3. Day-2
"Another level of pain is when you are really tired of the situation and your brain give your trauma. It really painful like you will killed by your own thoughts."
- LEORA DAYA -
Daya still bleeding. Lukanya masih menganga, sekalipun dia sudah mencoba untuk tegar dan tetap berdiri tegak, nyatanya, menerapkan segalanya, sekalipun diniatkan, tidak semudah yang dibayangkan. Semua serasa bersatu, menumpuk menjadi sebuah beban, yang nyaris tidak bisa dipikul.
Kehadiran Leo, kata-kata dan penerimaannya pada Daya, sekalipun mereka saling bicara melalui DM tiktok, tanpa bertemu atau tanpa niat lain, karena Leo sudah menikah, memiliki kehidupan yang layak dan bahagia. Daya tidak merasa iri, sebaliknya dia merasa lega karena lelaki yang pernah dikecewakan olehnya, menemukan seseorang yang mencintai dan dicintai serta bisa dimilikinya dalam ikatan yang sah.
Daya tidak menyesal mengenal Permai, mencintai dan bersama lelaki itu adalah pilihannya. Meskipun sekali lagi, memiliki ending yang buruk, tetap saja, dia berusaha untuk menerima kenyataan. Di balik luka dan derita, nyatanya, mereka juga memiliki kenangan dan moment bahagia. Cinta itu terlalu nyata untuk dianggap sebuah dusta, sekalipun kenyataan kembali menjatuhkannya dalam lembah nasib yang terbilang kejam.
Daya kadang menangis dengan kesakitan. Meskipun keinginannya untuk membenci dirinya dan mengakhiri hidupnya telah sirna. Namun, sakitnya patah hati karena merasa dibuang, ditelantarkan dan tidak diperjuangkan, membuatnya hancur. Dia masih menangis. Sejak membuka matanya pagi ini, rasa sakit itu menyapa. Saat melihat ponselnya, tidak ada lagi notif faforitnya. Permai telah benar-benar pergi.
Daya melihat log panggilannya. Penuh dengan nama kontak Permai. Namun, panggilan itu tidak akan pernah datang lagi. Dia sudah memblokir nomer Permai. Lelaki itu bilang, dia tidak sanggup melakukannya sehingga ingin Daya yang melakukannya. Awalnya, Daya tidak ingin melakukan itu, tetapi tidak ada pilihan lain. Hatinya akan terus memaksanya mengirimkan pesan karena masih tidak rela ditinggalkan, tetapi otaknya tahu dengan jelas kalau itu bukan yang Permai inginkan dan dia hanya akan diabaikan.
Air mata Daya mengalir lagi. Ini hari kedua, tanpa makan, hanya tidur dengan sejuta duri di hati. Aneh, tapi dia tidak merasa lapar. Tilla, Adiknya sempat mengirimkan pesan, sekalipun mereka di rumah yang sama, bertanya kenapa Daya tidak keluar kamar dan hanya diam di kamar. Bahkan, ibunya merasa heran kenapa Daya tidak terlihat sama sekali olehnya.
Daya tidak ingin membuat keluarganya khawatir. Dia perlu beberapa saat, menyiapkan diri agar terlihat baik-baik saja. Dia mencuci wajahnya, mengganti pakaian dan menemui ibu serta adiknya. Matanya masih bengkak, hidungnya masih merah dan cahaya hidupnya masih redup. Saat ditanya kenapa, Daya hanya menjawab dia sedang datang bulan dan sakit yang teramat sangat.
Setiap datang bulan, Daya memang terbiasa tergeletak di tempat tidur. Rasa mengantuknya sangat kuat. Bila di hari biasa, dia bisa begadang, tetapi saat datang bulan, dia lebih banyak tidur dan berbaring di kasur karena rasa sakit yang hampir tidak bisa ditahan. Sekarang, Daya memang mengalami rasa sakit yang dasyat, tapi bukan karena mentsruasi. Hatinya terluka dan tidak ada seorang yang bisa melihat kesedihan itu datang.
Daya kembali ke kamar setelah berkata ingin beristirahat. Padahal, air matanya hampir jatuh lagi dan dia tidak ingin ibunya melihat itu. Dia buru-buru kembali ke kamar.
"Mbak."
Tilla datang, menyodorkan sebuah roti cokelat padanya.
"Aku belum melihatmu makan sejak kemarin." Hanya satu kalimat, tapi cukup membuat Daya sadar kalau dia memang sudah dua hari ini tidak makan.
"Thanks."
Tilla hanya mengangguk lalu membiarkan Daya masuk ke kamarnya seolah tahu bahwa kesendirian adalah apa yang Daya butuhkan saat ini.
Daya kembali terbaring, wajahnya menghadap tembok. Nafasnya berat, tapi tangisnya tak lagi keluar. Seolah tubuhnya mulai menyerah pada semua rasa.
Tilla membuka pintu tanpa suara. Ia duduk di ujung ranjang, tak bicara. Hanya diam, membiarkan keheningan menyelimuti mereka.
Beberapa detik kemudian, Tilla berbisik,
"Aku tahu Mbak nggak baik-baik aja..."
Daya tak menjawab. Tapi pelan-pelan, air matanya mengalir lagi.
"Aku mungkin nggak ngerti semua yang Mbak rasain. Tapi aku di sini. Selalu."
Dan saat itu, untuk pertama kalinya sejak Permai pergi, Daya membiarkan seseorang memeluknya dalam luka. Bukan Permai, tapi Tilla-yang tak pernah benar-benar pergi.
Pelukan Tilla tak erat, tapi hangat. Daya tak membalas, tapi ia juga tak menolak. Hanya terdiam dengan air mata yang kembali turun tanpa suara.
"Kadang, kita nggak butuh jawaban dari semua hal," lanjut Tilla pelan. "Kita cuma butuh waktu. Dan seseorang yang bisa duduk di sebelah kita sambil nunggu."
Daya memejamkan mata. Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti selimut di malam dingin. Untuk pertama kalinya, hatinya tidak merasa benar-benar sendirian.
"Maaf, ya," gumam Daya. "Aku nggak tahu harus gimana."
Tilla tersenyum kecil, meskipun Daya tak melihatnya. "Mbak nggak perlu tahu sekarang. Nanti juga akan tahu sendiri. Pelan-pelan aja."
Sesaat, hanya suara kipas angin yang terdengar. Tapi keheningan itu tak lagi terasa menakutkan. Tilla masih duduk di sana. Dan Daya, walau belum sembuh, mulai bisa bernapas sedikit lebih lega.
Tilla setia menunggu sampai Daya mengembuskan napas pelan dan berbalik menatapnya seolah siap untuk bercerita.
"Aku putus dari Permai." Suara Daya tercekat. Sakit itu terlalu nyata untuk diabaikan.
Tilla terlihat terkejut, tapi tidak memberikan reaksi berlebihan.
"Kenapa?"
"Orang tuanya tidak setuju. Mereka tidak cocok denganku." Air mata Daya turun, merembes ke pipi, jatuh membasahi bajunya.
"Karena kamu jauh lebih tua dari Permai?"
Daya menggeleng, "Permai bilang, bukan itu."
"Lantas?"
"Orang tuanya mendengar rumor bahwa aku pemain cowok."
"Bukannya memang benar?"
Daya yang menangis seketika melotot mendengar pernyataan adiknya.
"Apa maksudmu?" Dia sedikit tersinggung.
"Kamu terlalu cepat move on. Setiap kali putus, hanya butuh beberapa bulan sampai kamu menemukan pacar baru. Juga, kamu terlalu pakai hati, Mbak. Ketika jatuh cinta kamu memberikan cintamu sepenuh hati, mengusahakan yang terbaik dari darimu dan terlalu bertoleransi!"
"Apa itu kejahatan?"
"Tidak, tapi orang lain akan berpikir kalau kamu tidak serius mencintai seseorang."
Daya mengembuskan napas berat, "kamu tahu itu tidak benar."
"Ya, aku tahu, tapi mereka hanya melihat apa yang ingin dilihat. Mereka tidak akan peduli bagaimana isi hatimu. Juga, kamu tidak pernah mengkonfirmasikan apapun."
Daya cemberut.
"Kamu mau protes? Apa kamu ingat kejadian saat kamu masih SMA kelas 12?"
Daya memutar matanya, berusaha keras mengingat kejadian yang Tilla maksud.
"Kamu pernah difitnah! Saat ujian matematika, tiba-tiba kamu dipanggil ke kantor kepala sekolah oleh seorang guru Biologi, di mana kamu kemudian disidang dan diperlakukan sebagai penjahat!"
"Ah, soal itu." Daya sepertinya sudah mengingat kejadian yang Tilla sebutkan.
"Kamu dituduh menyebarkan jawaban soal ujian di Facebook dan sempat dicaci-maki. Setelah diselidiki, itu bukan Daya kamu, tapi Daya yang lain. Anak IPS, bukan IPA. Apa guru itu meminta maaf padamu karena salah tuduh?"
Daya menggeleng, "tidak."
"Ada beberapa orang yang masih salah paham dan berprasangka buruk padamu, tapi kamu membiarkannya. Kenapa tidak dijelaskan?"
"Malas."
"Hah?"
"Karena orang yang benci, tidak suka dan tidak percaya, akan melihat penjelasanku sebagai alasan."
Tilla berdecak pelan, "setidaknya, kamu harus mencoba dulu, kan?"
Daya hanya menunduk pelan.
"Aku tidak menyalahkanmu soal itu, hanya saja, kenapa tidak kamu jelaskan kalau kamu bukan pemain cowok, tapi hanya cepat jatuh cinta?"
"Hei, aku tidak mudah jatuh cinta!!" Daya menyangkal ucapan Tilla.
"Really?" Tilla tidak percaya.
Daya mengangguk pelan.
"Aku hanya benci kesepian. Saat hubunganku berakhir dan aku mencintai seseorang, aku ingin bersamanya. Bukan berarti aku tidak tulus, aku hanya takut kehilangan kesempatan." Daya menarik napas lemah. "Aku hanya mengikuti instingku."
"Insting? Apa kamu hewan?"
"Ya."
"Hah?"
"Aku seorang Sagittarius."
"Terus? Apa hubungannya?"
"Aku setengah kuda."
Tilla ternganga, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku benci padamu," kata Tilla tanpa sadar.
"Aku juga membenci diriku, Til." Daya menyahut pelan membuat Tilla merasa salah bicara.
