
Ringkasan
Setelah kepergian Stefany dan keluarganya secara diam-diam dari Desa Bibury. Membuat Daniel mulai kewalahan untuk mencari gadis yang sangat dicintainya itu. Namun tidak ada satupun informasi yang dirinya temukan. Hingga bertahun-tahun berlalu, Daniel pun diterima sebagai mahasiswa baru di fakultas Hubungan Internasional di sebuah kampus ternama di Kota London. Sepertinya takdir mencoba mempertahankan dirinya. Di kampus itu Daniel secara tak sengaja akhirnya bertemu dengan Stefany gadis yang selama ini dicarinya. Namun sayangnya, saat ini Stefany telah memiliki pacar bernama Jimmy. Mungkinkah cinta lama diantara Stefany dan Daniel berdemi kembali? Tap bagaimana dengan Jimmy? Akankah pria itu merelakan kekasihnya direbut oleh Daniel? Penasaran kisahnya? Silakan dibaca, ya! Kelanjutan novel ini akan terbit pada bulan Desember setiap tahun. Terima kasih semuanya. Plagiarisme melanggar undang-undang hak cipta nomor 28 tahun 2014.
1. Malam Natal Yang Sunyi
Salju turun lebat di langit Desa Bibury, membalut atap rumah-rumah batu kapur dengan lapisan putih yang tebal. Lonceng gereja tua berdentang pelan, menggetarkan udara dingin yang menggigit tulang.
Angin berhembus tajam di sela-sela pepohonan pinus yang berselimut salju, membawa wangi kayu bakar dari perapian rumah-rumah penduduk.
Di depan gereja St. Mary’s, lampu-lampu Natal berkedip lembut dalam warna merah, hijau, dan emas. Suara paduan suara anak-anak terdengar sayup, menyanyikan Silent Night dengan nada bening. Namun, di salah satu sudut halaman gereja yang remang, berdiri seorang pemuda remaja berusia tujuh belas tahun. Matanya redup, wajahnya pucat diterpa dingin, dan bibirnya menggigil pelan.
Namanya Daniel Alexander.
Dia berdiri mematung, kedua tangannya diselipkan ke dalam saku mantel tebalnya yang panjang. Salju menempel di bahu dan rambut hitamnya. Tatapannya kosong mengarah ke pintu gereja, seolah-olah sedang menunggu seseorang keluar dari sana.
Daniel menelan ludah, matanya berembun. Bayangan seseorang terus bermain di dalam kepalanya. Senyuman manis, suara lembut, sorot mata yang selalu bergetar setiap kali menatapnya. Stefany Madison. Nama itu masih terukir begitu dalam di hatinya.
Malam Natal ini seharusnya menjadi malam paling bahagia di desa kecil Bibury. Namun bagi Daniel, malam ini seperti gelap gulita tanpa bintang. Sebab, sudah tiga tahun Stefany menghilang, meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.
Hatinya bagai digerus rasa rindu yang terus-menerus menyakitkan.
Langkah kakinya berderak di atas salju. Empat sahabat Daniel muncul dari arah jalan desa, tampak menggigil kedinginan. Semua mengenakan kupluk wol berwarna cerah. Pipi mereka memerah karena udara dingin.
Filbert berjalan paling depan, tangannya menyembul dari saku jaket, menepuk pundak Daniel.
Filbert berkata,
“Daniel, hei Bro. Kamu di sini lagi? Dari tadi semua orang di dalam gereja nanyain kamu, tahu.”
Daniel hanya menatap kosong ke lampu gereja, tidak menjawab. Napasnya tampak membeku di udara dingin.
Hugo, yang tinggi besar, mengerutkan kening. Suaranya berat, sedikit serak.
“Gila, dingin sekali di luar, Dani. Ayo masuk. Tuh, Pastor sampai nyariin kamu. Beliau mau kita nyanyi bersama kayak tahun lalu.”
Daniel tidak bergerak. Marsha, gadis berambut pirang panjang, berdiri di samping Hugo. Dia tampak cemas, sorot matanya lembut.
Marsha pun berkata, “Daniel sudah, ayo masuk. Kamu sudah di sini hampir satu jam. Nanti kamu sakit.”
Caroline, si gadis berambut merah keriting, ikut menimpali dengan nada lembut.
“Kami semua di dalam, Daniel. Natal itu harusnya bersama-sama.”
Daniel menunduk. Bulir salju jatuh di bulu matanya. Lalu dia menghela napas panjang, akhirnya bersuara pelan, hampir tak terdengar.
“Stefy tidak datang lagi.”
Hugo menghela napas keras. Filbert menggigit bibir, tampak bingung harus berkata apa.
“Dani, kamu mau nunggu siapa sih? Kamu pasti tahu
sendiri ….”
Daniel memotong, suaranya tegas tapi parau.
“Aku menunggu Stefany muncul.”
Hening menelan keempat temannya. Paduan suara di dalam gereja melantunkan bait lain dari Silent Night, menambah kesan getir di udara. Marsha meraih lengan Daniel pelan.
“Daniel, sudah tiga tahun. Kamu harus move on.”
Daniel tersenyum pahit. Pandangannya tetap terpaku ke pintu gereja.
“Setiap tahun, setiap malam Natal, aku berdiri di sini. Dengan harapan bodoh, bahwa pintu gereja akan terbuka, dan dia muncul. Tersenyum. Lalu lari ke pelukanku seperti dulu.”
“Tapi Stefany tidak pernah muncul. Seolah-olah dia menghilang ditelan salju.”
“Dan tetap saja aku tak bisa berhenti nungguin dia.”
Filbert menghembuskan napas berat, lalu menepuk pundak Daniel lebih keras.
“Aku mengerti, Dan. Kamu sangat mencintai Stefany. Tapi dia sudah pergi. Sudah tiga tahun. Kamu tidak tahu dia di mana. Kita semua khawatir sama kamu.”
Daniel menoleh perlahan. Matanya sedikit berair. Dia lalu berbisik,
“Kamu tak mengerti, Bert. Aku bisa rasakan dia masih di sini di desa kita, Bibury.”
Caroline memeluk Daniel dari samping. Tubuhnya gemetar kedinginan.
“Aku mengerti kamu sayang sama Stefy. Tapi kamu tidak boleh menghukum dirimu seperti ini.”
Angin mendesir lebih kencang. Salju jatuh lebih deras, menutupi jejak kaki mereka.
Hugo memutar bola mata. Dia mendengus keras.
“Dani kamu cowok. Move on, Sobat. Masih banyak cewek lain.”
Daniel menatap Hugo tajam.
“Kamu pikir gampang? Kamu tidak pernah merasakan rasanya kehilangan orang yang kamu cintai tanpa alasan!”
Suara Daniel menggema di halaman gereja. Caroline dan Marsha terkejut. Filbert buru-buru menengahi.
“Sudah jangan ribut. Kita semua teman dan sahabat. Tidak perlu saling membentak.”
Marsha menepuk tangan Daniel lembut.
“Daniel, dulu aku sering melihat kalian berdua di taman Desa Bibury. Kamu selalu membuat Stefy ketawa. Dia juga kayaknya sangat menyayangi kamu. Tapi kalau akhirnya Stefy harus pergi, kamu harus belajar terima semuanya.
Daniel mendongak ke langit. Serpihan salju jatuh di pipinya, langsung meleleh menjadi butiran air dingin.
“Aku tidak bisa karena setiap aku pejam mata, aku masih bisa melihat wajah Stefy. Dengar suara dia ketawa. Merasakan tangannya masih menggenggam tanganku.”
Tiba-tiba gambaran samar muncul di benak Daniel. Malam Natal tiga tahun lalu. Suasana gereja penuh lilin. Stefany, gadis berambut cokelat keemasan, berdiri bersamanya di sudut gereja. Wajah Stefany tampak cemas.
“Daniel, kalau suatu hari aku menghilang, kamu masih mau menunggu aku, tidak?”
“Aku akan menunggu kamu, seumur hidupku.”
Stefany menangis. Bibirnya bergetar. Lalu dia mencium pipi Daniel cepat-cepat. Malam itu, adalah ciuman terakhir mereka.
Kembali ke masa kini.
Daniel memejamkan mata. Air matanya jatuh, bercampur salju di wajahnya.
Daniel berkata hampir berbisik,
“Dulu ku janji sama Stefy. Jika aku akan menunggunya.”
Marsha menangis pelan. Caroline memegang tangannya, mencoba menenangkannya.
“Tapi kalau Stefy, tidak pernah kembali, kamu mau menunggu sampai kapan, Dani?”
Daniel menatap sahabatnya kosong.
“Sampai kapanpun.”
Filbert mengusap wajahnya, frustasi. Hugo mendengus keras, hampir meledak marah.
“Kamu memang keras kepala sekali, Dani. Kamu pikir Stefany memikirkan kamu juga?” Ayolah move on!”
Daniel membalas dengan suara serak.
“Terserah kamu mau bilang apa. Aku tak bisa berhenti menunggu dia.”
Marsha melangkah lebih dekat. Wajahnya basah karena air mata.
“Daniel, kalau Stefany benar-benar sayang kamu, dia pasti balik. Tapi kalau dia tidak kembali, apa kamu mau mati pelan-pelan menunggu dia?”
Daniel tidak menjawab. Angin menderu keras. Lonceng gereja berdentang lagi.
Pintu gereja tiba-tiba terbuka. Seorang Pastor, melihat ke luar, mengenakan jubah putih dengan hiasan emas.
“Anak-anak, kenapa masih di luar? Ayo masuk ibadah Natal akan segera dimulai,” seru Pastor Lucas.
Hugo cepat menjawab.
“Sebentar lagi, Pastor. Kami sedang menunggu seorang teman.”
Pastor Lucas memandang Daniel. Matanya yang keriput memancarkan belas kasihan.
“Daniel, kamu masih menunggu Stefany?”
Daniel menunduk. Pastor Lucas menghela napas berat.
“Tuhan mendengar setiap doa, Nak. Tapi kadang, jawaban-Nya tidak seperti yang kita inginkan.”
Daniel tidak sanggup menjawab. Caroline menggandeng tangannya lembut.
“Dani. Ayo masuk. Kita duduk paling belakang, kalau kamu tidak mau orang-orang melihatmu.”
Daniel menarik tangannya pelan.
“Tidak, kalian saja yang masuk. Aku mau di sini.”
Filbert menyerah. Dia menepuk dada Daniel pelan.
“Baik. Tapi kalau kamu kedinginan, langsung masuk saja. Kita di bangku sebelah kanan, dekat pohon Natal.”
Marsha menatap Daniel sedih. Dia lalu masuk ke dalam gereja bersama Caroline dan Hugo. Pastor Lucas menatap Daniel sejenak, lalu menutup pintu gereja perlahan. Keheningan kembali menelan halaman gereja.
Daniel menghela napas panjang. Salju makin tebal menutupi sepatunya. Dia bersandar ke dinding batu gereja, menatap lampu-lampu Natal yang berkelap-kelip. Suara paduan suara terdengar samar dari dalam.
“Aku masih bisa mencium wangi parfum Stefany. Wangi bunga lavender yang dia pakai setiap malam Natal.”
“Tiap detik di Desa Bibury ini, selalu mengingatkanku padanya.”
“Aku tak peduli orang mengatakan aku bodoh. Aku aku tetap menunggu Stefy muncul, walaupun sampai Natal terakhirku.”
Dia menghela napas berembun. Perlahan, Daniel menggumam ikut menyanyikan lirik lagu, Silent Night, sambil menahan tangis. Di sudut gereja, di bawah hujan salju, dia tetap berdiri menanti cinta yang tak kunjung pulang.
Dan malam Natal yang sunyi itu terus berjalan, meninggalkan Daniel dengan satu pertanyaan yang belum terjawab.
“Kamu di mana, Stefany?”
