9. Hope
"Banyak berharap akan membuat seseorang tidak bahagia, terutama bila sangat berekspektasi tinggi terhadapnya. Namun, kadang harapan bisa sangat menjanjikan bila tidak dipikirkan atau diinginkan."
— Leora Daya
Daya tidak menyangka pagi itu akan dimulai dengan sebuah kejutan. Di antara notifikasi belanja daring dan newsletter yang tak pernah ia buka, satu email mencolok di layar ponselnya: "Panggilan Wawancara – Sekolah Harapan Bangsa, Magetan." Itu adalah sebuah email yang sama sekali tidak diharapkan, tidak terduga, tapi tidak mampu untuk dilewatkan.
Tangan Daya gemetar, bukan karena antusias, tapi karena takut berharap. Enam bulan lalu, ia mengirim lamaran itu hanya untuk merasa hidup—bukan sungguh ingin pindah. Ia bahkan lupa nama sekolahnya. Kini, tawaran itu datang, menggandeng harapan yang belum sempat tumbuh sepenuhnya. Staat dia merasa telah kalah, kehilangan segala hal dalam hidupnya dan tak tahu arah mana yang harus dilewati di saat gelap menghadang, secuil asa dan cahaya, datang menggoda. Ia senang, bahagia lebih tepatnya, tetapi ada rasa takut untuk menjadikannya sebuah harapan. Karena terakhir dia menjadikan seseorang harapan, itu berubah menjadi sebuah kekecewaan yang memberinya lubang besar di hati.
Daya menatap layar ponselnya dalam waktu cukup lama, tak yakin apakah harus senang atau bingung. Magetan terdengar asing. Tak ada yang menunggunya di sana, tak ada wajah familiar, tak ada peta emosi yang bisa ia ikuti. Dia juga tidak pernah membayangkan bahwa kota itu mungkin akan menjadi tempat di mana dia bekerja.
Saat Daya terperangkap dalam kebimbangan, suara motor berhenti di depan rumah menyelamatkannya dari lamunan. Seorang perempuan mungil dengan senyum lebar muncul di balik pagar, menenteng sebungkus makanan dan semangat yang tak berubah sedikit pun sejak terakhir mereka bertemu.
"Fafie?" Daya tersenyum setengah tak percaya.
"Surprise? Kaget ya? Tadi aku menjenguk temanku yang baru melahirkan. Bayinya perempuan, lucu banget. Jadi aku pikir sekalian mampir ke kamu. Lama juga kita nggak ketemu, kan? Aku ganggu nggak, Day?"
Daya menggeleng. "Kamu selalu disambut di sini."
Fafie nyengir, lalu memeluknya erat. "Aku pengin silaturahmi, sekalian bawa oleh-oleh."
Di dalam rumah, setelah teh manis dan obrolan kecil, Daya membuka suara.
"Aku... tadi pagi dapat email," ucapnya pelan. "Panggilan wawancara kerja sebagai guru. Di Magetan."
"Lho? Kok tumben? Jauh amat," Fafie mengerutkan alis.
"Enam bulan lalu aku ngelamar, cuma iseng. Eh, baru dibalas sekarang. Aku bingung, Fie. Nggak kenal siapa-siapa di sana. Mau pergi, rasanya... berani nggak berani."
Fafie menatapnya lekat-lekat. "Kadang, kesempatan datang justru pas kita belum siap. Tapi bukan berarti kita harus mundur. Kalau kamu ngerasa ini bisa jadi awal baru, kenapa enggak dicoba?"
Daya menunduk, memainkan ujung cangkir. Ia tahu Fafie benar. Tapi memulai dari nol di tempat asing... apa hatinya siap?
"Ambil saja. Apalagi kamu sebenarnya ingin pergi dari sini, kan?"
Daya tak bisa menyangkal. "Kamu benar. Di sini... membuatku sesak."
Fafie diam sejenak, lalu meraih tangan Daya dan menggenggamnya hangat. Ia tahu semua tentang Permai dan luka yang masih berdenyut di dalam hati temannya itu.
"Patah hati memang menyakitkan," gumam Fafie. "Lihat aku. Setelah diselingkuhi lima tahun lalu, aku belum pernah pacaran lagi. Bahkan didekati atau sekadar naksir cowok aja, nggak sudi. Takut."
Daya mengangguk pelan.
"Bukan karena aku nggak mau nikah," lanjut Fafie. "Aku cuma belum siap. Punya pasangan terasa merepotkan... apalagi setelah lama terbiasa sendiri."
"Iya, aku tahu." Daya menatapnya lembut.
"Jangan merasa kasihan padaku, ya."
"Enggak, buat apa? Kamu lebih bahagia dari aku. Lagian, aku yang pernah menikah, kamu belum. Aku yang lebih layak dikasihani!"
"Enggak juga," sanggah Fafie. "Kamu nggak layak dikasihani, Day. Aku tahu kamu nggak pernah menyesali keputusanmu. Karena tiap keputusan kamu ambil pasti yang terbaik menurutmu waktu itu, kan?"
Daya mengangguk mantap. Fafie memang soulmate-nya. Sebagai Aries, Fafie tahu caranya mengerti seorang Sagittarius yang ceroboh sepertinya.
"Tapi aku penasaran satu hal."
"Apa?"
"Kamu, kan, trauma ya? Kok bisa mulai hubungan baru? Nggak takut?"
Daya menggeleng. "Aku bukan takut memulai. Aku takut saat prosesnya, terutama kalau ada momen yang memicu ingatan lama."
"Contohnya?"
"Kalau aku dipukul, atau seseorang bersuara keras dan kasar padaku, tubuhku otomatis gemetar, sesak napas, nangis tanpa bisa ditahan. Kayak... dihantam masa lalu yang datang tiba-tiba. Juga, saat misalkan dia dekat dengan perempuan, meski katanya sebatas teman atau following cewek random, meski katanya hanya kepencet, aku tidak pernah percaya, selalu dihantui rasa curiga dan pada akhirnya feeling itu selalu benar, membuatku seolah tahu terluka tapi tetap mencoba. Karena itu aku sangat super posesif terhadap pasanganku sampai membuat mereka semua sepakat mengatakan seperti terpenjara saat bersamaku."
"Separah itu?" Fafie tampak terkejut.
"Iya. Tapi selama sembilan tahun sama Permai, nggak pernah sekalipun dia kasar. Dia tidak selingkuh, menurutiku..."
Daya terdiam. Nama itu masih membuat dadanya ngilu. Juga, kebenaran yang didapatkan dari pengakuan Permai kala itu, menghancurkan segala kepercayaan dirinya sekalipun dia sudah menduganya.
"Nggak apa-apa. Jangan dilanjut kalau terlalu berat," ucap Fafie lembut.
Daya mengangguk setuju.
"Ngomong-ngomong soal Magetan, ada temanku yang mau ke Madiun di tanggal yang sama. Kenapa nggak pergi bareng dia? Dia naik sepeda motor, kamu bisa nebeng dia. Dia juga sepertinya nggak keberatan kalau punya teman seperjalanan. Orangnya asyik dan supel, kok. Kamu nggak akan nyesel."
"Cowok?"
"Iya. Kenapa? Nggak mau?"
"Aduh, nanti dikira yang nggak-nggak! Kamu tahu, kan, tetanggaku suka gosip."
"Sejak kapan kamu peduli ucapan orang?" Fafie menaikkan satu alisnya, seolah perkataan Daya sangat asing di telinganya.
"Kata Tilla, aku harus verifikasi kesalahpahaman mulai sekarang. Biar reputasiku nggak makin buruk."
"Capek, Day. Mereka belum tentu percaya juga."
"Mereka nyebut aku pemain cowok."
"Hebat."
"Hei! Aku serius!"
"Daripada disebut pemain setan?"
"Serem amat!"
Fafie tertawa, lalu kembali serius. "Jangan terlalu dipikirin. Yang suka kamu, nggak akan peduli rumor. Yang benci, nggak akan percaya meski kamu jelasin panjang lebar."
"Orang tua Permai percaya. Bahkan dia sendiri juga."
"Itu berarti dia nggak benar-benar percaya sama kamu."
"Tapi dia kenal aku selama sembilan tahun lebih, lho."
"Dan itu belum tentu cukup. Bisa aja dia cuma 'ingin percaya' waktu itu, atau memang nggak peduli. Sekarang, dia sudah memilih dan kamu bukan orang yang mau dia perjuangkan. Dia menyerah, Day. Jangan pernah berusaha membelanya lagi. Dia saja sudah nggak mikirin kamu, nggak peduli perasaanmu dan yang paling penting, dia sudah memutuskan meninggalkanmu meski tahu itu menyakitimu."
Daya terdiam. Tak bisa membantah.
"Kamu harus ambil setiap kesempatan yang datang, Day. Jangan biarkan luka lama menutup jalanmu."
Daya menarik napas panjang.
"Kadang, patah hati membuat mata manusia tertutup luka, padahal Allah sedang membuka pintu takdir baru lewat luka itu."
Daya menatap Fafie. "Kamu mungkin benar."
"Semua akan berlalu. Meski luka itu nggak sepenuhnya sembuh, kita bisa tetap melangkah. Seperti aku, yang masih menyimpan trauma, tapi nggak berhenti bergerak. Aku tidak pernah tertarik menjalin hubungan setelah diselingkuhi. Bukan karena aku dendam dengan orangnya, tapi luka itu membuatku berpikir bahwa berpasangan itu merepotkan dan sulit mengubah sugesti atau kepercayaan seseorang. Kamu nggak bisa merubah kecuali orang itu bersedia, Day."
Daya tersenyum samar, setuju dengan apa yang sahabatnya katakan. Ada luka yang tak bisa disembuhkan waktu, tapi bukan berarti ia harus tinggal diam. Mungkin, berpindah tempat bukan tentang lari dari masa lalu, tapi memberi dirinya ruang untuk bertumbuh—sekali lagi.
Magetan mungkin bisa menjadi sebuah pilihan untuk menemaninya mengawali awal yang baru di fase penyembuhan, bukan pelarian tapi sebuah awal yang menjanjikan. Kalaupun, ternyata lamaran pekerjaan ini tidak berhasil, setidaknya, dia sudah mencoba melakukan sesuatu.
"Aku berharap kamu sukses ya." Itu doa yang baik. Kata-kata terakhir yang Permai ucapkan di sela-sela banyaknya perkataan penuh kritikan, penghakiman dan ketidakpercayaan. Setidaknya, sekalipun pesan itu memberikan sejuta duri ke dalam jiwanya, ada satu doa terselip. Memberinya sebuah pemikiran positif, sekalipun cinta itu sudah sirna, hubungan itu sudah tidak ada dan Permai tak lagi melihatnya dengan cara yang sama, lelaki itu, dengan tulus mendoakan keberhasilannya. Sekarang, Daya akan mengusahakan agar doa itu tidak hanya menjadi sebuah doa basa-basi, tetapi kenyataan yang dinanti.
