Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. Relapse

"Fase paling menyebalkan adalah fase relapse. Karena berpikir sudah hilang dan sedikit lagi akan menang, padahal hanya menunggu waktu untuk datang."

- Leora Daya -

Daya tidur seperti bayi dua malam berturut-turut setelah perjalanan panjang itu. Angin gunung yang dingin, suara motor Jaka yang menggema di sepanjang tanjakan, dan pemandangan hijau yang tak henti-henti membuat pikirannya akhirnya lelah juga. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak bermimpi tentang Permai. Tidak juga terbangun di tengah malam karena perasaan kehilangan yang menusuk.

Ia sempat berpikir, Mungkin aku sudah sembuh. Namun, harapan itu ternyata rapuh.

Pagi itu, sebuah notifikasi dari Google Foto muncul di layar ponselnya—Kenangan hari ini, dua tahun lalu.

Tanpa pikir panjang, jari telunjuknya menyentuh gambar mini yang muncul. Ia tahu itu bukan keputusan bijak, tapi semua terjadi terlalu cepat. Dalam sekejap, layar penuh oleh senyuman Permai dan dirinya, duduk di sebuah tempat rest area di kebun binatang Surabaya. Permai memegang tangannya. Mereka sedang tertawa, seperti dua orang yang percaya cinta bisa menyelamatkan segalanya. Juga, pose love yang mereka buat, semakin menghancurkan hatinya.

Air mata Daya jatuh begitu saja. Seketika, dunia yang sempat tenang itu pecah kembali.

"Kenapa aku masih di sini?" bisiknya seolah tidak percaya.

Relapse memang menyebalkan. Rasanya seperti sedang berlari jauh, lalu ditarik kembali ke titik nol oleh bayangan yang tak pernah benar-benar hilang. Ia benci dirinya yang terlalu mudah berharap, lalu terlalu cepat percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Daya mencoba mencari sandaran, tapi dia sadar sedang sendirian. Tidak ada yang bisa diandalkan, selain dirinya sendiri.

Tilla sudah kembali ke Surabaya. Dia memang masih berkuliah, semester terakhir untuk menyelesaikan PPG pra-jabatannya. Setelahnya, dia kembali untuk bekerja sebagai guru, cita-cita yang selama ini diinginkan orang tua mereka. Ibunya bekerja sebagai kuli toko, sedangkan kakak pertamanya seorang sales parfum.

Fafie sibuk. Dia menjadi guru SMP dan guru les bahasa inggris di sebuah pesantren. Jadwalnya padat, sulit menemuinya kecuali wanita itu yang datang kepadanya.

Tidak ada pesan dari Jaka, dan Daya tidak berharap apa-apa darinya. Mereka hanya dua orang yang kebetulan menempuh jalan yang sama untuk sejenak. Hanya persimpangan, bukan tujuan.

Kini, di tengah relapse yang membusuk diam-diam, Daya duduk sendiri di kamarnya yang remang, ponsel di tangan, dan matanya terpaku pada satu folder bernama sayangq.

Folder itu menyimpan ratusan potongan waktu. Foto-foto Permai yang dikirim secara spontan—wajah mengantuknya di pagi hari, ekspresi kesalnya saat dipaksa berfoto saat nongkrong, pose konyolnya saat bekerja, dan pap-pap manis dan lucu, sedang maskeran, main game atau melakukan hal random, membuat patah itu terasa sangat nyata sekalipun sebelumnya terasa telah pudar sampai nyaris tak terasa.

Tangannya gemetar saat menekan tombol "hapus". Layar sempat diam beberapa detik, seolah menunggu kepastian. Lalu—klik. Hilang.

Satu demi satu, semua foto mereka sirna. Momen-momen di taman bunga, video kencan terakhir mereka, selfie kabur dalam gerimis, semuanya. Hatinya seperti tercabik setiap kali gambar itu lenyap, tapi ia terus melanjutkan. Sampai hanya folder kosong yang tersisa. Akan tetapi, belum selesai sampai di situ.

Daya mengambil photobook yang dulu dibuatnya dengan penuh cinta. Satu album penuh kenangan cetak, foto dari photobook. Ada tempelan kecil, nota pembelian setiap kencan mereka, bahkan tiket nonton yang diselipkan di antara halaman. Ia tidak membuka satu pun halaman lagi. Tak sanggup.

Ia hanya memasukkannya ke dalam kardus kecil, bersama semua nota pembelian atau struck makanan, dan barang-barang kecil yang dulu bermakna. Ia kemudian membawanya berjalan keluar, ke halaman belakang.

Api dinyalakan. Satu per satu, semuanya dilempar ke dalamnya.

Daya berdiri diam, tubuhnya membatu, hanya matanya yang bergerak mengikuti nyala api. Tidak ada drama air mata kali ini. Yang tersisa hanya rasa sesak yang dalam dan sunyi. Runtuhnya dunia kecil yang dulu mereka bangun, kini benar-benar jadi abu.

Kalau memang cinta itu rumah, maka ia memilih membakar rumah itu hingga rata dengan tanah—agar tidak ada satu pun puing yang membuatnya ingin kembali dan membangun yang sama.

Sisa api mulai padam saat angin sore berembus perlahan. Di antara abu yang menghitam, Daya melihat selembar kertas foto yang belum sepenuhnya hangus. Ia jongkok, memungutnya dengan hati-hati. Tepiannya gosong, warnanya sudah pudar, tapi ia masih bisa mengenali wajah mereka.

Dirinya dan Permai, saling menatap dengan cinta yang begitu nyata di dalam mata masing-masing. Dada Daya kembali sesak. Untuk sepersekian detik, ia nyaris menyimpannya. Tapi tidak—ia tidak ingin menyisakan apapun. Ia menatap wajahnya sendiri dalam foto itu, mencoba mengingat seperti apa rasanya percaya bahwa cinta itu cukup.

Perlahan, Daya meletakkan foto itu kembali ke bara. Membiarkannya terbakar hingga tak ada yang tersisa. Daya duduk cukup lama di depan sisa api yang kini tinggal bara merah menyala kecil. Hanya keheningan yang lama. Tubuhnya mungkin masih lelah, tapi hatinya...

hatinya mulai tahu cara untuk diam.

Ia mengambil ponsel, memotret abu-abu kenangannya. Bukan untuk diunggah, bukan pula untuk dikenang. Hanya sebagai pengingat. Bila suatu hari ia kembali terjebak dalam rasa rindu, ia ingin punya bukti bahwa semuanya sudah hangus. Tidak ada yang bisa dibangun ulang di atas puing yang ia bakar sendiri.

Malam itu, ia masuk ke kamar dengan langkah berat.

Di lemari, ia tahu ada tumpukan pakaian yang dibelikan Permai.

Pakaian yang dulu membuatnya merasa dicintai.

Pakaian yang dulu dikenakannya dengan bangga karena "Permai yang pilih ini untukku."

Daya memeluk satu persatu sebelum melipatnya lalu memasukkan semuanya ke dalam kantong plastik besar, satu persatu, dengan hati-hati. Ia tidak membuangnya. Karena ini bukan salah pakaiannya. Permai, sejahat apapun akhir ceritanya, pernah mencintainya.

Daya hanya ingin menjauhkan mereka untuk sementara.

Sampai suatu hari, saat dadanya tak lagi sesak, mungkin ia bisa memakainya lagi—bukan sebagai sisa kenangan, tapi sebagai pakaian biasa. Tanpa luka, tanpa makna.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Daya merasa tubuhnya ringan.

Meskipun hatinya masih penuh bekas luka, setidaknya ia tahu satu hal—

Ia sudah mulai benar-benar melepaskan.

Meskipun hatinya masih penuh bekas luka, setidaknya ia tahu satu hal—Ia sudah mulai benar-benar melepaskan

Setelah memastikan semuanya rapi, Daya berdiri.

Ia berjalan ke kamar mandi, mencuci wajahnya, menyikat gigi, menyiramkan air ke tubuhnya yang letih. Air dingin mengalir seperti ingin meredakan bara yang masih membekas di dalam dadanya.

Selesai membersihkan diri, ia mengenakan baju yang paling netral, lalu duduk di kursi kerjanya. Meja itu saksi banyak hal—dari kerja lembur, menulis puisi, hingga mendengarkan lagu-lagu yang diputar Permai saat mereka video call.

Kini, layar laptop menyala, dan Spotify terbuka di tab pertama.

Ia melihat nama-nama di dalam paket family itu. Nama Permai. Nama ibu Permai. Ayah Permai. Semuanya pernah menjadi "keluarga" dalam definisi yang dulu ia percaya. Tapi sekarang Daya tahu—ia hanyalah tamu yang terlalu lama bertahan di rumah orang lain, berharap dianggap bagian dari mereka.

Tanpa ragu, ia mengarahkan kursor ke menu pengaturan.

Tangannya tidak gemetar. Klik. Akun berhasil dihapus.

Daya menarik napas panjang, lalu membuka Notepad. Ia mengetik pelan, membiarkan kalimat itu keluar dari hatinya sendiri:

Selamat tinggal, cintaku. Mari jangan bertemu lagi dalam kesempatan manapun atau di kehidupan manapun. Benang merah di antara kita, semoga terputus dan tidak pernah tersambung atau bertemu di titik manapun.

Daya membaca kalimat itu dua kali. Setelah pengulangan yang keiga kali, ia menyalin tulisan itu ke sebuah file kosong lalu memberinya nama: Finale.

Sebagai penutup, Daya uninstall Spotify. Karena bahkan musik pun bisa jadi hantu yang menyanyikan kenangan.

Dan ketika semuanya hilang, sunyi sekali lagi mengisi ruangan itu. Kali ini, Daya tidak merasa kosong. Ia hanya merasa sudah cukup.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel