Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Teman Perjalanan

"Perjalanan ke arah yang tak dikenal sering kali dimulai dengan seseorang yang tak terduga. Itu bukan sebuah hal yang luar biasa, tapi bisa menjadi sebuah awal mula."

- Leora Daya -

Langit masih menggantung mendung ketika Daya duduk di jok belakang motor bebek tua milik Jaka. Angin pagi memeluknya erat, dan helm pinjaman itu terasa sedikit longgar di kepala. Awalnya, ia hanya berniat minta diantar ke Terminal Bungurasih. Namun, Jaka, teman lama Fafie yang baru ia kenal dua hari lalu, menawarkan sesuatu yang lebih.

"Aku antar sampai Magetan aja, sekalian jalan-jalan," kata Jaka ringan. Seolah perjalanan dua setengah jam naik motor bukanlah hal yang melelahkan.

Daya sempat menolak, tapi lelaki itu bersikeras, bahkan sudah memeriksa kondisi motornya dan membawa jas hujan cadangan. "Kamu pikir ini motor balap? Ini motor penyabar, Day. Kita pelan-pelan aja."

Begitulah mereka melaju, memulai perjalanan mereaka berdua. Jalanan Surabaya yang padat dan riuh membuat mereka beberapa kali berhenti, bukan hanya untuk mengisi bensin, tapi juga untuk memberi waktu pada punggung dan kaki mereka beristirahat. Kadang mereka saling diam, kadang bercakap ringan tentang hal-hal sepele: cuaca, musik jalanan, atau penjual cilok yang hampir mereka tabrak tadi.

Saat azan Zuhur terdengar di antara klakson dan deru kendaraan, Jaka menepi ke masjid kecil di pinggir jalan. "Sholat dulu ya, biar adem," katanya sambil tersenyum.

Daya menurut. Ada ketenangan aneh yang hadir ketika mereka duduk berdampingan di warung makan setelahnya, menyantap pecel pincuk dan teh hangat. Seolah perjalanan ini—meski asing dan tak terduga—adalah sesuatu yang memang perlu ia alami.

Setelah menempuh perjalanan yang panjang, motor Jaka akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan sekolah bercat putih dengan papan nama sederhana: Sekolah Harapan Bangsa. Udara Magetan jauh lebih sejuk dibandingkan Surabaya—ada aroma pinus samar di udara, dan angin yang berhembus membawa sunyi yang asing tapi tak mengancam.

Daya turun perlahan, merenggangkan kaki yang pegal. Ia menatap gedung itu lama, seolah ingin memastikan bahwa ini nyata. Tempat yang dulunya hanya titik samar di peta imajinasinya, kini berdiri tepat di hadapannya.

Suasana pagi di Magetan terasa berbeda. Udara lebih dingin, tapi ada kehangatan yang menggantung di antara kabut tipis dan denting suara burung. Daya berdiri di depan gerbang Sekolah Harapan Bangsa, mengenakan blouse biru muda dan rok hitam panjang. Tangannya menggenggam map cokelat, sedikit bergetar karena gugup, atau mungkin karena cuaca yang belum akrab.

"Kalau gugup, tarik napas yang panjang, lalu senyum," suara Jaka terdengar dari sampingnya. Ia masih mengenakan jaket motor dan membawa helm di tangan. "Kamu pasti bisa."

Daya mengangguk pelan. "Makasih banget udah mau nganter sampai sini, padahal harusnya cukup sampai terminal."

"Udah bilang, aku nggak tega ninggalin kamu sendiri di kota asing. Lagi pula, ini jadi alasan buat motoran jauh," jawab Jaka santai. Senyumnya membuat suasana sedikit lebih ringan.

Setelah percakapan penuh motivasi itu, Daya masuk ke area sekolah. Bangunannya tidak terlalu besar, tapi tampak terawat dan bersih. Suara anak-anak SMP terdengar riang dari lapangan belakang. Ada kehidupan di sini, dan entah mengapa, hatinya yang sempat beku terasa mencair sedikit.

Ia disambut oleh seorang perempuan paruh baya dengan jilbab krem dan senyum ramah. "Selamat pagi, Mbak Leora, ya? Saya Bu Arti, bagian administrasi. Mari ikut saya ke ruang kepala sekolah."

Daya berdiri, merapikan blusnya yang sedikit kusut karena perjalanan, lalu melangkah mengikuti arahan. Kali ini, tak ada lagi ragu. Hanya tekad yang perlahan tumbuh, di tanah yang tak ia kenal sebelumnya.

Ruang kepala sekolah beraroma buku dan kayu tua terbuka. Di sana, seorang pria berkemeja putih dan berkacamata duduk menunggu. Usianya mungkin menjelang lima puluh, dengan sorot mata tajam tapi tidak mengintimidasi.

"Selamat datang, Ibu Leora. Saya Pak Bimo. Silakan duduk. Saya sudah membaca CV dan surat lamaran Anda. Sedikit telat memang, tapi posisi pengajar Bahasa Indonesia kami baru terbuka kembali."

Daya duduk perlahan, merasa seluruh dunia mengecil ke dalam ruangan itu. Ia mulai menjelaskan pengalamannya, motivasinya, dan meskipun beberapa kata sempat tertahan di tenggorokan, ia berhasil menjelaskan semuanya dengan tenang.

Wawancara itu tak berlangsung lama. Namun ketika ia keluar dari ruang kepala sekolah, langit Magetan tampak lebih cerah.

Entah diterima atau tidak, Daya merasa satu langkah kecil sudah ia ambil. Hal itu cukup untuk hari ini. Dia sudah hebat karena memiliki keberanian untuk mulai lagi dari nol.

"Kalau kamu sudah sampai sini, artinya kamu lebih berani dari yang kamu kira." Daya membatin.

Daya melangkah keluar dari gerbang sekolah dengan langkah ringan, meskipun hatinya masih digelayuti tanda tanya. Ia menarik napas panjang, mencoba menyerap udara dingin Magetan sebanyak mungkin, seolah ingin mengisi paru-parunya dengan semangat baru.

Di seberang jalan, Jaka duduk di atas motornya, sedang mengunyah permen karet dan memainkan ponsel.

"Udah kelar?" serunya saat melihat Daya mendekat.

"Udah," jawab Daya pelan, tapi senyumnya lebar. "Nggak tahu hasilnya gimana, tapi... aku lega."

Jaka menyelipkan ponsel ke saku jaketnya. "Lega itu bagus. Tanda kamu udah berani."

Daya menaiki motor perlahan, masih menahan rasa asing yang menggelayuti tubuhnya sejak pagi tadi. Saat mesin motor dinyalakan, suara knalpotnya membelah udara siang yang mulai hangat.

Mereka kembali menembus jalanan Magetan, kali ini tanpa beban yang sama seperti pagi tadi. Tak banyak kata yang terucap, hanya angin dan deru motor yang menjadi pengiring. Beberapa kali mereka berhenti—sekali di warung bakso kecil yang dikelilingi pepohonan pinus, lalu di mushola sederhana di pinggir jalan.

"Waktu terasa lambat di sini, ya?" gumam Daya sambil menyeruput kuah bakso yang mengepul.

"Atau mungkin, karena kamu udah terlalu lama hidup dalam kecepatan yang bikin capek," jawab Jaka santai. "Di sini, semuanya pelan. Justru itu yang bikin hidup terasa nyata."

Daya mengangguk. Ada kebenaran dalam kata-kata Jaka. Mungkin inilah yang selama ini ia butuhkan—bukan pelarian, tapi ruang untuk bernapas.

Dan saat matahari mulai miring ke barat, dengan tubuh lelah dan pikiran yang sedikit lebih damai, Daya tahu: dia sedang memulai sesuatu. Entah apa bentuknya, tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak takut.

Jaka mengantarnya ke terminal, untuk pulang naik bus karena tujuan Jaka sebenarnya adalah Madiun. Lelaki berkepala plontos itu bekerja di sana.

"Terima kasih banyak, ya. Kamu sudah mau direpotkan oleh kenalan baru sepertiku." Daya merasa malu sekaligus bersyukur atas kebaikan Jaka.

"Tidak masalah. Teman Fafie adalah temanku juga. Selain itu, aku senang memiliki teman perjalanan, biasanya aku hanya sendirian."

"Baguslah, kalau begitu, kita saling menguntungkan."

Jaka tersenyum tipis, "akan sangat bagus kalau kamu memberitahu betapa baik, sopan dan bisa diandalkannya aku pada Fafie ya."

"Kamu suka dia?" tebak Daya setengah tidak percaya, ragu, tapi cukup yakin.

Jaka hanya tersenyum malu dengan pipi merona.

"Ini rahasia ya."

"Baiklah, rahasiamu akan aman bersamaku." Daya tersenyum lebar. Ada perasaan lega dan senang. Bagaimanapun, Fafie memang orang yang baik. Namun, sahabat baiknya itu memang cukup tertutup dan tidak peka. Dia sering kali berpikir untuk menutup pintu, padahal sudah jelas ada seseorang yang menyukai dan mengharapkannya. Namun, memang cinta itu tidak bisa dipaksakan. Daya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk keduanya, baik untuk Fafie atau Jaka.

Jaka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, ke kota Madiun. Lelaki itu tersenyum ramah.

"Hati-hati di jalan." Daya berpesan sebagai seorang teman yang baik hati.

Jaka mengangguk lalu pergi setelah memastikan Daya masuk ke dalam bus yang akan membawa wanita itu kembali ke kotanya.

Daya kini hanya perlu menunggu apakah ini memang takdirnya untuk merantau lagi setelah putus cinta atau diam lebih lama di kota asalnya. Apapun yang akan terjadi, biarlah Tuhan yang menentukan. Daya sudah pasrah dan menyerahkan semua pada jalan takdir.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel