh panas.
Grandma Sophia berkata lembut.
“Cuacanya terlalu dingin untuk kamu duduk di sini sendiri, Dani.”
Daniel menoleh. Matanya masih merah setelah perdebatan dengan ayahnya tadi. Namun begitu melihat neneknya, dia tersenyum tipis.
Daniel menjawab pelan. “Aku hanya butuh untuk tenang, Grandma.”
Grandma Sophia duduk di sebelah cucunya. Dia pun meletakkan nampan, menyerahkan satu cangkir teh ke tangan Daniel. Tangan keriputnya menyentuh tangan sang cucu, memberi kehangatan yang tak hanya dari suhu, tapi juga dari cinta.
Grandma Sophia menghela napas.
“Kamu masih memikirkan Stefany, ya?”
Daniel hanya mengangguk pelan, menatap uap teh yang naik dari cangkir.
“Aku merasa separuh dari diriku telah hilang, Grandma. Dan setiap Natal tiba rasa itu selalu muncul lagi dan lagi.”
Grandma Sophia memandang cucunya dalam-dalam. Dia menarik Daniel dalam pelukan, mendekapnya seerat mungkin seperti ketika sang cucu masih kecil dan menangis karena jatuh dari sepeda.
Grandma Sophia berbisik.
“Dani, kamu punya hati yang lembut. Itu anugerah. Jangan pernah matikan rasa itu, hanya karena orang lain bilang kamu harus melupakan masa lalumu dengan Stefany.”
Daniel memejamkan mata dalam pelukan neneknya. Dia merasa kembali jadi anak kecil delapan tahun yang dipeluk setelah kehilangan kucing kesayangannya.
Daniel lalu berkata lagi,
“Daddy bilang aku bodoh karena terus menyimpan perasaan untuk Stefany.”
Grandma Sophia menepuk punggung Daniel.
“Ayahmu bicara begitu karena dia pernah terluka. Tapi kamu berbeda, Daniel. Kamu harus ikuti kata hatimu.”
Langkah kaki berat dan bunyi tongkat kayu terdengar mendekat. Dari sisi kanan ruangan, muncul seorang pria tua dengan tubuh tegap dan janggut putih rapi, Grandpa Jhon Alexander, mantan petani tangguh yang kini lebih sering duduk di dekat perapian dengan buku tua di pangkuannya.
Dia menghampiri mereka perlahan, lalu duduk di kursi hadapannya. Tatapannya tajam namun bijak.
Grandpa Jhon dalam suara serak berkata, “Cinta yang dalam tidak bisa disingkirkan hanya karena sejarah keluarga yang buruk di masa lalu. Cinta sejati harus diperjuangkan.”
Daniel menatap kakeknya. Dadanya bergetar.
“Tapi aku tidak tahu dia di mana sekarang, Grandpa.”
Grandpa Jhon tersenyum samar.
“Kamu tahu dia ada di London. Dan kamu juga akan ke sana, bukan? Untuk kuliah.”
Daniel menatap lantai, berusaha menahan air mata.
“Iya. Tapi aku tidak yakin jika Stefany masih ingat aku. Atau dia sudah sama orang lain.”
Grandpa Jhon mencondongkan badan, suaranya pelan tapi tegas.
“Kalau kamu benar-benar mencintai Stefany. Kamu harus siap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk rasa sakit dan kecewa. Tapi yang paling menyesakkan bukan karena ditolak, melainkan karena tidak pernah mencoba.”
Daniel terdiam. Napasnya berhembus berat. Di matanya, terlihat keraguan bercampur dengan kerinduan yang menumpuk bertahun-tahun. Grandma Sophia meraih tangannya lagi.
“Cinta itu bukan kelemahan, Daniel. Itu kekuatan. Dan kamu berhak mengejarnya.”
Tiba-tiba, dari arah dapur, muncul Nyonya Miriam, ibu Daniel, dengan mata merah dan wajah penuh emosi. Dia mendekat cepat, lalu berlutut di hadapan anaknya. Tubuhnya bergetar.
“Daniel, Darling. Tolong dengarkan Mommy.”
Daniel terkejut. Dia menggenggam bahu ibunya.
“Mommy? Kenapa? Kenapa Mommy menangis?”
Nyonya Miriam memeluk anaknya erat-erat.
“Karena Mommy takut kamu mati rasa, Daniel. Kamu anak kami satu-satunya. Kamu memiliki hati paling lembut dan Mommy tahu kamu terluka sejak Stefany pergi. Tapi tolong, jangan biarkan hati kamu beku. Jangan menjadi dingin kayak salju di luar sana.”
Tangis Nyonya Miriam pecah. Daniel membalas pelukannya dengan erat, seperti hendak mencairkan seluruh beban di dada ibunya.
Dengan suara parau Daniel berkata,
“Aku hanya takut, Mom. Takut kalau nanti di London, aku melihat Stefy telah bahagia bersama orang lain.”
“Lebih baik kamu lihat dia bahagia, daripada terus hidup dalam bayang-bayangnya, Dani,” ucap sang ibu lagi.
Grandpa Jhon menatap ke arah jendela, lalu kembali bicara dengan suara mantap.
“Kamu tahu, Dani. Saat muda dulu, Grandpa pernah hampir kehilangan Grandma. Tapi Grandpa kejar dia sampai ke Dublin. Naik kereta, dua hari dua malam. Dan tahu apa yang terjadi?”
Daniel menatap kakeknya penasaran.
Grandpa Jhon tersenyum lebar
“Dia peluk Grandpa di peron stasiun. Dan kita tidak pernah berpisah lagi setelah itu.”
Grandma Sophia menepuk lengan suaminya, tertawa pelan.
“He-he-he. Kamu masih romantis saja, Jhon.”
Suasana menjadi hangat. Tawa bahagia tercipta di antara air mata. Nyonya Miriam mengusap wajah Daniel, lalu menatap matanya dalam-dalam.
“Kamu tak sendiri, Daniel. Kalau kamu ingin ke London untuk belajar dan mencari Stefany, Mommy akan mendukungmu. Kami semua akan mendukungmu.”
Daniel menggenggam tangan ibunya, lalu melihat ke arah nenek dan kakeknya. Mereka semua tersenyum padanya, dengan cinta dan keyakinan. Di dalam hatinya, api kecil menyala, harapan yang lama telah padam kini berkobar lagi.
Daniel berbisik, tapi tegas.
“Aku akan pergi ke London. Bukan hanya untuk kuliah tapi untuk menemukan Stefany.”
“Dan apapun yang terjadi, kamu tetap cucu kami yang paling berani,” tutur Grandma Sophia.
Di luar, salju perlahan berhenti. Langit kelabu mulai cerah. Cahaya matahari musim dingin menyelinap ke balik jendela, menyinari wajah Daniel. Dia berdiri, menatap langit, dan untuk pertama kalinya sejak tiga tahun terakhir dia tersenyum.
Beberapa waktu kemudian.
Langit pagi di Desa Bibury masih diselimuti mendung tipis. Salju semalam belum sepenuhnya mencair dari atap-atap rumah batu tua. Udara dingin masih menggigit kulit, namun pagi itu terasa berbeda bagi Daniel Alexander.
Dia baru saja selesai membantu sang kakek membelah kayu bakar di halaman belakang, ketika suara langkah kaki cepat terdengar dari arah depan rumah.
Filbert teriak dari kejauhan.
“Daniel! Daniel, buka pintunya! Ada yang penting!”
Daniel bergegas ke depan. Saat membuka pintu kayu tua yang berderit, dia melihat Filbert, sahabat masa kecilnya, berdiri dengan napas terengah-engah, tangannya menggenggam selembar amplop besar berlogo biru tua bertuliskan, University of London.
Daniel kaget. Lalu berkata.
“Apa itu?”
Filbert dengan mata berbinar. Menjawab,
“Ini surat kelulusan dari University of London, kamu diterima, Dani! Aku juga! Tadi kurir datang ke rumahku dan menyerahkannya kepadaku.”
Daniel tercekat. Tangannya sedikit gemetar saat menerima surat itu dari Filbert. Amplop tebal itu terasa berat, bukan tentang isinya, tapi karena ada harapan yang telah dia gantungkan bertahun-tahun.
Filbert berkata lagi,
“Ayo cepat, Dani!”
Dengan jari gemetar, Daniel membuka amplop itu. Di dalamnya ada selembar surat resmi, lengkap dengan lambang kampus dan tanda tangan dekan. Matanya menelusuri setiap kata dan saat membaca kalimat “Selamat! Anda diterima.” Daniel menutup mulutnya, menahan gejolak emosi.
Daniel berkata hampir berbisik.
“Aku diterima!”
Filbert memeluknya dengan semangat dari arah samping.
“Amazing! Kita akan ke London, Dani! Kita semua lulus seleksi!”
“Kita semua?” tanya Daniel tak menyangka.
“Iya! Aku, kamu, Hugo, Marsha, dan Caroline. Kita semua diterima!”
Tepat saat itu, suara sepeda terdengar dari kejauhan. Hugo datang meluncur dari jalan utama, di belakangnya ada Marsha dan Caroline, keduanya berjalan kaki sambil membawa amplop yang sama. Mereka melambaikan tangan.
Hugo pun berteriak “Daniel! Kamu dapat juga, kan?”
Marsha tersenyum lebar. “Selamat ya, Daniel!”
Caroline menepuk tangan.
“Akhirnya kita bisa keluar dari desa ini bersama-sama!”
Daniel melangkah ke halaman depan, dikelilingi oleh keempat sahabatnya. Untuk pertama kalinya sejak malam Natal yang kelam itu, dia tersenyum begitu lebar. Tatapannya seakan bersinar.
Daniel menghela napas lega
“Mungkin ini, awal yang baru bagi kita.”
Nyonya Miriam mengintip dari balik tirai jendela. Wajahnya tersenyum haru saat melihat putranya tertawa bersama teman-temannya. Tak lama kemudian, dia keluar membawa baki berisi lima cangkir cokelat hangat.
Miriam berkata lembut
“Kalian pasti kedinginan. Ayo, masuk dulu. Rayakan kabar gembiranya di dalam.”
Hugo senyum lebar.
“Cokelat panas buatan Aunty Miriam memang yang terbaik!”
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga, perapian menyala hangat. Semuanya duduk melingkar, bercanda dan berbagi harapan untuk masa depan.
Marsha pun berkata, “Coba kalian bayangkan kita tinggal di Kota. Tidak ada ayam berkokok jam tiga pagi.”
“Ha-ha-ha.”
Caroline tertawa.
“Dan tidak ada Pak Tua Gregory yang berteriak mencari dombanya setiap sore!”
Filbert lalu menimpali,
“Tapi yang paling penting. Daniel bisa mencari Stefany di sana.”
Suasana langsung hening sejenak. Daniel menatap ke cangkir di tangannya. Lalu mengangguk pelan namun mantap.
“Iya, mungkin Tuhan memberikan jalan lewat ini. Aku harus ke London. Tidak hanya untuk kuliah. Tapi juga untuk mencari keberadaan Stefany.
Nyonya Miriam duduk di sisi Daniel, menggenggam tangan anaknya.
Dia pun berbisik lembut. “Mommy percaya kamu akan menemukan apa yang kamu cari. Dan kamu tidak sendiri, Dani.”
Daniel memandang ibunya. Untuk pertama kalinya sejak lama, hatinya terasa ringan. Harapan yang selama ini terkubur dalam salju akhirnya mulai mencair.
“London bukan hanya tempat kuliah bagi Daniel. London adalah harapan, tujuan, dan tempat untuk menjemput cinta yang pernah hilang. Dan aku siap menapaki jalannya,” seru Daniel penuh ketegasan.
