Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Kereta Berangkat Menuju London

Semua mulai bergerak. Marsha, Caroline, Hugo, dan Filbert menggiring koper masing-masing ke arah pintu gerbong.

Daniel menatap orangtuanya dan kakek-neneknya sekali lagi. Air matanya jatuh. Dia berlari memeluk ibunya, lalu satu per satu mencium tangan nenek, kakek, dan ayahnya.

Daniel menangis. Seraya berkata,

“Aku sayang kalian semua.”

Nyonya Miriam ikut menangis terisak-isak. “Kami juga sayang kamu, Nak. Sangat.”

Grandpa Jhon ikut bersuara.

“Pergilah. Tunjukkan siapa sebenarnya cucu Jhon Alexander.”

Grandma Sophia turut menangis.

“Hati-hati, Darling.”

Tuan Carlos hanya diam, tapi akhirnya meraih kepala Daniel, meremas lembut rambut anaknya.

“Pergilah, Daniel. Kejar apa yang kamu mau. Jangan ragu.”

Daniel menarik napas panjang. Dengan tangan masih gemetar, dia menaiki tangga gerbong. Marsha melambaikan tangan di jendela gerbong.

Marsha teriak.

“Bye, Bibury!”

Caroline juga berteriak. “London, we’re coming!”

Sementara Daniel berdiri di pintu kereta. Dia menatap keluarganya yang terus melambaikan tangan. Nyonya Miriam masih terisak. Grandma Sophia berpegangan pada tongkat Grandpa Jhon. Tuan Carlos berdiri sedikit di belakang, diam tapi matanya basah.

Dalam hati Daniel berkata,

“Hari ini … aku tinggalkan Bibury. Tapi aku bawa serta cinta, doa, dan kenangan. Aku tak tahu apa yang menunggu di London. Tapi aku harus pergi. Demi Stefany. Dan demi diriku sendiri.”

Peluit panjang berbunyi. Kereta mulai bergerak perlahan. Daniel melongok keluar jendela, melambaikan tangan. Bibury perlahan menjauh, tergantikan hamparan putih salju yang membentang.

“Saat rel kereta mengantar kami ke kota besar, aku tahu, hidupku tidak akan sama lagi. Aku siap menjemput takdirku. Dan mungkin cintaku.”

Masih dalam perjalanan ke London.

Salju masih turun lembut di luar jendela gerbong kereta. Butir-butir putih menempel di kaca, meleleh perlahan, menciptakan gurat-gurat air yang berkilau. Rel kereta bergetar halus di bawah mereka, membawa kereta uap yang menghela kepulan asap putih ke arah timur, menuju London.

Di dalam gerbong kelas ekonomi, suasana tidak seramai di stasiun tadi. Para penumpang kebanyakan duduk diam, sebagian terlelap dengan selimut menutup tubuh, sebagian sibuk memandangi pemandangan salju di luar. Bau wol basah, logam, dan kayu tua memenuhi udara.

Daniel duduk di kursi dekat jendela. Wajahnya menempel di kaca yang dingin. Matanya kosong, menatap hamparan ladang yang tertutup salju. Sesekali, bayangan pepohonan kering berkelebat di kejauhan.

“Tiga tahun lalu, aku berdiri di sudut gereja. Salju juga turun seperti ini. Stefany … di mana kamu sekarang?”

Daniel menghembuskan napas panjang. Uap putih keluar dari mulutnya, membentuk kabut kecil di udara. Tangannya masih memegang erat syal hijau lumut buatan neneknya.

“London tinggal beberapa jam lagi. Hati aku malah makin berat. Kenapa aku takut? Kenapa rasanya seperti melangkah ke jurang?”

Marsha yang duduk di seberangnya, melipat tangan di dada sambil memelototi Daniel.

“Daniel. Kalau kamu menatap salju terus, nanti kamu bisa kawin sama Ratu Salju, tahu!”

Daniel tersenyum tipis. “Ya tidak apa-apa, Marsha. Sang ratu mungkin tak akan meninggalkan aku tiba-tiba, tidak seperti Stefany.”

Marsha langsung memukul lengan Daniel pelan.

“Jangan ngomong begitu, Dani!”

Hugo, yang duduk di kursi samping Marsha, langsung ikut bicara.

Dia berlagak serius.

“Eh, Dani. Kamu tahu tidak kenapa kereta di Inggris suka bunyinya choo-choo?”

Daniel menoleh malas.

“Memangnya kenapa?”

Hugo berkata sambil menahan tawa.

“Ha-ha-ham Karena kalau bunyinya cihuy-cihuy, itu bukan kereta, itu sorak Sorai kita saat mendapatkan kabar kita diterima kuliah di London!”

Marsha langsung melempar bantal kursi ke arah Hugo.

Gadis itu berteriak.

“Hugo! Leluconmu tidak lucu!”

Hugo tertawa terbahak-bahak.

“Tapi kamu ketawa juga kan?”

Marsha menatap Daniel, mencoba serius.

“Dan, kamu harus semangat. London itu penuh cewek cantik. Jika Stefany tidak mau lagi sama kamu, masih banyak cewek lain.”

Daniel hanya menunduk.

“Bukan itu masalahnya, Marsha.”

Caroline menimpali.

“Iya. Dia masih cinta sama Stefany. Kita semua tahu itu.”

Filbert, yang duduk tepat di belakang Daniel, menyodorkan kotak permen jahe.

“Dani, makan ini. Biar kamu tidak mabuk perjalanan. Aku juga agak khawatir, takut mabuk.”

Daniel menerima kotak permen itu, lalu tersenyum tipis.

“Terima kasih, Sobat. Kamu baik sekali.”

Filbert mengerutkan kening.

“Tentu saja. Kita sahabat, Dani.”

Hugo tiba-tiba mencondongkan badan ke arah mereka semua. Wajahnya penuh semangat.

“Eh, kalian tahu tidak cerita lucu tentang turis Jepang yang pertama kali naik kereta ke Bibury?”

Caroline menghela napas.

“Ya ampun, Hugo. Jangan mulai lagi!”

Tapi Hugo tetap tak peduli dan terus melanjutkan ceritanya

“Jadi begini. Turis Jepang itu duduk dekat jendela, terus lihat salju tebal sekali. Dia pun berkata, Sugoi, White rice everywhere!”

Marsha langsung memukul Hugo pakai syal.

“Ya ampun, Hugo! Lelucon itu membuatku ingin segera turun kereta!”

Hugo tertawa puas.

“Ha-ha-ha. Tapi kamu tetap tertawa.”

Daniel menggeleng pelan. Meski matanya masih berkabut, dia tak kuasa menahan senyum.

“Terima kasih sudah menghibur kita, Hugo,” ucap Daniel.

“Ya, Dani. Semangat untukmu jangan sedih terus!”

Sementara teman-temannya ribut, Daniel kembali memandang ke luar jendela. Lintasan rel membelah hamparan salju, seolah menggiringnya ke masa depan yang tak pasti.

“Stefany, apakah kamu juga naik kereta ke kampus yang sama? Apa kamu bahagia di sana? Apa kamu masih ingat aku?”

Marsha meraih tangan Daniel. Lalu berkata,

“Dani, kamu tak perlu menjadi pahlawan cinta. Kamu cukup jadi dirimu sendiri. Jika Tuhan berkehendak kamu akan bertemu dengan Stefany. Tapi jika tidak, kami akan selalu ada untukmu.”

Daniel menghela napas panjang.

“Ya, aku tahu Marsha. Terima kasih atas perhatiannya. Tapi hatiku tidak bisa bohong. Aku masih sangat menyayangi Stefany.

Marsha menepuk pipi Daniel.

“Baik, kami akan mendukungmu sepenuhnya. Tapi jangan lupa untuk membahagiakan diri sendiri juga.”

Hugo menengahi, masih tak mau suasana larut dalam kesedihan.

“Teman-teman apakah kalian sudah berlatih untuk memperkenalkan diri?”

“Tentu saja sudah,” sahut Caroline semangat.

Hugo langsung menirukan aksen lucu.

“Hai, saya Hugo. Berasal dari Desa Bibury,” ujarnya dengan aksen British kental.

“Ha-ha-ha!”

Marsha tertawa terbahak. Filbert sampai menutup wajahnya dengan bantal kursi.

Tiba-tiba kereta sedikit berguncang. Filbert langsung mencengkeram kursi.

“Wah, aku hampir saja mual!”

Caroline cepat-cepat mengibas-ngibaskan syalnya ke wajah Filbert.

“Tenang, Fil! Hirup aromaterapi syalku!”

“Caroline, itu syal wangi parfum mahal. Kamu ini ada-ada saja,” tutur Marsha menjelaskan.

Melihat teman-temannya bertingkah aneh, Daniel akhirnya tertawa pelan. Dadanya terasa sedikit lebih ringan.

“He-he-he. Terima kasih, Teman-teman. Kalian adalah sahabat sejati ku.”

Marsha merangkul pundaknya.

“Ya iyalah. Kita kan Bibury Squad!”

Hugo menimpali,

“Nama timnya terkesan aneh, Marsha.”

“Terserah saja. Yang penting kita semua adalah sahabat!”

Di luar, salju masih terus turun. Namun hati Daniel sedikit lebih hangat. Di tengah goncangan kereta, tawa sahabat-sahabatnya membuat rasa takutnya sedikit mereda. London makin dekat. Dan di sana mungkin Stefany sedang menunggunya.

“Aku belum tahu apa yang menanti. Tapi aku tidak sendirian. Aku punya para sahabatku. Dan aku punya harapan.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel