Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

12. Time

"Waktu tidak bisa menyembuhkan luka. Namun, ia bisa membuat seseorang terbiasa dan berdamai dengan luka itu."

— Leora Daya

Daya terbangun tanpa alarm. Tak ada mimpi. Tak ada tangis. Hanya cahaya pagi yang menyusup lembut melalui celah gorden, dan suara ayam dari kejauhan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa... cukup.

Langkahnya pelan keluar kamar. Aroma dapur langsung menyapa: bawang putih tumis, daun seledri, dan kaldu hangat yang menggoda.

Aini berdiri di depan kompor, mengaduk sesuatu dalam panci besar. Ketika mendengar langkah kaki, ia menoleh sambil tersenyum.

"Pagi, Day. Tumben bangun pagi."

Daya membalas dengan senyum kecil. "Pagi, Kak."

"Laper? Aku masak sop buntut. Mama udah nunggu di meja makan."

Tanpa banyak kata, Daya mengangguk dan melangkah ke ruang makan. Ibunya sudah duduk di sana, sarapan sebelum berangkat kerja.

"Kamu sudah baikan?" tanya Fajar, ibunya, sambil menyeruput teh.

"Sudah, Ma," jawab Daya pelan.

"Paketan Mama habis, bisa kamu isiin, kan?"

Daya tercekat. Tangannya nyaris meraih piring, tapi batal. Ia mencoba tetap tenang, bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

"Oke, Ma."

Ia berbalik buru-buru, bukan ke meja makan—ke kamarnya. Tangis itu sudah menunggu di ambang.

Saat melewati ruang tengah, Yusuf sedang menyeruput kopi. Ia hanya melirik Daya sekilas. Tak ada sapaan. Tak ada pertanyaan. Daya tak butuh apa-apa selain ruang untuk meledak dalam diam.

Pintu kamar tertutup. Daya langsung membenamkan wajahnya ke bantal. Ia menangis—bukan karena permintaan sang ibu, tapi karena satu hal kecil itu cukup untuk menjeratnya kembali ke kenangan yang ia pikir sudah selesai.

Permai. Suara lembutnya seolah hidup kembali dalam kepala Daya.

"Cantik, paketnya udah aku isiin ya. Jangan sungkan kalau habis dan kamu lagi nggak pegang uang. Aku ini calon suamimu, lho."

Daya menggigil oleh kenangan itu. Ia menangis lebih dalam. Kali ini bukan karena patah hati biasa, tapi karena kehilangan seseorang yang begitu baik padanya. Seseorang yang tak pernah membuatnya merasa sendiri. Seseorang yang ia percaya akan menjadi rumah. Namun kini, rumah itu tak lagi ada.

Suara ibunya memanggil dari luar, menanyakan soal paket. Daya menghapus air mata, duduk, dan berusaha bersuara stabil. Ia mengisi paket ibunya, lalu menjawab pelan dari balik pintu, "Sudah, Ma."

Setelah itu, ia rebah lagi di kasur. Nafsu makannya hilang. Daya menatap langit-langit kamar. Tangisnya mengalir lagi—tanpa suara, tanpa rencana. Hanya rindu yang diam-diam mengendap dan mengikis hati.

Daya tertidur setelah tangisnya habis. Saat ia membuka mata, cahaya sudah tinggi. Rumah sepi. Tak ada suara panci dari dapur, tak ada percakapan atau langkah kaki.

Semua sudah pergi—ibunya ke tempat kerja, Yusuf mungkin sudah berangkat juga, keponakannya sekolah, dan Aini entah ke mana. Mungkin belanja atau sekadar keluar sebentar. Hening yang tersisa terasa menenangkan.

Daya bangkit pelan, mencuci muka di kamar mandi, lalu menatap dirinya di cermin. Wajahnya masih sedikit bengkak, tapi ia merasa lebih stabil daripada sebelumnya. Ada dorongan samar dalam dirinya untuk bergerak. Untuk melakukan sesuatu, apa pun yang membuat tubuhnya merasa hidup kembali.

Ia berjalan ke sudut kamar, lalu berhenti di depan rak kecil tempat sepasang dumble tersimpan. Daya sempat terdiam. Itu adalah hadiah ulang tahun dari Permai setahun lalu.

Daya menghela napas. Dia tahu kalau tak bisa selamanya menghindari kenangan. Kalau memang ingin sembuh, dia harus berani menghadapi semuanya—bahkan hal-hal sekecil ini. Bahkan kalau itu sakit. Ia mengambil dumble itu dan mulai bergerak.

Selama satu jam, Daya berolahraga. Gerakan-gerakan yang dulu rutin ia lakukan bersama video YouTube favoritnya kini kembali ia ulangi. Napasnya terengah. Tubuhnya panas dan berkeringat. Akan tetapi, ada rasa lega yang ia rasakan dengan setiap tetes peluh yang jatuh.

Setelahnya, ia membaringkan tubuh di lantai, tepat di depan kipas angin yang menyala kencang. Angin dingin menerpa kulitnya yang basah. Tubuhnya lelah, tapi ada sesuatu yang terasa lebih ringan di dalam kepalanya.

Pikirannya, yang biasanya penuh dan berat, kini seperti kusut yang mulai pelan-pelan terurai. Tidak sepenuhnya selesai, tapi cukup untuk membuatnya merasa: mungkin, hari ini bisa jadi awal yang lebih baik. Dia merasakan semangat untuk melakukan sesuatu setelah sekian lama tertarik dalam ketidakinginan untuk apapun, hanya bermalas-malasan dan terjebak dalam perasaan nostalgia atau perenungan yang ujung-ujungnya membawanya ke sebuah belenggu tak kasat mata bernama relapse. Meskipun relapse adalah bagian dari penyembuhan, tetap saja menyebalkan untuk mengulang kesedihan dan ketidakberdayaan akan sesuatu. Itu terasa melemahkan, melelahkan secara fisik dan emosional serta mengacaukan segala rencana di kepala.

Setelah olahraga, Daya memaksakan dirinya untuk mandi. Air dingin membasuh tubuhnya yang masih berkeringat, membawa serta rasa lelah dan sisa-sisa kepedihan yang masih melekat. Usai mengganti pakaian, ia duduk di depan meja kerja dan membuka laptop yang sudah lama tak disentuh.

Sudah beberapa hari ia tidak menulis apa pun. Halaman novelnya terhenti pada bab yang penuh emosi, bahkan ia tidak berani membacanya kembali. Namun, hari ini berbeda. Daya merasa lebih kuat.

Ia membuka dokumen itu, menatap halaman demi halaman tulisannya. Kalimat-kalimat yang dulu ia ketik dalam kelelahan dan air mata kini terlihat berantakan. Leo pernah bilang, "Kamu terlalu membiarkan perasaan mengambil alih. Narasinya jadi lari ke mana-mana." Daya sempat kesal saat itu, tapi kini ia tersenyum kecil. Seorang Virgo memang tak bisa hidup tanpa memberikan kritik. Tapi selama itu membangun, ia tidak keberatan.

Daya mulai membaca ulang novelnya, lalu memperbaiki. Menyusun ulang. Menghapus. Menulis. Menghidupkan ulang karakter-karakternya dengan cara yang lebih jernih. Ia tenggelam dalam dunia fiksinya, membiarkan kata-kata menjadi pelampiasan dari perasaan yang belum selesai.

Hari berlalu tanpa terasa.

Daya nyaris tidak bangun dari kursi, kecuali untuk mengambil air minum. Akan tetapi, ia tidak keberatan. Kesibukan itu adalah penyelamat. Dengan pikirannya sibuk, luka hatinya tak sempat memanggilnya kembali ke titik rapuh.

Ia tahu betul—ini belum akhir dari proses. Masih ada hari-hari di mana ia akan kembali teringat. Akan ada saat-saat di mana ia merasa kuat, lalu kembali runtuh. Tapi itu tidak membuatnya gagal.

Daya tidak menyalahkan dirinya karena belum benar-benar melupakan. Tidak menyalahkan pikirannya yang terus bolak-balik antara tegar dan hancur. Yang penting, ia tidak kehilangan dirinya lagi.

Patah hati memang menyakitkan. Namun, bukan berarti ia harus kehilangan harapan. Dia akan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Itulah janji yang dibuatnya pada dirinya sendiri hari itu.

Sore menjelang malam ketika layar laptop Daya menyala dengan notifikasi. Sebuah pesan masuk dari Leo.

"Your writing's getting better, Daya. I mean it. You have the potential to be a really good author."

Daya terdiam sejenak. Matanya membaca ulang pesan itu, berulang kali. Bukan karena itu datang dari Leo, bukan karena suara laki-laki itu kembali hadir dalam hidupnya—melainkan karena kalimat itu terasa seperti tangan kecil yang menariknya dari kegelapan.

Ia menghela napas pelan. Ada senyum tipis di wajahnya, nyaris tak kentara.

Pujian itu seperti selimut hangat yang menenangkan dadanya. Rasanya bukan euforia, bukan pula degup cinta lama yang kembali. Semacam harapan kecil yang menyala. Bahwa meski ia telah kehilangan seseorang yang sangat ia cintai, ia masih punya sesuatu untuk diperjuangkan.

Ia masih bisa menciptakan sesuatu. Menjadi sesuatu.

Daya menatap layar laptopnya, kemudian tangannya kembali mengetik. Kali ini, lebih mantap. Lebih yakin.

Karena mungkin, luka memang tidak bisa disembuhkan oleh waktu. Ia masih bisa membuka ruang baru—tempat di mana seseorang bisa kembali membangun, bahkan dari puing-puing yang nyaris tak berbentuk.

Di hari itu, Daya merasa sedikit lebih utuh. Tidak hanya karena pujian dari Leo, tetapi juga karena dia seperti menemukan sesuatu untuk melangkah maju dan memiliki hari yang lebih baik dibandingkan kemarin atau hari ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel