7. Heal
"Sembuh itu tidak instan. Kadang saat sakit, kita memasuki fase seolah sudah lebih baik sehingga tidak membutuhkan obat, kemudian kambuh tiba-tiba."
- Leora Daya
Pagi itu, Daya terbangun dengan perasaan yang lebih ringan-meskipun masih ada kekosongan mengendap di dadanya. Rumah itu sunyi seperti biasa. Ibunya sudah pergi bekerja, kakak lelakinya, Yusuf, berangkat lebih pagi, dan kakak iparnya sedang mengantar anak mereka ke sekolah. Hanya dia yang tersisa. Sendirian.
Daya menghela napas pelan, menatap dinding kamar yang berantakan. Setelah berminggu-minggu larut dalam perasaan yang tak menentu, hari ini, entah mengapa, ia merasa ingin melakukan sesuatu. Mungkin membersihkan rumah bisa menjadi cara yang baik untuk menyibukkan diri-mengisi waktu dengan hal-hal nyata daripada terus mengaduk luka di kepala.
Dengan langkah malas, ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan celana panjang dan kaos longgar. Pakaian tempur untuk membereskan kekacauan.
Ia mulai dari kamar. Menyapu lantai, merapikan baju-baju yang berserakan, menata ulang isi meja rias. Tangan Daya bergerak otomatis. Tiap sapuan, tiap lipatan baju, perlahan mengikis beban pikirannya.
Saat membereskan tumpukan buku di meja, ia menyadari betapa banyak waktunya habis untuk tenggelam dalam sedih yang sama. Rumah yang dulu dipenuhi tawa kini hanya menyisakan sunyi, tapi anehnya, dalam kesendirian itu, ada ketenangan. Tak ada yang menginterupsi pikirannya.
Ia lanjut menyapu teras. Udara pagi menyentuh pipinya-dingin, segar, dan untuk sesaat, menenangkan. Mungkin ini caranya bertahan: memberi tubuh kesibukan agar emosi tak meledak begitu saja.
Saat semua bersih, ponselnya bergetar. Tilla menelepon, menanyakan kegiatan kakaknya hari ini.
"Sepertinya Mbak lebih produktif hari ini," godanya.
Daya hanya tersenyum lelah tapi bangga. "Aku cuma coba menyibukkan diri. Supaya nggak cuma diam dan mikir yang nggak-nggak."
Tilla tertawa kecil. "Bagus, Mbak. Kadang hal sesederhana itu bisa bantu menata hati juga."
Daya mengangguk. Sedikit demi sedikit, ia memang merasa lebih baik.
Ia menceritakan semua yang telah ia lakukan: mencuci sprei, mengepel, membersihkan kamar, dapur, semua.
Tilla hanya menyimak, tak memuji, tak menyela. Dan Daya tak butuh itu. Tapi tetap saja, ia menggoda.
"Ngga ada tanggapan, nih?"
"Kamu masih hidup rupanya."
"Aku tidak sekarat," sahut Daya, kesal.
Tilla menyeringai, "Patah hati menyakitkan, ya?"
"Iya. Sangat."
"Tapi kamu terus bisa jatuh cinta."
Daya tercekat.
Tilla melanjutkan, lembut tapi menusuk, "Ini bukan patah hati pertamamu. Kamu bilang trauma, tapi nggak pernah berhenti mencoba. Cuma sembilan tahun, Mbak. Bukan seumur hidup."
Daya terdiam. Kata-kata itu tidak menyinggung-justru seperti mengetuk pintu pikirannya yang lama tertutup.
"Kamu terdengar seperti influencer yang cerai tiga kali," ucap Daya pelan.
"Anjir. Aku aja belum pernah nikah, tahu!"
Daya tergelak. "Maaf, keceplosan."
"Idih. Aku ini ngasih semangat, kok malah dibacotin?"
"Jangan baperan."
"Aku Cancer!"
"Kepiting Cina? Tak oek-oek kuberi nama..."
"JANGAN NYANYI!" Tilla nyaris menjerit.
Tawa mereka meledak. Bercanda seperti itu tak membuat luka hilang, tapi memberi jeda. Napas.
Setelah tawa mereda, Daya kembali hening. Tangannya masih basah setelah mengepel. "Tilla, kadang aku merasa seperti terjebak. Aku tahu ini bukan akhir dari segalanya, tapi aku takut... takut aku nggak akan pernah bisa keluar dari perasaan ini."
Tilla mendengarkan kakaknya dengan serius. "Mbak, kamu nggak harus langsung sembuh. Kadang kita merasa udah baik, tapi besoknya sakit lagi. Kamu nggak boleh nyerah."
Air mata menggenang di mata Daya. Usia Tilla lebih muda, tapi kata-katanya terasa begitu dewasa.
"Aku nggak tahu bisa mulai lagi atau nggak. Mungkin aku terlalu takut kecewa lagi. Kadang muncul harapan, tapi aku takut itu cuma sesaat."
"Kita nggak akan tahu kalau nggak nyoba, Mbak," bisik Tilla. "Sakit lagi itu mungkin. Tapi kamu tetap berhak bahagia, kan?"
Diam. Kata-kata itu menembus lapisan ketakutan yang menahun.
Tilla mendengus lemah, "Sekarang, semangatlah!"
Daya menarik napas panjang. "Jujur aja, karena patah hati ini... aku punya ide."
"Apa?" Tilla penasaran.
"Aku mau nulis novel."
"Hah? Bukan artikel?"
"Bukan, dong. Novel, tentang kisah ini."
Tilla terkejut. "Judulnya?"
"Losing."
"Dih, biasa banget," cemoohnya.
"Sialan! Emang saranmu apa?"
"Tunas di Ranting yang Patah."
"Too long."
"Yasudah. Asing. Gimana?"
"Enggak mau."
"Kenapa?"
"Aku benci kata itu."
"Hadeh. Terserah!"
Percakapan berakhir canggung.
Losing. Asing.
Daya terdiam. Perasaannya kembali menyesak. Ia belum sembuh sepenuhnya. Tapi kali ini, ia tahu: dia sudah mulai berjalan.
Daya duduk di depan meja kerja yang baru saja ia rapikan. Jari-jarinya menyentuh permukaan laptop yang lama tak dibuka. Debunya sudah ia bersihkan tadi pagi, tapi rasanya tetap seperti membuka sesuatu yang sudah lama ia kubur.
Ia menyalakan laptop itu. Bunyi mesin yang menyala terdengar seperti napas yang tertahan terlalu lama akhirnya dilepaskan.
Daya membuka aplikasi menulis. Halaman kosong menyambutnya. Layar putih itu begitu luas, begitu sunyi... seperti hatinya.
Ia terdiam. Pandangannya kosong. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard, tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi kemudian ia teringat sesuatu-sebuah pesan singkat dari seseorang yang pernah mengenalnya begitu dalam.
"Your writing is beautiful. You have the potential to be a great author."
Itu dari Leo. Pribadi yang selalu cerewet tentang struktur kalimat, yang tak pernah memberi pujian tanpa alasan. Tapi kali ini, kalimatnya sederhana. Tulus.
Daya menghela napas. Bukan karena itu dari Leo. Tapi karena, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa punya sesuatu untuk diperjuangkan lagi. Bukan cinta lama, bukan kenangan-tapi dirinya sendiri.
Dia menulis:
"Losing doesn't always mean the end. Sometimes, it's the beginning of learning how to live with empty spaces."
Daya menatap kalimat itu lama. Tidak sempurna, tapi cukup. Sebuah awal.
Ia tidak tahu akan dibawa ke mana cerita ini. Tapi setidaknya, hari ini, dia sudah berani membuka pintu kecil menuju kemungkinan.
Dan itu, baginya, lebih dari cukup. Setelah selesai di bagian prolog, air matanya kembali turun.
Dia masih mengingat hari itu.
Bukan karena ada teriakan atau air mata. Namun, karena perpisahan itu datang dengan ketenangan yang justru membuat segalanya terasa lebih dingin. Terlalu tenang, hingga menyakitkan dan menhancurkan dari dalam.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Ternyata, aku tidak seberani yang aku kira. Maaf, aku tidak bisa menjadi lelaki sejati," kata Permai kala itu.
Daya hanya diam. Ia menangis dan memohon sebentar, tapi kemudian menyadari bahwa tatapan dan perkataan lelaki itu, sudah seperti kopi dingin atau nasi yang hampir basi. Apapun yang akan dilakukan atau dikatakannya, semua hanya akan menjadi suatu yang sia-sia.
Permai tidak lagi menginginkan atau mempercayainya, segala yang dikatakan Daya hanya akan menjadi alasan dibandingkan penjelasan. Jadi, dia menerima perpisahan itu, sekalipun di dalam dirinya, ribuan suara berebut bicara dan memaksanya untuk menolak, bertanya, atau sekadar berteriak. Namun, pada akhirnya yang keluar hanya hening. Dunia seperti berhenti sejenak untuk memberinya ruang patah.
Setelahnya, ia sempat berharap. Bukan agar mereka bisa bersama kembali, tapi berharap semua itu hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir saat ia membuka mata. Bahwa sembilan tahun tak akan selesai hanya denganbeberapa kalimat dan tatapan mata kosong.
Waktu terus berjalan. Daya perlahan belajar menerima. Ia tak menulis untuk mengenang. Ia menulis untuk mengakhiri. Tentang luka, tentang harapan yang sudah lama padam, dan tentang keputusannya untuk tidak kembali-sekalipun semesta memberinya jalan untuk itu.
Kini, bahkan jika Permai datang lagi, dengan segala alasan dan cerita yang mungkin bisa menyentuh hatinya dulu, Daya tahu: ia tak akan lagi mengulurkan tangan. Bukan karena benci, tapi karena akhirnya ia mengerti-cinta yang tulus juga tahu kapan harus merelakan.
Ia pernah jatuh. Berkali-kali. Tapi untuk Permai, ia tidak akan jatuh lagi. Ia telah selesai mencintai, dan lebih dari itu-selesai berharap.
Malam itu, ia menulis segalanya dalam diam. Sebaris demi sebaris. Di kamar yang sama tempat ia dulu menunggu pesan-pesan dan telpon larut malam dari Permai, ia kini duduk dengan tenang. Tidak lagi mencari siapa pun. Tidak lagi ingin kembali.
Barangkali, di sana, cinta akhirnya benar-benar menemukan titik akhirnya. Untuk pertama kalinya dia mengakui kalau semua telah selesai.
