Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Kilas Balik Cinta Remaja

Salju turun perlahan, bagaikan ribuan serpihan kapas putih menari di udara gelap. Malam Natal tiga tahun lalu di Desa Bibury begitu indah. Lonceng gereja St. Mary’s berdentang lembut, menggema di jalanan berbatu yang basah oleh serpihan es. Rumah-rumah batu kapur dihiasi lampu kelap-kelip merah, hijau, dan emas. Pohon-pohon pinus menjulang diam di sepanjang jalan, dipenuhi hiasan lampu peri yang berkilau.

Suara paduan suara gereja terdengar sayup, melantunkan, O Holy Night dalam nada penuh damai. Namun dibalik indahnya malam Natal itu, sela-sela tawa riang orang-orang desa, dua remaja bersembunyi di balik sisi gereja yang gelap.

Mereka adalah Daniel Alexander, si pemuda Desa Bibury yang ceria namun keras kepala, dan Stefany Madison, gadis manis berambut cokelat keemasan yang selalu mengenakan syal ungu lembut.

Daniel menarik napas panjang. Hembusan nafasnya berubah menjadi kabut putih di udara dingin. Tangannya memegang tangan Stefany erat-erat. Jemari gadis itu terasa dingin bagai es.

Daniel berbisik, suaranya rendah. “Tanganmu sangat dingin. Apakah kamu kedinginan, Stefy?”

Stefany hanya menunduk. Wajahnya pucat, matanya tampak sembab. Serpihan salju jatuh pelan di rambut panjangnya yang terurai. Daniel mengusap salju di bahu Stefany, lalu menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah gadis itu.

Stefany berkata pelan, dan lirih,

“Daniel ….”

“Ya, Stefy. Ada apa?”

“Aku takut,” sahutnya dengan suara bergetar.

Daniel tertegun. Hatinya mencelos melihat sorot mata Stefany. Ada ketakutan yang teramat besar di sana. Daniel mendekatkan wajahnya, mencoba mencari tahu.

“Takut apa? Ada apa, Stef? Kamu bikin aku khawatir.”

Stefany menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya.

“Kita tidak boleh seperti ini.”

“Kenapa, Stefy? Ada apa?” tanya Daniel penasaran.

Stefany menahan isak tangisnya.

“Ini tentang hubungan kita. Kita seharusnya tidak boleh pacaran, Dani.”

Daniel mengerutkan kening. Dia menatap Stefany dalam-dalam. Lampu-lampu Natal yang temaram menciptakan siluet lembut di wajah mereka.

Daniel bersuara sedikit meninggi.

“Kenapa tidak boleh? Siapa yang mengatakan begitu?”

Stefany menunduk, suaranya parau.

“Ayahku,Tuan Frank Madison. Dia tidak mau aku dekat sama kamu.”

Daniel menggenggam tangan Stefany lebih erat. Wajahnya memerah antara marah dan cemas.

“Semua karena keluarga kita bermusuhan? Kenapa kamu mau kalah dengan kebencian orang tua kita?”

Stefany mulai menangis terisak-isak. Air matanya mengalir di pipi, membasahi salju yang menempel. Suaranya bergetar.

“Aku sayang sama kamu, Dani. Tapi, ayahku bisa melakukan apa saja supaya aku menjauh dari kamu. Dia bilang kalau aku terus dekat sama kamu, Daddy akan kirim aku jauh dari desa ini.”

Daniel mendadak panik. Dia memegang kedua bahu Stefany.

“Apa maksudnya kamu akan dikirim menjauh? Kamu mau dibawa ke mana?”

Stefany menjawab,

“Aku tidak tahu, dia bilang mungkin ke London. Atau ke luar negeri. Pokoknya jauh dari Bibury, dan juga kamu.

Hening beberapa detik. Suara paduan suara di dalam gereja terdengar semakin merdu. Angin malam berhembus, membuat Stefany menggigil. Daniel menelan ludah. Dia meraih kekasihnya itu ke dalam pelukannya.

Pelukan itu begitu erat, seolah Daniel tak mau gadis itu menghilang.

> Daniel lalu membisikkan sesuatu di telinga Stefany.

“Stefy, dengarkan aku baik-baik. Aku tak pernah peduli jika orang tua kita musuhan. Aku cinta kamu. Aku tidak akan melepaskanmu.”

Stefany memejamkan mata. Tubuhnya bergetar dalam pelukan Daniel. Air matanya mengalir deras.

“Tapi aku takut, Dani. Aku takut ayahku bener-benar bawa aku pergi jauh.”

“Kalau ayahmu membawamu pergi. Aku akan cari kamu! gue bakal nyari lo. Sampai ketemu. Di manapun kamu berada.”

Stefany mengangkat wajahnya, menatap Daniel dengan mata yang sembab. Salju perlahan jatuh di pipi mereka, meleleh menjadi air dingin.

Stefany bersuara pelan, hampir berbisik.

“Kamu janji, Dani?”

Daniel mengangguk tegas.

“Aku janji. Seumur hidupku, aku akan cari kamu sampai ketemu!”

Stefany mengatupkan bibirnya, menahan tangis. Dia mendekatkan wajahnya pada Daniel. Jarak di antara mereka begitu dekat, hanya dipisahkan embun dingin dari napas masing-masing. Bibir mereka akhirnya bertemu.

Kecupan lembut, penuh rasa takut sekaligus cinta yang membuncah. Stefany mencium Daniel dengan air mata yang terus menetes. Daniel membalas ciuman itu perlahan, menutup matanya. Dunia seolah lenyap di sekitar mereka.

Daniel berbicara sendiri.

“Saat Stefy cium aku malam itu, aku merasa semua bintang di langit jatuh ke bumi.”

“Aku nggak pernah mikir Stefy bakal benar-benar akan pergi. Aku pikir, cinta kita cukup kuat buat lawan kebencian orang tua kita. Ternyata aku salah.”

Mereka melepaskan ciuman itu perlahan. Napas keduanya terengah. Mata Stefany basah, bibirnya sedikit bergetar.

Stefany berkata lagi dengan suaranya parau. “Aku cinta kamu, Daniel. Tapi kalau suatu hari aku tiba-tiba hilang, jangan cari aku, ya.”

Daniel tertegun. Dia mencengkeram bahu Stefany lebih keras.

Dengan suara penuh emosi.

“Apa maksud kamu bicara seperti itu, Stefy? Kalau kamu menghilang aku akan cari kamu! Aku janji, Stefy.”

Stefany memejamkan mata, menggeleng lemah.

“Aku tidak mau kamu sakit karena aku, Dani.”

Daniel mencengkeram wajah Stefany dengan kedua tangannya, memaksanya menatap matanya.

“Aku tak peduli kalau aku harus sakit. Aku lebih merasa sakit jika tidak bersamamu. Aku tak bisa hidup tanpamu, Stefy.”

Hening beberapa detik. Angin malam makin kencang. Suara dentang lonceng gereja menandakan pukul sepuluh malam. Salju turun semakin deras.

Stefany akhirnya menunduk, suaranya seperti patah.

“Aku harus kembali ke rumah, Dani. Ayahku pasti sedang mencari aku.”

Daniel langsung memeluknya lagi. Namun Stefany menolak pelan, melepaskan diri. Dia melangkah mundur, air mata terus mengalir.

“Selamat Natal, Daniel.”

Daniel tercengang. “Stefy, tunggu!”

Stefany berlari kecil, menyusuri lorong di samping gereja. Daniel mengejarnya, namun langkah Stefany terlalu cepat. Gadis itu akhirnya menghilang di balik bayangan dinding batu. Daniel tertegun, berdiri diam dengan dada naik-turun.

Dia memejamkan mata, menggigit bibir, menahan air mata yang mendesak keluar. Daniel mendongak ke langit, menatap serpihan salju yang jatuh tanpa henti.

“Aku tidsk pernah melihat dia lagi sejak malam itu.”

“Aku selalu menyesal. Kenapa aku tidak langsung bawa dia kabur?”

“Malam Natal seharusnya jadi malam paling bahagia. Tapi sejak malam itu, setiap Natal selalu jadi malam paling sunyi untukku.”

Daniel akhirnya berjalan perlahan ke sisi gereja. Dia bersandar di dinding batu dingin. Tangannya meraba syal ungu yang tertinggal di sakunya, syal Stefany, yang jatuh saat gadis itu pergi.

Dia mendekap syal itu di dadanya, mencium wangi samar lavender yang masih tertinggal.

> Daniel hampir berbisik.

“Aku janji, aku akan menemukan kamu, Stefy. Di manapun kamu berada.”

Dentang lonceng Natal kembali menggema. Suasana Desa Bibury sangat meriah, lampu berkelap-kelip, tawa orang-orang menggema di jalan. Tapi bagi Daniel, malam Natal itu hanya menyisakan kehampaan.

Pria itu tetap berdiri di sana, di sudut gereja, menatap bayangan tempat Stefany menghilang. Salju terus turun, menutupi jejak langkah Stefany, seolah gadis itu memang tak pernah ada.

Dan di situlah malam Natal tiga tahun lalu berakhir dengan hati Daniel yang hancur untuk pertama kalinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel