Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Feedback

"Remember, some things must end for better things to begins. At first time, its kill like heal, but than, you will release its beautiful more than heaven."

– Leora Daya –

Daya duduk di meja kerjanya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengikuti aliran kata yang mengalir deras dari pikirannya. Ada yang menyala di dalam dirinya—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama. Losing, novel yang tengah ia tulis, terasa seperti satu-satunya tali yang menahannya dari kehampaan. Setiap kalimat yang tercetak di layar, mengisi kekosongan dalam hatinya dengan makna baru.

Air mata jatuh begitu saja, menetes di atas secarik kertas yang tergeletak di meja. Daya terdiam. Ia tak tahu kenapa menangis, tapi ia tahu air mata itu bukan hanya tentang kehilangan. Ada kelegaan di sana, semacam pelepasan yang selama ini tertahan. Tapi semakin lama ia menulis, semakin rumit semuanya. Kata-kata yang tadi mengalir tiba-tiba berhenti. Ia terjebak di antara dua kalimat, dua emosi yang saling bertabrakan—antara rasa dan pesan.

Tangannya mulai gemetar. Layar komputer kini dipenuhi kalimat-kalimat yang tak saling berpegangan. Ia menatapnya, merasa kosong. Ide-idenya menguap, ditelan kabut yang tak berwajah. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi keheningan di dalam dirinya justru makin riuh.

Ia menekan tombol backspace, satu demi satu huruf menghilang, dan rasa frustrasi semakin menjadi. Ia ingin menulis, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia merasa tersesat, seolah berdiri di tepi jurang, tak yakin apakah harus melangkah maju atau mundur.

“Kenapa sesulit ini?” gumamnya lirih. “Kenapa aku tidak bisa menyelesaikan ini?”

Ia menutup matanya, mencoba mencari arah. Dan di tengah kekalutan itu, sebuah nama muncul di kepalanya. Leo.

Ia meraih ponselnya, mengetik pesan dengan ragu:

Daya: Hey Leo, I know it’s been a while. I started writing a novel… it’s called Losing. I’ve written until chapter two, and I can’t seem to find the right direction. Can you help me with some feedback?

Leo: Of course, I’d love to. You know I always enjoy giving you my two cents.

Daya: Hey Leo, what do you think?

Leo: Well, chapter two was good. But the first chapter—half of it was messy, Daya. You need structure. There are a lot of mistakes in there and here.

Daya: I know, I know! I’m a beginner, you know.

Leo: I know, but that’s why you’re still stuck at a low level, right? What’s your plan for the other chapters?

Daya: I don’t know.

Leo: Really? Why?

Daya: I’m excited, but that’s the thing. I’m all over the place. The story’s in my head, but I can’t make it real. It’s driving me crazy.

Leo: Slow down. Break it down. Start with a clear outline, then work from there. It’s about precision. Your first draft doesn’t have to be perfect—just directed.

Daya: But every time I try, I get stuck. I end up deleting everything.

Leo: That’s because you’re chasing perfection. Let it be messy first. Your Sagittarius energy brings the fire—let the Virgo in me tidy up the ashes later.

Daya: Ugh, you Virgos and your logic! Fine. I’ll try. But it’s hard when everything feels like chaos.

Leo: Chaos is raw material. Give it form, and it becomes something beautiful. Trust the process. You’ll get there. And I’ll be here, ready to polish your brilliance.

Percakapan itu membekas. Ada sesuatu dalam kata-kata Leo yang membuka ruang di benaknya. Seolah angin segar meniupkan debu yang menutupi jalan.

Daya kembali duduk. Ia mulai menulis lagi, perlahan. Tapi kali ini, kata-kata mengalir seperti air hujan pertama setelah musim panjang. Ia menulis dengan kecepatan yang mengejutkan dirinya sendiri. Tiga bab lahir begitu saja. Tiga bab.

Tanpa sadar, jam telah melewati tengah malam. Tapi Daya tidak merasa lelah. Ia menulis dan menulis, seolah jiwanya menemukan kembali sesuatu yang hilang.

Saat tangannya akhirnya berhenti, ia bangkit. Matanya perih. Ia berjalan ke dapur, menyeduh kopi, dan menyiapkan camilan kecil. Aroma kopi mengisi ruang dengan kehangatan yang menenangkan.

Di meja makan, sambil menggenggam cangkir kopi, Daya menatap jendela yang sunyi. Hatinya tenang. Ia tahu, novel ini—meski berisi luka—sedang menyembuhkannya perlahan. Menulis Losing tidak lagi terasa menyakitkan, tapi menenangkan. Ia sedang mengurai perasaan yang akhirnya bisa ia pahami.

Pikirannya melayang. Ia teringat Permai. Semua kenangan itu datang, namun kali ini tanpa menyakiti. Mungkin karena ia mulai menulis bukan lagi untuk bertahan, tapi untuk melepas.

Daya kembali ke meja kerjanya. Ia siap melanjutkan. Kali ini, bukan karena ingin sempurna, tapi karena ingin jujur.

Malam itu, Daya menulis hingga langit mulai terang. Kata demi kata mengalir seperti bisikan yang akhirnya mendapat tempat.

Ia tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bebas.

"Permai, ini tanda cerita terakhir, juga ucapan selamat tinggal untukmu.

Suatu saat, aku harap kamu bisa membacanya."

Daya menatap lama layar laptopnya. Meski mulutnya telah mengucap selamat tinggal, hatinya masih terasa berat. Ia ingin Permai bisa membacanya, merasakan kehancuran yang ia alami... lalu ia terdiam. Bayangan itu tidak boleh hidup. Tidak seharusnya ia berharap Permai ikut hancur.

Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan detak yang masih terlalu kacau di dalam dadanya. Perlahan, ia meraih ponselnya. Lama. Jari-jarinya hanya menggenggam, ragu membuka luka yang sudah berkali-kali berusaha ia tutup.

Akhirnya, dengan napas tertahan, ia membuka folder yang selama ini terkunci. Di sana, masih ada mereka: foto-foto berdua dengan tawa yang tak lagi bisa ia sentuh, potret pap sederhana dari Permai saat di luar rumah—semua yang dulu membuatnya merasa dicintai.

Satu per satu, ia hapus semuanya. Tanpa jeda. Tanpa ingin melihat ulang. Tanpa ingin mengenang lebih lama. Hingga tak tersisa satu pun.

Ia tak ingin menyisakan alasan untuk kembali.

Sekalipun kadang ia ingin melepas segalanya, tetap saja... cinta itu terlalu nyata untuk dianggap tidak pernah ada. Sulit dipercaya bahwa semuanya berubah begitu cepat—hanya dalam hitungan hari. Dari seseorang yang yakin mereka adalah belahan jiwa, menjadi dua orang asing yang bahkan tak sanggup menyapa, apalagi menatap wajah satu sama lain.

Malam itu, Daya tahu: melepaskan bukan berarti tak mencinta. Akan tetapi, dia memilih berdamai, dengan luka, harapan yang tak sampai dan dengan versi cinta yang tak bisa bertahan. Dia memilih menerima dan melepaskan segala kenangan yang pernah terjadi, baik buruk atau baik, merelakan segala janji yang berubah menjadi kata maaf dan segala kebohongan yang sempat dilakukan tapi tidak terungkap.

Tidak ada kebencian. Hanya sebuah ikhlas yang dipaksakan. Daya memahami betapa rapuh hatinya, betapa banyak hal yang perlu dilakukan dan dikorbankan hanya untuk bisa menemukan sebuah ketenangan. Akan tetapi, dia mulai berpikir. Jika memang semua kebohongan yang dilakukan Permai selama ini adalah kejujuran, maka mungkin Tuhan sedang menyelamatkannya, dari seseorang yang belum tuntas masa nakalnya, yang masih ingin bebas tanpa memiliki ikatan dengan siapapun, yang masih belum tahu batasan pergaulan antara lelaki dan perempuan sekalipun hanya bertaman atau tentang seorang lelaki yang nyatanya masih ingin menjadi seorang anak lelaki, bukan sebagai lelaki dewasa.

Daya mengetahuinya, jauh di dalam lubuk hatinya, Permai pun sudah mengakuinya. Sekalipun dia direstui, nyatanya, Permai tidak berniat menikah dalam waktu dekat. Keseriusan yang dimaksudnya, hanyalah tentang pacaran, bukan hubungan lanjutan yang sakral seperti pernikahan. Seorang lelaki akan menarik perempuan ke levelnya. Jadi, mungkin akan dibutuhkan kerja keras agar bisa seimbang dan merawat hubungan. Namun, semua hanya akan mencapai puncaknya bila hanya Daya yang berjuang. Sekarang, semua sudah selesai. Bahkan setelah perenungan yang panjang, seorang yang terluka, sekalipun logikanya sudah sadar dan bangkit, hatinya butuh waktu untuk mengejar pemahaman yang sama. Sebab, hati cenderung lebih lambat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel