2. Unpredictable
“So they returned with Allah's favours and grace, suffering no harm. For they sought to please Allah. And surely Allah is ˹the˺ Lord of infinite bounty.”
— Q.S Ali 'Imran ayat 173 —
Rasa kecewa itu terus tumbuh, beranak-pinak menjadi kesakitan yang meracuni tanpa penawar. Kesengsaraan itu menguras air mata, energi, bahkan keinginan untuk sekadar makan atau tidur. Daya kehilangan seluruh keberdayaannya. Hampir setengah hari ia hanya terdiam di kamar, memendam luka yang menyesakkan dada, menahan perang di kepalanya dan mencoba bertahan dari rasa sakit yang menggerogoti jiwanya.
Ia mengurung diri, tenggelam dalam keheningan, menangis dalam diam. Tangisnya tidak terdengar, tapi luka itu terasa jelas—dalam dan menyayat. Jumat yang indah berubah menjadi bencana. Perpisahan yang tiba-tiba membangkitkan kembali segudang trauma yang sudah berkali-kali ia alami.
Meski tersiksa, Daya memilih untuk tak memberitahu siapa pun. Sejak kecil, ia terbiasa menyimpan penderitaan sendirian. Ia diajarkan untuk menahan rasa sakit, dilarang mengeluh, dilarang jujur tentang perasaan. Bahkan ketika ia mencoba, seringkali dianggap berlebihan, pura-pura, atau mencari perhatian. Lama-lama, ia belajar untuk diam dan tidak menyuarakan apapun meskipun dia bisa.
Derita itu Daya tanggung sendirian, ditemani air mata dan pertarungan batin yang tak ada habisnya. Bahkan ketika dadanya terasa sesak dan tubuhnya lemah, ia tetap tidak ingin membagi rasa sakit itu, bahkan pada orang tuanya, apalagi pada orang yang telah menyakitinya. Ia menghapus nomor Permai, membiarkannya pergi dalam kebebasan yang ia inginkan sendiri.
Matanya bengkak, air matanya tak berhenti. Logika dan perasaannya saling bertarung. Logikanya tahu, ia sudah ditinggalkan, disepelekan dan ditelantarkan. Tapi perasaannya tak siap menerima kenyataan. Tidak ada rasa lapar, tidak ada kantuk. Ia hanya duduk, terjaga, dengan air mata yang nyaris mengering di pelupuk. Ini bukan kali pertama Daya ditinggalkan. Ini luka keempat—dan tidak satu pun layak disebut sebagai pencapaian.
Pertama, ia kehilangan ayah yang sangat ia cintai. Ayahnya—cinta pertamanya—berubah menjadi sosok penuh amarah dan kekecewaan. Ia, kakaknya, dan ibunya diusir dengan tas dilempar di depan semua tetangga, hanya karena ramalan yang belum tentu benar. Ayahnya memilih meninggalkan mereka demi keyakinan yang justru membuatnya kehilangan akal sehat. Sejak itu, luka pertama terpatri dalam.
Kedua, ia bertunangan dengan Farid, pria tenang yang ternyata menyembunyikan banyak wajah. Daya hanyalah satu dari sepuluh perempuan yang dicintainya. Hancur. Dunia yang ia pikir stabil runtuh. Sialnya, mereka sempat menikah. Hanya setahun, sebelum akhirnya dia harus menerima perpisahan yang tidak adil. Sebuah perpisahan yang mendatangkan berjuta derita, ratusan fitnah dan puluhan ketidakadilan. Namun, Daya terlalu lelah menanggapi semuanya sehingga dia hanya memilih diam dan mengabaikan semuanya. Dia pindah ke kota lain dan memulai kehidupan baru, dengan orang-orang yang sama sekali tidak tahu dirinya sama sekali. Itu cukup menyembuhkan, membuatnya bisa melupakan segala luka yang begitu dalam dan meninggalkan bekas yang tidak mudah ditutupi sekalipun waktu terus berlalu.
Ketiga, Leo. Ia datang saat Daya putus dengan Farid. Leo hangat, menenangkan, dan membuat Daya merasa utuh. Tapi hubungan itu dihancurkan oleh Farid yang narsistik. Leo pergi tanpa jejak, seolah ditelan bumi. Daya kehilangan lagi.
Keempat, hari ini. Permai, cinta dan harapan terakhirnya, pergi. Sembilan tahun perjalanan, meski penuh pasang surut, akhirnya kandas karena satu kabar burung dari “kenalan” yang bahkan tidak jelas identitasnya. Ironis, sebab Permai dan keluarganya bahkan tidak tahu di mana rumah Daya. Tapi ia memilih percaya rumor.
Rumor tidak memiliki panjang, lebar, atau kedalaman—tapi bisa menghancurkan segalanya.
Daya terluka, tapi ia tidak mengutuk siapa pun. Ia tahu, fitnah adalah ladang pahala. Dia mencoba bersabar, walau sakitnya terasa seolah tak tertanggungkan.
Di rumah yang sunyi, semua sedang berkumpul di rumah saudara karena masih suasana lebaran. Daya keluar kamar, hendak mengganti baju dan pembalut. Ia sedang datang bulan. Biasanya, nyeri itu membuatnya mengeluh, tapi kali ini, sakit di hati dan pikirannya menutupi segalanya.
Pandangan matanya jatuh pada botol racun tikus di dekat wastafel. Ia mengambilnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mempertimbangkan untuk menyerah.
Hampir pukul setengah dua belas malam. Di tangannya, botol racun sudah siap diteguk. Ia hanya menulis sepucuk surat pendek: “Maaf dan terima kasih.” Tak ada penjelasan. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya.
Namun, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari satu-satunya media sosial yang ia punya—simbol alat musik berwarna hitam. Sebuah akun dengan foto kucing berkacamata mengirim pesan.
“Hey, sorry for intruding. But I would like to know who this is. I’m pretty sure you know who I am.”
Nama itu segera terlintas di kepala. Daya tahu persis siapa pengirimnya. Walau sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, ia mengenal gaya bahasanya.
Ia membalas dengan datar, bertanya siapa dia. Pria itu bersikeras, Daya pasti tahu. Dan ia tidak akan menyebut namanya dulu. Daya pun tak mau mengalah.
“Oke, ini dia,” kata pengirim itu akhirnya.
“Yes, I am your ex. But, I don’t wanna tell my name, Leora.”
“Damn, Leo.”
Daya menahan napas. Leo. Setelah semua tahun itu. Ia muncul tepat ketika Daya hampir menyerah.
Leo menjelaskan, ia menemukan akun Daya secara tidak sengaja. Ia mengenali gaya tulisannya.
“I still recognize you, even your language. Oh my goodness.”
Leo datang kembali, bukan lewat sosok nyata, tapi lewat pesan DM di TikTok—setelah sepuluh tahun tak berhubungan. Entah bagaimana, entah kenapa, dia menemukan Daya. Dia sendiri tidak memilikinya. Tanpa sadar, seakan-akan takdir mengaturnya untuk muncul di saat yang paling rapuh dalam hidup Daya. Saat dia terluka, Leo datang seperti sebuah penyelamat.
“Are you oke? You get hurt?” Dia bertanya dengan lembut. Daya merasa seolah dia bisa membaca hatinya yang tercabik-cabik. Tanpa berpikir panjang, Daya menceritakan semuanya. Tentang perpisahannya dengan Permai yang mengoyak segala yang dia percaya. Tentang rumor buruk yang menghancurkan namanya. Tentang dia—mantan pacar, yang terlalu percaya pada kebohongan dan memilih untuk membuangnya. Sebuah rumor yang disebar oleh Farid. Bahkan, bertahun-tahun selesai, fitnahnya masih ada dan dipercaya. Plot twistnya, Farid measih memantaunya. Lewat sosial media dan seseorang yang disebutnya informan. Daya tertawa getir, lelaki itu sudah menikah dan memiliki anak, tapi masih ingin ikut campur dalam hidupnya. Sungguh, NPD yang tidak bisa diselamatkan.
Hal lain yang diungkapkan Daya adalahpermintaan maaf darinya, yang sejak dulu terasa membebani. Untungnya, Leo sudah melupakan segalanya. Dibalik ending yang buruk, dia masih mengenal Daya sebagai seorang yang baik. Sungguh, itu membuatnya merasa memiliki harapan karena bisa dikenang sebagai seorang yang mendatangkan pelajaran berharga dan kenangan indah, bahkan dengan ending yang buruk. Leo, sedikit terasa lebih manusiawi dibandingkan mantan pacarnya yang sudah dikenalnya selama sembilan tahun.
Leo bukan hanya memberi maaf, dia memberi sesuatu yang lebih—pemahaman dan ruang untuk Daya menghela napas. Namun, yang paling membuatnya tersentuh adalah kata-kata darinya.
"You don’t really need anyone to be happy. Just you and your own mind. It's in the past, let it go, Daya. Don’t lose your mind again. You deserve to be happy like everyone else."
Kalimat itu menutup percakapan. Daya tersenyum. Air matanya turun, tapi bukan karena putus asa—melainkan lega.
“Oke. Maybe next time. But not today,” bisiknya, sambil mengembalikan botol racun ke tempat semula.
Ia menangis lagi, kali ini hanya sepuluh menit. Hatinya masih sangat hancur, tapi pikirannya mulai pulih.
Begitulah cara Tuhan menolong. Selalu datang lewat jalan yang tak disangka-sangka. Leo. yang wajahnya sudah memudar seiring waktu, Daya hampir tidak bisa mengingat rupanya, meski kenangannya masih ada, terutama rasa bersalah itu, yang sudah menikah dan bahagia, datang dengan memberikan pengampunan dan sebuah harapan. Harapan bahwa Daya masih layak untuk bahagia sekalipun orang lain berusaha membuatnya kecil, tidak pantas dan sepele.
