6. Rise
"Ditinggalkan itu memang menyakitkan. Namun meninggalkan seseorang karena keadaan bukanlah sebuah keputusan yang bisa disepelekan. Sebab, yang meninggalkan sedang mengambil peran sebagai penjahatnya."
- Leora Daya -
Pagi itu, Daya bangun bukan karena alarm, tapi karena cahaya matahari yang menyelinap dari celah tirai. Aneh rasanya-kemarin, ia masih merasa dunia terlalu gelap untuk dijalani. Tapi hari ini, meski samar, ada sesuatu yang membuatnya ingin bangun.
Mungkin karena pesan dari Tilla semalam: "Besok ikut aku, ya. Kita nggak bisa terus kayak gini."
Daya tidak menjawab pesan itu. Tapi pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia malah berdiri dan membuka lemari. Memilih baju yang bersih. Menyisir rambut. Menatap cermin dengan mata bengkak-tapi ada sedikit keberanian di sana.
Saat Tilla menjemput, tak ada obrolan panjang. Mereka hanya bertukar pandang sebentar sebelum mobil melaju. Musik dari radio mengisi kekosongan. Daya masih belum sepenuhnya pulih. Tapi entah kenapa, dia membiarkan dirinya dibawa pergi. Kali ini bukan oleh kenangan, tapi oleh sesuatu yang belum pasti-masa depan.
Mereka tiba di sebuah tempat sederhana: sebuah kafe kecil dengan rak buku di dinding dan aroma kopi yang menenangkan. Tilla bilang tempat itu milik teman kuliahnya, dan mereka butuh seseorang untuk bantu-bantu jaga, karena pegawainya baru resign.
"Coba aja dulu. Nggak harus langsung senyum. Cukup hadir," kata Tilla sambil mengedipkan mata.
Daya diam. Tapi hatinya mengiyakan. Karena mungkin, untuk sembuh... yang dibutuhkan bukan melupakan. Tapi mulai mengisi ruang-ruang kosong itu lagi. Dengan sesuatu yang baru.
"Aku benci kopi." Daya bergumam.
"Bohong amat. Kita berasal dari keluarga yang sangat kecanduan kopi. Bukankah kamu sering mengeluh sakit kepala kalau sehari saja tidak minum kopi?" sindir Tilla.
Daya mencebikkan bibir, "aku berusaha mempertahankan vibes mellowku."
"Buat apa? Permai sudah bahagia tanpa kamu. Nggak ada yang berisik dan mengatur di hidupnya. Mbak, dia hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Dia pasti butuh kebebasan, bukan terikat oleh aturan karena berpasangan."
Daya teringat tentang kejujuran Permai tempo hari. Sebenarnya dia sudah tahu, tapi berpura-pura tidak tahu karena dia sangat mencintai Permai dan tidak ingin berdebat dengannya.
"Apa aku bisa bahagia juga?"
"Of course. kamu hanya perlu ketemu pria tampan, menawan dan cerdas!"
Daya berdecak, "tipe aku banget."
"Ya, kan? Sejak dulu, kamu selalu jatuh cinta pada pria dengan kecerdasan."
"Kok, tahu?"
"Karena kamu pernah menolak mas Hamzah."
"Siapa itu?" tanya Daya heran.
"Sialan, sepupu jauh kita. Kamu bilang dia bukan tipemu karena dia tidak pernah menang lomba atau terlihat tidak cerdas kan?"
"Really?" Daya beneran tidak ingat.
"Kamu pura-pura atau lupa sungguhan? Yang jelas, selain dia, kamu juga menolak Asfa, Hasbi dan siapa ya.... Firman? Padahal mereka anak teknik. Kenapa tidak kamu pacari dulu?"
"Aku sudah punya Farid saat itu."
"Setia banget ya?"
"Tentu saja. Aku memang suka pria cerdas, tapi sekali berpasangan, aku akan setia, sampai...."
"Dia selingkuh dan kamu bertemu Leo?"
"Haissh, aku benci kenyataan kamu tahu hampir semua mantanku!" Daya memanyunkan bibir, kesal.
Tilla terkikik kecil.
Daya menarik napas pelan, mungkin dia masih patah, tapi memutuskan untuk tidak terus jatuh.
Baru satu jam Daya berdiri di balik meja kasir, dan meski masih canggung, ia mulai terbiasa dengan aroma kopi yang menyapa dari mesin espresso. Sesekali ia melirik ke luar jendela, menatap langit yang mendung tipis. Seperti hatinya, yang belum benar-benar cerah, tapi juga tidak lagi kelam sepenuhnya.
Bel pintu berdenting. Seseorang masuk.
Daya otomatis menoleh, siap dengan senyum seadanya yang dia latih di cermin tadi pagi. Tapi senyum itu menghilang begitu saja ketika matanya menangkap sosok laki-laki yang baru masuk.
Pria itu tinggi, berkulit sawo matang, berkacamata dengan rambut ikal yang agak berantakan. Pakaiannya sederhana, tapi ada sesuatu yang membuatnya mencolok di mata Daya. Mungkin karena dia... mirip. Postur tubuhnya. Cara dia menyentuh kacamatanya. Bahkan gaya jalannya-semuanya mengingatkan Daya pada Leo, mantannya lebih dari sepuluh tahun lalu.
Jantung Daya sempat berdebar, bukan karena rindu, tapi karena refleks tubuh yang belum sepenuhnya pulih dari luka lama.
"Eh, Mbak. Jangan naksir pelanggan ya," bisik Tilla tiba-tiba dari samping, membuat Daya kaget dan buru-buru berpaling.
"Aku nggak naksir," desisnya, pipinya merona, entah karena malu atau karena jengkel pada dirinya sendiri.
"Yakin? Kamu tadi ngelihatin dia kayak ngelihatin ujian fisika yang kamu nggak ngerti tapi kamu pengin taklukkan."
Daya mendelik. "Tilla, please..."
Tilla nyengir. "Aku bisa panggilin dia lho, kalau kamu pengin kenalan."
"Nggak usah," ucap Daya buru-buru, lalu kembali menunduk, pura-pura merapikan struk di meja.
Namun, hatinya masih sedikit bergetar. Bukan karena cinta, ia tahu itu. Tapi karena tubuh dan pikirannya sedang belajar hal baru: mengenali ketertarikan tanpa rasa bersalah. Tanpa membandingkan. Tanpa harus langsung jatuh cinta.
Laki-laki itu memesan kopi hitam dan duduk di pojok dekat rak buku. Tidak banyak bicara. Tapi sesekali, Daya curi pandang. Sekadar memastikan, dia bukan Leo. Tapi juga bukan siapa-siapa. Dan mungkin itu cukup untuk hari ini.
"Ingat, Leo sudah punya istri." Daya membatin. Namun matanya masih tertuju pada lelaki itu.
"Mas, mbakku mau kenalan!" Tilla tanpa basa-basi langsung berteriak membuat Daya kelayapan.
"Ih, stop!" Daya berusaha menutup mulut Tilla. Terlambat! Lelaki itu mengerti sinyal Tilla dan berjalan mendekat.
Daya menjadi semakin gugup dan panik.
"Galih." Lelaki itu mengulurkan tangannya.
"Hah?" Daya shock, tangannya mendadak dingin, tubuhnya membeku.
"Mbak, diajak kenalan, tuh!" goda Tilla sembari menyenggol lengan Daya memberikan kode kalau tangan lelaki itu sudah terulur cukup lama kepadanya.
"Ah, Leora." Daya menerima uluran tangan lelaki bernama Galih tersebut. Mereka berjabat tangan sebentar.
"Mau mengobrol sebentar?"
Daya hampir tidak percaya dengan keberaniannya sendiri saat menjawab, "Boleh..." meskipun suaranya terdengar seperti bisikan yang ragu.
Galih tersenyum, senyum yang tidak meledak, tapi cukup hangat untuk membuat dada Daya terasa aneh. Ia menunjuk ke arah meja dekat rak buku, tempat ia tadi duduk. Daya mengangguk pelan, lalu melirik ke Tilla dengan pandangan "kalau aku pingsan, kamu tanggung jawab!"
Tilla hanya mengangkat dua jempol sambil nyengir jahil.
Duduk berhadapan, Daya bisa mencium wangi kopi dari cangkir Galih. Tangannya masih gemetar sedikit saat meraih gelas berisi air mineral. Ia belum siap minum kopi. Belum siap untuk terlalu banyak kenangan dalam satu tegukan.
"Jadi kamu baru mulai kerja di sini?" tanya Galih membuka obrolan.
Daya mengangguk. "Iya. Baru hari ini malah."
"Hebat juga, langsung kelihatan profesional," katanya sambil menunjuk ke name tag sederhana yang digantung di dada Daya.
Daya tertawa kecil. "Itu dipasangin paksa sama adik saya. Biar katanya nggak kelihatan 'kacau'."
Galih mengangguk sambil tersenyum, matanya memperhatikan Daya dengan cara yang tidak menghakimi. Tidak menyelidik. Hanya... hadir. Dan Daya merasa, aneh sekali ada orang asing yang bisa membuatnya sedikit nyaman dalam waktu secepat ini.
"Kamu suka buku?" Galih menunjuk ke rak di belakang mereka.
"Suka... walaupun belakangan lebih sering baca caption pengkhianatan di tiktok," jawab Daya, membuat Galih tertawa.
"Kadang caption begitu membuat kita tertarik ," katanya setuju meski terdengar mengejutkan.
Mereka berbincang sebentar. Bukan pembicaraan berat. Bukan percikan cinta pada pandangan pertama. Tapi cukup untuk membuat Daya merasa... hidup. Bahwa dia bisa berbicara dengan laki-laki asing tanpa membandingkannya dengan Leo. Bahwa dia bisa tertawa-sedikit-tanpa merasa bersalah.
Setelah Galih pamit karena harus kembali ke kantornya, Daya kembali ke meja kasir. Tilla sudah menunggunya di sana, tangan disilangkan dan alis terangkat tinggi.
"Gimana? Masih mellow?"
Daya menghela napas. "Nggak tahu. Tapi kayaknya... aku bisa tidur lebih tenang malam ini."
Tilla tersenyum, kali ini lembut. "Itu namanya awal yang baik, Mbak."
Daya tersenyum kecil.
"Tapi sepertinya dia punya pacar."
"Apa? Tahu dari mana?" Tilla terkejut. Tidak menyangka.
"Tadi aku melihat sekilas, sebuah notifikasi di ponselnya, ada pesan dengan nama Sayangku. Aku tidak mau menjadi penganggu. Aku akan berhenti hari ini." Daya tersenyum, sedangkan Tilla mengelus dada. Rencananya agar kakaknya keluar kamar, gagal total.
"Jangan kecewa. Setidaknya, aku berpakaian rapi dan mandi hari ini." Daya menghibur Tilla seolah sejak awal sudah tahu tujuan dari adiknya tersebut.
Tilla mengangguk setuju.
Daya mendengus kasar, "setidaknya, aku mulai bergerak dan tidak berujung menjadi pembicaraan di media sosial," gumamnya pelan.
Jika dipikirkan dengan tenang sekarang, akan sangat memalukan bila dia diliput media dengan narasi, "seorang wanita tewas di rumahnya setelah menegak racun serangga. Motif sementara karena putus cinta."
Daya merinding membayangkannya. Dia segera merapikan pikirannya lalu kembali bekerja. Meski hanya satu hari, ini akan menjadi pengalaman berharga untuknya. Lagipula, pengalaman memang harusnya dialami sekali, bila berkali-kali, itu artinya sebuah kesalahan yang sengaja dilakukan.
Daya terdiam, merenung, mungkin kata-kata barusan adalah peringatan dari alam bawah sadarnya. Bagaimanapun, dia sudah pernah gagal dengan Permai sebelumnya. Namun, dia terus kembali pada lelaki itu. Sampai akhirnya, hubungan itu benar-benar selesai ketika Permai memutuskan menyerah dan pergi untuk selamanya.
