Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Relieve

"Hal yang paling menyakitkan adalah mencoba melupakan kenangan, tetapi semakin kuat hal itu mengakar, seolah tidak rela untuk dilepaskan."

- Leora Daya

Daya menatap sebungkus roti pemberian Tilla. Hari ini sudah hari ketiga, dan belum ada satu pun makanan yang benar-benar masuk ke perutnya. Air matanya terus mengalir, membuatnya takut keluar kamar. Ia tahu, ibunya pasti akan langsung menyadari seberapa parah luka yang sedang ia sembunyikan.

Isakan tangisnya memang tak bersuara, tapi teriakan hatinya bergema dalam diam.

Daya mencoba merobek sedikit bagian roti, mencoba menelannya. Tapi bibirnya seolah tertutup lem-tak bisa terbuka, tak mampu menerima apapun. Ia tercekat. Berusaha makan, tapi akhirnya hanya kembali menangis.

Setelah beberapa lama, dia berhasil memaksakan satu gigitan kecil. Meneguk air. Lalu berhenti. Luka di hatinya masih terlalu besar, terlalu segar untuk diimbangi oleh apapun.

Ia mengambil ponselnya. Tak ada pesan dari Permai, tentu saja. Daya sendiri yang memutuskan untuk memblokir nomor lelaki itu-lelaki yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama sembilan tahun terakhir.

Tangisnya pecah ketika sebuah notifikasi dari Google Foto muncul. Ia lupa belum menghapus album mereka. Ia memeluk ponselnya erat-erat, seolah dari sana aroma kenangan Permai masih tersisa.

Kumpulan foto itu menghantam memorinya. Membuka pintu yang selama ini ia coba kunci rapat.

Kenangan lama itu datang seolah baru terjadi kemarin.

Langit sore itu berwarna jingga keemasan. Angin berembus pelan membawa aroma manis bunga dan tanah basah yang baru disiram. Di tengah taman yang dipenuhi bunga warna-warni dan jalanan berpaving rapi, Daya dan Permai duduk berdampingan di sebuah gardu kayu berbentuk gubuk kecil. Di dalamnya tersedia colokan listrik dan meja mungil-tempat yang nyaman untuk berlama-lama.

Permai menggenggam tangan Daya, sementara tangan lainnya memegang gelas teh tarik dingin.

"Kamu tahu," ucap Permai sambil menatap kelinci putih yang melompat-lompat tak jauh dari mereka, "kalau suatu saat aku hilang arah, aku harap bisa menemukan jalan pulang ke tempat seperti ini."

Daya menoleh, senyum kecil terbit di wajahnya. "Tempat seperti ini?"

"Ya. Tempat yang ada kamu di dalamnya."

Daya tertawa pelan, malu-malu, lalu menyesap minuman manis yang baru saja dibelinya dari gerobak kecil di ujung jalan taman. Di sekitar mereka, suara anak-anak yang bermain dan aroma sosis panggang berpadu menjadi kehangatan yang tak bisa dijelaskan.

Taman itu adalah tempat favorit mereka. Setiap akhir pekan, mereka datang ke sana-duduk di gardu itu selama berjam-jam. Kadang belajar bersama, kadang hanya diam menonton film, atau saling menyuapi makanan ringan sambil bercakap tentang masa depan dan mimpi-mimpi.

Taman itu menjadi saksi bisu semua kebersamaan yang dulu terasa abadi.

Dan kini, saat kenangan itu kembali muncul di tengah kehancuran Daya, rasanya seperti ditusuk perlahan oleh sesuatu yang dulu ia sebut kebahagiaan.

Ada banyak cerita selama sembilan tahun. Mereka saling mengenal dan mencintai, tapi semua itu hancur hanya dalam satu hari. Sekarang, tidak ada lagi yang namanya "kita", mereka kembali menjadi dua orang asing yang seolah tidak pernah bersama.

"Permai, aku merindukanmu." Pelan, Daya bergumam. Air matanya bercucuran dengan sakit tak tertahan.

Dia sudah cukup lega kemarin, bercerita pada Tilla membuatnya merasa sedikit baikan, tapi satu kenangan mampu membuatnya kembali ke titik awal, seolah proses move onnya tidak ada peningkatan.

Daya menyeka air matanya, mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang lalu mengembuskan ya perlahan. Dia teringat pesan panjang yang Permai kirimkan padanya sebelum putus.

Pesan panjang itu tidak terbaca sampai akhir, ada beberapa bagian yang dilewatkannya.

Daya kembali mengulang pesan itu. Ada beberapa hal yang membuatnya cukup terkejut. Namun, dia tidak sampai membenci Permai.

Selama menjalin hubungan, Daya memang sedikit posesif. Dia tidak mengizinkan Permai untuk berboncengan dengan teman perempuan, mengantar jemput atau sekadar bertemu bila berdua saja. Namun, rupanya Permai masih melanggar itu.

Permai juga pernah bilang kalau sudah memberitahu teman baiknya, kalau dia berpacaran dengan Daya. Ternyata, itu hanya sebuah kebohongan. Cerita itu tidak pernah ada. Sampai mereka putus, tidak ada satu pun dari teman dekat Permai yang tahu tentang hubungan mereka.

Daya merasakan sebuah kehampaan. Tatapan matanya kosong. Ada ribuan duri menyerang hatinya, seolah kebal, dia enggan bereaksi.

Hal yang paling menyebalkan dari semua itu adalah kenyataan kalau Permai melanggar janjinya. Jumat itu, harusnya mereka bertemu, meski untuk terakhir kali, Daya tidak keberatan. Namun, Permai memilih mengatakan kata putus dan alasannya lewat pesan, bukan secara langsung.

Daya menundukkan kepala. Teringat beberapa kejadian yang pernah menimpanya. Dia tidak membenci Permai, hanya kecewa, karena dia selalu menjadi pihak yang tidak dipilih dan ditinggalkan sendirian.

Daya bangkit dari tempat tidur. Kepalanya pening, tapi ia berjalan menuju jendela dan membuka tirainya. Cahaya matahari masuk, tapi tidak memberikan kehangatan yang sama. Hari terasa biasa saja bagi dunia, tapi tidak bagi dirinya. Hari ini, dia sedang berduka, tapi tidak ada pemakaman. Tidak ada pelayat. Hanya dia yang sedang mengantar kepergian seseorang yang masih hidup, tapi tidak lagi memilih tinggal di hatinya.

Ia menatap langit. "Apa yang salah dari caraku mencintai?" gumamnya pelan, nyaris tak bersuara.

Sejak kecil, Daya selalu menjadi seseorang yang mudah percaya, mudah memberi, dan mudah berharap. Tapi itu pula yang selalu membuatnya mudah hancur.

Dia teringat momen-momen kecil yang dulu membuatnya tertawa: suara Permai saat mengeja namanya dengan nada bercanda, bagaimana Permai selalu mengeluh roti bakar favoritnya terlalu manis, atau saat mereka duduk berdampingan di taman tanpa berkata apa-apa tapi merasa utuh.

Kini, semua itu hanya fragmen. Tak bisa disentuh, hanya bisa dikenang.

Daya menutup matanya. "Andai mencintai tidak seberat ini..."

Ponselnya bergetar. Bukan dari Permai. Tapi sebuah pesan dari Tilla.

"Mbak, aku ke pasar bentar. Mau titip sesuatu nggak?"

Daya tersenyum samar. Bahkan dalam keadaan seperti ini, hidup tetap berjalan. Dunia tetap berputar. Ia bisa saja tenggelam dalam kesedihan, tapi tidak bisa memaksa semesta ikut berhenti bersamanya.

Dia mengetik balasan singkat.

"Enggak, makasih. Hati-hati ya."

Seketika, matanya kembali panas. Karena ia sadar: yang membantunya bertahan bukan kenangan, tapi orang-orang yang masih tinggal. Yang masih memilih untuk tetap hadir, walaupun tanpa diminta.

Daya menarik napas panjang, menutup tirai, dan kembali ke tempat tidur. Luka itu masih dalam, tapi hari ini, ia ingin mencoba untuk bertahan sedikit lebih lama.

Daya meraih ponselnya. Dengan kesadaran penuh, dia menghapus pesan atas nama Permai. Itu membutuhkan waktu cukup lama, karena ada sekitar dua ratus ribu pesan berikut file di dalamnya yang harus dihapus.

Proses menghapus itu terasa seperti mencabut satu per satu benang halus yang menenun hatinya. Setiap folder yang ia klik, setiap gambar yang ia buang, terasa seperti mengubur sepotong dirinya. Tak ada yang menjerit. Tapi ia bisa merasakan tubuhnya bergetar pelan.

Ia sempat berhenti sebentar pada satu pesan suara. Pesan pendek, di mana suara Permai terdengar mengucapkan, "Jangan lupa makan, ya. Aku tahu kamu suka lupa kalau udah nulis." Daya memejamkan mata, menahan napas.

Ia tak sanggup mendengarkannya sampai habis. Ia tekan tombol hapus. Jari-jarinya gemetar, tapi akhirnya berhasil.

Satu demi satu, bagian dari "mereka" kini lenyap. Daya tidak tahu apakah ini bentuk keberanian atau hanya caranya menyiksa diri pelan-pelan. Akhirnya, sekarang ia tahu, tidak bisa terus menggenggam hal yang tidak lagi menggenggam balik. Karena cinta itu adalah dua arah. Dia akan merasa lelah dan kehabisan tenaga bila hanya dia yang terus mencoba bertahan, sedangkan di sisi lain, tidak melakukan hal yang sama. Sekalipun terdengar menyakitkan dan terasa tidak adil, nyatanya, memaksa seseorang bertahan di saat dia sudah tidak ingin lagi, sama seperti memaksakan seseorang memakan sesuatu padahal dia sudah sangat kenyang. Hasilnya akan buruk, dia akan muntah dan di pihak lainnya akan merasa ditolak.

Daya menangis dengan keras. Namun, kali ini berbeda. Untuk pertama kali setelah berhari-hari, Daya benar-benar menangis, bukan karena ia ditinggalkan, tapi karena akhirnya berani melepaskan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel