
Ringkasan
Leora Daya, 33 tahun, seorang perempuan yang ditinggalkan oleh kekasihnya setelah sembilan tahun bersama. Padahal, lelaki itu adalah harapan terakhirnya untuk bisa bahagia. Orang tua lelaki itu tidak menyetujui hubungan mereka yang memang sengaja dirahasiakan karena permintaan dari lelaki tersebut. Lantas, segalanya berubah hanya dalam satu malam. Leora kehilangan arah pulang, harapan dan segalanya menjadi gelap untuknya. Segalanya menjadi pekat dan menyakitkan. Keluarga itu menghakimi masa lalu dirinya dan keluarganya hanya dari rumor yang sudah lama terdengar dan tidak disangka masih eksis. Tidak ada pembelaan, alasan atau penjelasan, dia tidak berdaya. Segala akses telah ditutup. Dia mencoba melanjutkan hidupnya karena lelaki itu juga sudah bahagia dengan keputusannya. Dia sudah menemukan kebebasan yang selama ini diinginkannya. Leora, mencoba melupakan lukanya, tapi takdir seolah mempermainkannya, tiga mantannya kembali, termasuk kekasih yang sudah hilang komunikasi. Di balik perpisahan itu, ternyata terdapat campur tangan si NPD, mantan suami Leora, yang masih mencoba mengontrol dan tetap mengawasi Leora sekalipun sudah memiliki istri dan dua orang anak. Kini, Leora memutuskan untuk melawan, dengan cara yang tidak disangka. Termasuk, saat mantan mencoba kembali, dia akan memastikan segalanya menjadi tidak setara lagi.
1. The End Begins
"The Devil can't reach me. So, they sent a boy who treated me right—until one random Friday, he broke my heart into a million pieces."
— Leora Daya
---
Notifikasi sunyi di layar ponsel. Tidak ada pesan yang datang, meskipun sudah tiga puluh menit. Tidak ada pergerakan, pesan itu hanya dibaca. Tidak ada balasan, tidak ada tanda sedang mengetik atau tidak ada kejelasan apakah si empunya ponsel sedang online atau offline. Padahal, biasanya, hal itu tidak pernah terjadi. Sialnya, ada tanda online, pesan terbaca, tapi tidak ada jawaban. Firasatnya menjadi semakin buruk. Pikiran negatifnya semakin membesar, memberikan perasaan tidak nyaman dan kegelisahan yang nyata.
Daya menatap kosong layar yang mulai meredup, seolah sinarnya mewakili hatinya yang ikut redup. Biasanya, balasan datang seketika. Kali ini berbeda. Kali ini dia merasa ditinggalkan dan diabaikan. Meskipun sikap dingin dan terasa sengaja mengulur waktu itu sudah dirasakannya sejak dua hari yang lalu, dia masih mencoba untuk berpikir positif. Selain karena sudah sembilan tahun bersama, mereka tidak sedang bertengkar atau perang dingin. Mereka baik-baik saja. Bahkan, tadi pagi, dia masih mendapatkan pesan dan kata-kata cinta. Jadi, tidak ada hal yang seharusnya membuat hubungan mereka buruk atau dia mendapatkan perlakuan yang kurang layak. Seharusnya demikian, tapi sepertinya semesta sering kali bercanda dengan sebuah perubahan yang tiba-tiba dan tidak diinginkan.
Sebuah pesan masuk. Dingin dan terasa hambar. Selain itu, tidak ada rasa bersalah. Daya merasakan perasaan yang menusuk di hatinya, tetapi berusaha mengabaikannya agar tidak memicu pertengkaran atau keributan yang tidak perlu.
"Maaf, tadi aku sedang makan. HP-nya nyala."
Kalimat sederhana, tapi menusuk. Pengabaian yang terasa menguat. Daya menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sesuatu yang mendesak dari dalam dadanya. Napasnya berat. Ada firasat aneh yang selama ini berusaha dia abaikan.
Januari lalu, kartu tarot mengatakan April akan menjadi akhir untuk mereka. Saat dia mengatakan itu, Permai tertawa karena menganggapnya lelucon. Sekarang bulan April datang. Firasat itu mulai berubah menjadi nyata.
Permai Permadi, lelaki manis berusia dua puluh enam tahun dengan bulu mata lentik yang dulu mampu menenangkan badai dalam dada Daya. Lelaki yang selama dua tahun terakhir ini selalu muncul dalam layar kecil ponsel setiap malam lewat video call. Kini, layar itu hening. Daya merasa kehilangan.
Leora Daya, tiga puluh tiga tahun. Penulis lepas. Mantan guru SMP yang memilih rehat. Janda tanpa anak, dengan masa lalu yang tidak sempurna tapi dijalaninya dengan kepala tegak. Hubungannya dengan Permai dimulai sejak 2016. Putus, sambung, kembali, lalu jatuh cinta lagi. Sekarang, mungkin akan benar-benar selesai.
Mereka menjalin hubungan jarak jauh, tapi jarak bukan masalah—selama hati tetap saling terikat. Namun akhir-akhir ini, ikatan itu terasa longgar. Permai berubah. Dingin. Tak terjangkau.
Ketika Daya bertanya, “Apa kamu berniat menikahiku?”
Permai menjawab, “Tentu saja. Aku hanya mencintaimu.” Kemudian, kalimat itu dibanting oleh kenyataan, “Tidak sekarang. Mungkin sepuluh sampai dua belas tahun lagi.” Daya bungkam, tahu usianya tidak akan muda lagi saat itu. Ia tahu peluang menjadi ibu akan semakin kecil. Tapi dia menelan semuanya dalam diam. Karena dia terlalu mencintai lelaki itu.
Bulan April, di hari Jumat, tanggal empat, langit mendung seperti tahu bahwa Daya sedang menunggu sesuatu yang tak akan datang. Di kafe kecil tempat dia dan Permai berjanji bertemu, Daya duduk dengan segelas cokelat panas yang mulai dingin, menatap kursi kosong di seberangnya. Permai seharusnya datang.dan bicara, tapi yang diterima hanya satu pesan panjang. Dari semuanya, bisa disimpulkan dengan satu kalimat, "Maaf, kita sampai sini aja. Aku nggak bisa lanjut lagi. Jangan cari aku."
Tak ada suara. Tak ada wajah. Hanya layar ponsel yang dingin dan jantung Daya yang tiba-tiba terasa berhenti berdetak.
Hari itu bukan hanya Permai yang pergi, tapi juga semua harapan yang sudah mereka tanam. Semua rencana tentang rumah kecil, tentang pelukan setelah pulang kerja, tentang nama anak pertama mereka. Semua hilang. Hancur, tanpa perlu upacara pemakaman.
Daya ingin marah, tapi tak ada tenaga. Dia ingin mengejar, tapi harga diri menahannya. Hal yang paling menyakitkan adalah Permai tidak tahu, Daya duduk di sana, di kedai Ramen, dengan tangisan yang tidak bisa dibendung dan rasa sakit yang tidak bisa lagi disembunyikan seolah menagih untuk dikeluarkan.
Daya hancur, tapi berusaha tetap tenang dengan air mata bercucuran dan rasa malu andai suara seraknya keluar. Permai mengirimkan pesan balasan, tanpa empati dan sikap yang kejam serta dingin.
Daya membaca pesan itu perlahan, lalu memohon agar Permai tidak pergi. Dalam suara seraknya, ia tahu: lelaki itu sudah berubah.
“Bye, Cintaku.” Tulis Daya, dengan tangan gemetar lalu tubuhnya jatuh terkulai di meja dengan air mata yang terus turun sekalipun dia berjuang untuk tidak menangis. Namun, pertahanannya hancur ketika Permai memintanya memblokir Permai dan berhenti mengirimkan pesan seolah Permai sudah muak dengannya.
Tangis Daya meledak. Dunia seperti runtuh dalam satu detik. Namun luka itu belum selesai.
Daya di sana selama dua jam, berharap Permai salah kirim pesan, tapi tidak. Lelaki itu tidak salah mengirim pesan. Sebaliknya, dia mengirim DM di tiktok, memberinya alasan tambahan mengapa hubungan mereka harus berakhir.
“Orang tuaku cek latar belakangmu. Mereka bilang kamu pemain cowok dan suka pinjam uang. Kamu sudah pernah menikah. Ada banyak yang mereka temukan, tentangmu dan keluargamu. Aku bahkan tak sanggup menuliskan semuanya.”
Daya terdiam. Napasnya tercekat.
Pemain cowok?
Dia mencoba mengingat. Satu-satunya lelaki yang dicintainya sejak 2016 hanyalah Permai.
Meminjam uang?
Terakhir kali ia melakukannya adalah karena sakit dan sudah dikembalikan. Lalu kenapa disebut “sering”?
Pernikahan itu. Ya, dia memang pernah menikah. Tapi dia sudah jujur. Sudah minta maaf. Yang paling menyakitkan adalah kalimat terakhir:
“Aku harap kamu berpikir sebelum melakukan tindakan apa pun di masa depan.”
Kepercayaan sembilan tahun... runtuh seketika. Daya menangis lagi. Kali ini tidak hanya karena cinta yang kandas—tapi karena fitnah yang membunuh martabatnya. Dia merasa dihukum oleh cerita yang bahkan bukan miliknya.
“Aku cuma mau kamu jadi orang yang lebih baik. Lebih hati-hati dalam hidup,” tulis Permai di salah satu pesan panjang terakhirnya. Pesan itu seakan-akan mengatakan bahwa keputusan Daya untuk meminjam uang saat keluarganya kesulitan—membuatnya pantas dicurigai dan dibuang.
Permai lupa, tentang bagaimana dia pernah bercerita tentang dia yang pernah menahan lapar, bukan untuk membeli lipstik, tapi untuk bayar kuliah. Daya yang pernah menyembunyikan sedih, supaya bisa terus cerita tentang harinya, tapi Permai tidak melihat itu. Dia hanya melihat rumor.
Daya seketika teringat tentang mantan tunangan sekaligus mantan suaminya, Farid, seseorang yang sudah memberinya luka sekaligus penderitaan terbesar. Setelah perpisahan itu, Farid menyebarkan rumor palsu tentang Daya. Dia juga tanpa empati, menghancurkan reputasi Daya dengan menghubungi teman-teman Daya secara pribadi, mengajak bertemu dan mengklarifikasi dengan mengatakan cerita penuh dengan karangan bebas dan fitnah sana-sini. Bahkan, membuat cerita palsu dan bukti palsu. Yang paling menyebalkan, dia juga mengambil email dan sosial media Daya, lantas membuat Daya seolah seperti penjahat. Padahal, mantan suaminya yang bersalah, berselingkuh, KDRT dan banyak kejahatan lainnya.
Daya hanya diam, membiarkan rumor itu menyebar karena dia bahkan tidak tahu, siapa lagi orang yang bisa dipercaya dan memercayainya. Mantan suaminya bahkan menggunakan uang untuk memuluskan aksinya serta menyuap beberapa mulut untuk merubah kebohongan menjadi sebuah kebenaran. Namun, apa boleh buat, tidak ada yang bisa Daya lakukan. Dia hanya bisa diam, menjauh dan merantau, mencari pekerjaan dan mencoba untuk memulai lembaran baru.
Saat bertemu dengan Permai, dicintai dan mencintainya, Daya berpikir, dia akan bahagia. Tidak disangka, Permai juga akan menjadi luka dan trauma baru untuknya. Sialnya, Permai tahu itu, tapi tetap memilih untuk menyakiti dan membuang Daya. Tidak ada yang bisa dilakukan, perpisahan itu hanya bisa diterima sekalipun hatinya menjerit dan menolak hal itu.
Daya terluka, karena Permai lebih percaya pada rumor yang dihasilkan oleh mantan tunanganku, si narsistik penuh topeng, yang pernah membayarkan harga untuk menghancurkan nama baiknya. Sakit? Lebih dari itu. Namun, yang paling menyakitkan bukan fitnahnya, melainkan bahwa orang yang dipikir mencintai apa adanya, ternyata memilih ikut melempar batu.
Malam itu, jam dua belas malam, Daya duduk sendiri di kamarnya. Di hadapannya, sebotol racun tikus dalam genggaman dengan surat perpisahan.
“Kalau aku mati, mungkin tidak ada lagi yang bisa menyebarkan rumor. Mungkin, aku bisa tenang.”
Sebelum sempat membuka tutup botol itu, satu notifikasi muncul.
01 PERMINTAAN PESAN
Muncul tiba-tiba di layar ponsel. Padahal semua notifikasi telah dibisukan.
Daya mematung. Mungkin... itu bukan kebetulan. Tuhan sepertinya belum selesai menulis kisah tentangnya.
