Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Pagi Natal Tanpa Stefany

Cahaya matahari musim dingin yang pucat menembus jendela kamar Daniel. Tirai putih berkibar pelan tertiup angin dingin yang menyusup dari sela-sela kaca tua rumah Keluarga Alexander.

Kamar itu sunyi, hanya suara jam dinding berdetak pelan. Udara pagi berbau kayu bakar, bercampur aroma roti panggang yang samar dari dapur.

Di atas ranjang, Daniel Alexander terbaring miring, masih mengenakan sweater tebal berwarna biru tua. Matanya terbuka, menatap kosong ke dinding kayu. Rambut hitamnya berantakan. Bantalnya lembab bekas air mata yang menetes semalaman.

Dia menghela napas panjang. Jantungnya terasa berat, seolah-olah masih terhimpit bayangan semalam, Stefany.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan. Seorang wanita paruh baya, ibunya, Miriam Alexander, melongok ke dalam. Wajahnya lembut, namun tampak khawatir. Rambut hitamnya sedikit beruban, digelung rapi. Dia mengenakan sweater rajut krem, dengan syal merah muda melingkar di lehernya.

Nyonya Miriam berkata dengan suara pelan, dan lembut,

“Daniel, kamu belum bangun juga, Nak?”

Daniel hanya memejamkan mata, pura-pura tidur. Nyonya Miriam masuk perlahan, duduk di tepi ranjang. Tangannya membelai rambut Daniel pelan.

“Hari ini hari Natal, Daniel. Mommy telah membuat roti jahe kesukaanmu. Daddy juga lagi bikin kopi di dapur. Ayo, bangun, Nak.”

Daniel membuka mata perlahan. Sorot matanya sayu. Miriam tersenyum tipis, meski jelas terlihat matanya berkaca-kaca.

Daniel menjawab

pelan.

“Tidak perlu repot-repot, Mommy.”

“Tapi ini hari Natal, Nak,” ucap sang ibu.

Daniel menatap langit-langit kamarnya.

“Untuk apa, Mommy. kalau Stefy tidak ada di sini.”

Nyonya Miriam terdiam. Air matanya hampir jatuh. Dia menatap putranya dengan penuh rasa iba. Tangannya meremas jari Daniel lembut.

“Mommu tahu kamu masih sayang sama Stefany. Mommy juga sayang sama dia. Tapi hidupmu nggak boleh berhenti hanya karena Stefy, Dani.”

Daniel menarik tangannya pelan, menjauh. Dia bangkit duduk di ranjang, membungkuk. Siku-sikunya bertumpu di lutut, wajahnya terkubur di kedua telapak tangan.

“Aku tidak bisa melupakan Stefy, Mommy. Aku masih merasakan kehadirannya di Bibury. Dia masih ada di sini.”

Nyonya Miriam mengusap punggung putranya.

“Hati kamu terlalu baik, Nak. Tapi kamu juga harus kuat.”

Langkah kaki berat terdengar mendekat dari lorong. Suara pintu kamar dibuka agak keras. Seorang pria tinggi, gagah, mengenakan sweater abu-abu dan celana kain hitam masuk dengan wajah masam. Rambutnya hitam keperakan. Sorot matanya tajam. Dialah Carlos Alexander, ayah Daniel.

Tuan Carlos langsung berdiri di depan ranjang. Tangannya bertolak pinggang.

Tuan Carlos dengan nada kesal. Berkata kepada putranya.

“Daniel. Kamu ini mau sampai kapan terus begini!”

Daniel mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan mata lelah.

“Daddy sama sekali tak mengerti!”

Tuan Carlos mengeraskan suara. “Justru Daddy sangat mengerti! Kamu masih saja terus-terusan memikirkan anak itu, padahal dia dan keluarganya sudah membuat keluarga kita hancur!”

Nyonya Miriam mencoba menengahi. Suaranya pelan namun tegas.

“Carlos, jangan terlalu keras sama Daniel. Dia masih sedih.”

Tuan Carlos mendengus, menatap Miriam sekilas.

“Sudah tiga tahun, Miriam. Sampai kapan kita harus sabar?”

Daniel menggertakkan giginya. Suaranya meninggi.

“Daddy tidak akan pernah mengerti! Stefany nggak salah apa-apa. Kenapa Daddy selalu menyalahkan dia?”

Tuan Carlos menunjuk putranya dengan jari gemetar.

“Karena dia anaknya Frank Madison! Keluarga kita tidak pernah merasa damai sejak ada keluarga Madison di Desa Bibury!”

Daniel berdiri dari ranjang, membalas tatapan ayahnya penuh amarah.

“Apa salah Stefany karena dia lahir jadi anaknya Frank Madison? Dia tidak ada hubungannya sama urusan ayahnya!”

Carlos mengetuk dahinya keras, frustasi.

“Justru itu masalahnya! Kamu tidak mengerti sejarah, Dani. Keluarga kita ini hancur gara-gara ayahnya Stefany!”

Nyonya Miriam berusaha menenangkan keduanya. Ia berdiri di antara mereka.

“Carlos, sudah! Kalian berdua tenangkan dulu pikiran.”

Tuan Carlos menggeleng keras, matanya merah.

“Aku tidak bisa, Miriam. Daniel harus tahu kenapa aku tidak mau dia berurusan dengan Stefany!”

Carlos berjalan ke jendela. Salju turun deras di luar, menutupi ladang yang menghampar di kejauhan. Ia menatap keluar lama sekali, seolah mengenang masa lalu.

> Carlos (pelan, suaranya berat): “Ladang gandum di Bibury… dulu ladang itu punya keluarga kita. Ladang Alexander. Sejak zaman kakek buyutmu, Daniel.”

Daniel terdiam. Miriam menatap suaminya cemas.

> Carlos: “Lalu, Tuan Jhon Madison—ayahnya Frank Madison, kakek Stefany—datang ke Bibury. Dia mulai beli tanah dari orang-orang desa yang kesulitan uang. Lama-lama, ladang kita tinggal separuh.”

Nyonya Miriam menambahkan.

“Waktu itu Frank Madison masih muda. Dia ikut campur urusan bisnis ayahnya.”

Tuan Carlos mendengus, suaranya makin penuh kebencian.

“Sampai suatu musim, hujan tidak turun. Panen gandum gagal. Gandum yang sedikit itu entah kenapa bisa hilang dari lumbung kita.”

Daniel menegakkan tubuh, menatap ayahnya penuh rasa penasaran.

“Hilang? Maksud Daddy, dicuri?”

Tuan Carlos mengangguk pelan.

“Ya. Lumbung kita kosong. Padahal kita butuh itu untuk bayar utang ke bank. Ternyata hasil gandum kita muncul di gudang Keluarga Madison. Mereka langsung jual ke pabrik roti di kota dan mendapatkan untung besar.”

Daniel terperangah. Nyonya Miriam menunduk, meneteskan air mata.

“Sejak saat itu, keluarga kita selalu dicap pencuri karena Frank Madison menuduh kita yang fitnah mereka.”

Tuan Carlos menahan emosi

“Orang-orang desa terbelah dua. Ada yang percaya pada keluarga kita, ada yang percaya dengan keluarga Madison. Sejak saat itu keluarga kita bermusuhan dengan mereka.”

Daniel menelan ludah. Suaranya pelan.

“Tapi Daddy tidak pernah bisa membuktikan kalau mereka memang yang mencuri gandum kita?”

Tuan Carlos menghela napas panjang.

“Tidak ada bukti. Karena satu-satunya saksi, penjaga lumbung gandum kita mati mendadak saat hendak memberikan kesaksian. Akhirnya Keluarga Besar Madison pindah ke London. Biar nama mereka nggak makin jelek di Bibury.”

Daniel memejamkan mata. Nyonya Miriam menepuk pundak putranya pelan.

“Kamu tahu, Dani. Daddy kamu keras begini bukan karena dia benci Stefany. Tapi karena dia takut kamu makin menderita kalau terus dekat dengan salah satu anggota Keluarga Madison.”

Tuan Carlos menatap Daniel dengan sorot mata keras tapi basah oleh air mata yang ditahan.

“Frank Madison bukan orang baik, Dani. Dia bisa melakukan apa saja untuk mempertahankan kehormatannya. Bahkan mengusir anaknya sendiri, seperti yang dia lakukan kepada Stefany.”

Daniel menghela nafas. Wajahnya berubah sendu.

“Tapi Daddy, Stefany tidak ada salah apa-apa. Dia sama seperti aku. Kami hanya korban dari perselisihan keluarga di masa lalu.”

Tuan Carlos memukul meja kecil di samping jendela. Benda-benda di atas meja bergetar.

“Semuanya tidak semudah itu, Daniel! Kamu tidak akan mengerti. Frank Madison pasti sudah punya rencana. Kamu pikir dia akan mengizinkan anaknya untuk kembali ke Bibury suatu hari nanti? Hal itu tidak akan terjadi! Percayalah!”

Nyonya Miriam mendekap Daniel, suaranya lembut tapi tegas.

“Tapi Daniel juga punya hak untuk bahagia, Carlos. Kita tidak bisa melarang keinginan hatinya.”

Tuan Carlos terdiam. Dadanya naik-turun cepat. Dia tampak rapuh sejenak, seolah kelelahan menyimpan dendam bertahun-tahun. Daniel menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Daddy, aku hanya ingin mengetahui kabar Stefany. Hatiku barulah lega jika tahu dia baik-baik saja. Aku tidak peduli dengan persoalan ladang gandum. Aku hanya peduli dengan Stefy!”

Tuan Carlos menunduk, menggenggam tangan. Suaranya lirih.

“Dani, kalau kamu terus ingin mengetahui semuanya tentang Stefany, Daddy takut kamu akan disakiti oleh Frank Madison. Daddy hanya ingin menjagamu.”

Daniel melangkah mendekat. Dia menatap ayahnya penuh rasa sakit di hatinya.

“Tapi Daddy tidak pernah mengerti rasanya kehilangan orang yang aku cintai.”

Suasana kamar hening. Nyonya Miriam mengusap matanya, menangis pelan. Tuan Carlos perlahan memeluk Daniel. Tubuh pria itu gemetar.

“Daddy juga pernah merasakan kehilangan. Daddy tidak mau kamu mengalami hal yang sama.”

Daniel terdiam di pelukan ayahnya. Beberapa saat, hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Lalu Nyonya Miriam berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana.

“Bagaimana kalau kita ke gereja pagi ini? Bersama-sama Setelah itu kita makan siang keluarga.”

Tuan Carlos mengangguk perlahan. Daniel hanya menghela napas. Dia melepaskan pelukan ayahnya pelan-pelan.

“Aku akan menyusul ke gereja. Aku butuh waktu sendiri.”

Nyonya Miriam menatap suaminya sejenak. Tuan Carlos hendak protes, tapi sang istri menggeleng lembut. Mereka pun meninggalkan kamar, menutup pintu perlahan. Daniel berdiri di dekat jendela, menatap keluar.

Salju turun deras. Ladang gandum yang terbentang di kejauhan tampak putih sempurna, seperti selimut lembut menutupi luka masa lalu. Daniel menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca.

“Ternyata selama ini, ada alasan kuat kenapa Daddy benci keluarga Stefany.”

“Tapi Stefany tidak salah. Dia juga pasti menderita. Sama seperti aku.”

“Aku harus menemukan dia. Apapun yang terjadi.”

Daniel meraih syal ungu yang masih tergantung di paku dinding kamar. Dia menatap syal itu lama sekali, lalu meremasnya erat di dadanya. Wajahnya kini dipenuhi tekad.

Daniel berbisik pelan. “Aku janji, aku akan ke London. Aku pasti akan menemukanmu, Stefy.”

Lonceng gereja di kejauhan mulai berdentang, memanggil umat untuk ibadah Natal. Cahaya matahari musim dingin menembus awan kelabu. Salju terus turun, menutupi jejak luka lama, namun tak mampu menutupi rasa rindu Daniel pada Stefany.

Dan pagi Natal itu pun terasa hampa bagi Daniel, karena satu orang yang dirinya cintai masih tak kunjung pulang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel