5. Memories
"Hal paling menyakitkan dari melupakan adalah berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa, padahal pernah menjadi yang paling istimewa dan utama, kemudian berujung dengan seseorang atau sesuatu yang harus dianggap tidak pernah ada."
- Leora Daya -
Tak ada suara. Hanya detak jam dinding yang terus berdetak seperti mengingatkan Daya bahwa waktu berjalan, meski hatinya masih tertinggal di hari yang sama-hari ketika semuanya berakhir.
Kamar itu terlalu sunyi. Biasanya Daya menyukai ketenangan, tapi kali ini sunyi terasa seperti musuh yang diam-diam menusuknya pelan-pelan.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai kosong. Di sebelahnya, selimut yang masih belum dirapikan. Di seberang, baju yang dulu ia kenakan saat pergi berkencan bersama Permai, tergantung diam seperti kenangan yang enggan mati.
Daya meraih earphone yang tergeletak di meja, mencoba memutar lagu lama. Lagu itu dulu mereka nyanyikan bersama di motor, berdua, di tengah malam yang sunyi tapi hangat. Tapi kali ini, lagu itu tidak membawa senyum-hanya luka.
Daya meletakkan kembali earphone-nya. Ia menyandarkan kepala ke dinding. Sejak kepergian Permai, segalanya terasa seperti potongan puzzle yang hilang-dan ia terlalu lelah untuk mencarinya satu per satu.
"Kenapa cuma aku yang harus kehilangan?" tanyanya dalam hati. Ia tidak membenci, hanya terluka. Dan luka itu, tidak mencari balas dendam. Ia hanya ingin dimengerti.
Daya merasa Permai pasti baik-baik saja tanpa dirinya. Dia masih ingat tentang apa yang Permai katakan padanya dulu.
"Jika kita memiliki masalah yang berat, coba pikirkan. Apakah ada jalan keluarnya? Jika iya, ya sudah. Biarkan sampai menemukan jawabannya."
"Kalau tidak?" tanya Daya penasaran kala itu.
"Biarkan juga, waktu yang akan menjawab semuanya."
Daya mengerutkan kening, "ihh, kok gitu?"
"Ya, mau gimana, kan? Segalanya akan berlalu, entah waktu, masalah atau kenangan."
Daya mengepalkan tangannya di dada kirinya, jantungnya terasa sakit. Ingatan tentang perkataan Permai membuatnya menangis lagi. Dia sudah berusaha tegar, tapi niat itu runtuh dengan cepat.
Daya mencoba menenangkan dirinya, perlu waktu cukup lama, sampai akhirnya dia berhenti gemetar. Keadaan itu sungguh menyiksanya.
Daya mengantuk, semalam, dia tidak bisa tidur. Setiap malam, biasanya Permai akan melakukan video call dengannya, sampai dia terlelap dan tertidur. Tidak ada lagi ucapan cinta, senyuman dan tatapan penuh cinta atau obrolan singkat sebelum tidur. Semua sirna.
Daya memeluk lututnya, membiarkan tubuhnya menggigil dalam keheningan yang pekat. Satu sisi dirinya ingin marah, tapi sisi lainnya terlalu lelah untuk merasa apa-apa. Ia bahkan tidak tahu lagi bagaimana rasanya bahagia-seolah semua warna telah diambil dari hidupnya.
Pikirannya berputar ke masa lalu, saat-saat kecil yang tak berarti bagi dunia, tapi bermakna besar baginya. Seperti saat Permai menemaninya tidur dengan vcall meskipun sedang lembur atau nongkrong dengan teman-temannya, hanya untuk memastikan ia bisa tidur . Atau ketika Permai mengisi paketnya hanya agar dia bisa memberi kabar saat Daya sedang keluar rumah. Semua itu kini hanya kenangan. Dan kenangan tidak bisa dipeluk.
Ia meraih sebuah buku catatan tua yang tergeletak di atas meja. Di dalamnya, ada coretan kecil-janji-janji yang pernah mereka tulis bersama. "Kalau nanti kita menikah, jangan lupa pelihara kucing ya. Aku yang bermain dengan mereka, kamu yang merawat." Tertulis dengan tinta biru, tulisan tangan Permai yang dulu sangat Daya hafal di luar kepala. Kini, terasa asing.
Air matanya jatuh di atas halaman itu. Tinta mengabur, seperti kenangan yang perlahan luntur tapi tak pernah benar-benar hilang.
"List janji dengan Cintaku.
1. Makan Reecheese ( belum dipenuhi )
2. Makan pizza Tarik ( belum dipenuhi )
3. Bermain rainbow Field di Kenjeran ( belum dipenuhi)
4. Berfoto dan melakukan trend tiktok ( belum terpenuhi)
5. Jalan-jalan ke Surabaya ( semua akan dipenuhi bila Cintaku pulang dan kami ke Surabaya)."
Air mata Daya jatuh dengan lebih cepat. Dia menangis dalam diam, meskipun beberapa isak tangis keluar, memberikan kepedihan yang tidak sanggup diceritakan.
"Kamu jahat, Yang." Daya meluapkan emosinya, untuk pertama kali setelah beberapa hari hanya diam dan menahan segalanya sendirian. Dia tidak bisa lagi menahan ledakan emosi yang terus bergejolak dan menagih untuk dikeluarkan. Akan tetapi, dia tetap tidak bisa merasakan kebencian sekalipun sudah memaksakan diri.
Kalimat yang meluncur pelan dari mulut Daya, bukan dengan marah, tapi dengan suara yang penuh rindu dan kecewa. Seolah ia sedang berbicara dengan bayangan yang tak akan pernah menjawab.
Ia menarik napas dalam, tapi malah tersedak isaknya sendiri. Tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Ia tidak tahu apakah ia sedang merindukan, menyesali, atau sekadar lelah.
"Kenapa kamu nggak berjuang sedikit lagi?" bisiknya, nyaris tak terdengar. "Kenapa aku yang harus terus percaya, sementara kamu malah pergi?"
Daya memandangi daftar janji itu sekali lagi. Setiap barisnya seperti duri yang menusuk lebih dalam. Ia tahu, beberapa janji tidak pernah dimaksudkan untuk ditepati, tapi itu tidak membuatnya lebih mudah diterima.
Ia ingin merobek halaman itu, tapi tangannya tak sanggup. Karena di balik luka itu, masih ada cinta. Dan cinta itu, meski terluka, tetap ingin menjaga.
Dengan gemetar, Daya melipat halaman tersebut, menyelipkannya di bawah bantal. Mungkin suatu saat, ketika ia sudah tidak menangis lagi, ia akan membuka kembali lembar itu-bukan untuk mengingat Permai, tapi untuk mengingat dirinya sendiri. Bahwa ia pernah mencintai dengan segenap hati, meski akhirnya dikhianati.
Daya berbaring, memeluk dirinya sendiri. Tangisnya masih belum berhenti, tapi setidaknya malam ini, ia tak lagi menahannya. Mungkin saja, itu adalah langkah kecil menuju pulih. Dia harus sembuh, karena Permai, mungkin sekarang sudah bahagia, dengan segala kebebasan yang diinginkannya. Dia tidak pernah mencari Daya, artinya Daya sudah tidak lagi berharga di matanya.
Harapan Daya bahwa Permai mungkin merindukannya atau kembali, menjadi sebuah lelucon. Dia sama sekali tidak pulih, hanya merasa sedikit lega. Tangisnya masih utuh, tapi perasaannya sedikit lebih ringan.
"Aku benci ini." Daya berucap pelan, seolah tidak ingin menjadi lemah tapi keadaan terus membuatnya menjadi rapuh.
Daya meraih ponselnya, mencoba melakukan sesuatu, scrolling tiktok, terus-menerus meskipun tidak tahu apa yang sebenarnya diputar.
Tangannya berhenti. Sebuah ramalan tarot terdengar.
"Bagaimana perasaannya saat ini tentang kamu?" Seseorang di video bertanya sembari mengocok kartu tarot.
Daya tidak ingin percaya, tapi harapan mengkhianati. Dia terdiam, menyimak tanpa sadar.
"Oke, jadi, dia meninggalkan kamu ya?"
Daya berdecak, "sialan." Tidak terima karena merasa diejek. Tanpa sadar, tangisnya berhenti karena emosi.
"Kamu mungkin merasa itu tidak adil, ya? Apalagi saat kamu sedang di fase lagi cinta-cintanya. Gimana, sih? Apa yang terjadi? Apa dia bahagia atau sedih setelah memutuskan ninggalin kamu?"
Daya merasa gugup, entah kenapa dia ingin tahu lanjutan dari tarot itu meskipun belum tentu benar.
"Wah, ternyata dia sedang sibuk dengan pekerjaannya ya, dia sudah lupa sama kamu."
Daya melempar ponselnya kesal.
"Hah, nyebelin!!!" Dia merajuk.
"Dia sudah lupa, karena DIAM-DIAM sudah ada yang baru." Rupanya video itu meski ponsel Daya terlempar, belum tertutup.
Daya menenggelamkan kepalanya ke bantal, tidak ingin mendengar lebih jauh tapi malas mengambil ponselnya yang sekarang berada di bawah kakinya.
"Jahat....."
Daya menarik napas, panjang dan berat. Tidak ada yang benar-benar menyembuhkan di malam seperti ini, tidak juga tarot, tidak juga tangisan.
Namun, di sela-sela rasa sakit yang menumpuk, Daya akhirnya bisa merasakan satu hal-kejujuran.
Bahwa ia masih mencintai. Bahwa ia belum bisa melepaskan. Dan bahwa ia sedang berproses.
Ia tahu, besok pagi perasaannya mungkin belum berubah. Tapi setidaknya malam ini, ia jujur pada luka. Dan terkadang, kejujuran adalah awal dari segalanya.
Dengan mata bengkak dan napas berat, Daya bergumam lirih, "Aku akan baik-baik saja... suatu hari nanti."
Perlahan, Daya mencoba memejamkan mata, bukan untuk melupakan, tapi untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri. Untuk bernapas. Untuk bertahan. Ia tertidur dengan air mata masih menggenang di pelupuk mata. Dia masih berjuang untuk menemukan kata sembuh.
