13. Tono
"Terkadang, memiliki pengalaman yang sama adalah cara manusia berbagi penderitaan. Bukan untuk saling mengadu nasib, tapi untuk saling menguatkan."
- Leora Daya -
Awalnya hanya belanja bulanan. Ibunya menitipkan daftar panjang: sawi, tahu, ikan kembung, tomat, dan bumbu dapur yang bahkan Daya sudah lupa akan digunakan untuk masakan apa. Pasar pagi itu ramai seperti biasa, berisik, penuh aroma, dan sedikit lengket di kulit. Daya tidak suka tempat ini, tapi juga tidak membencinya. Hanya datar.
Di antara kerumunan, ia melihatnya. Seekor kucing kecil, tergeletak di dekat tumpukan kardus basah. Bulu oranye yang kusam, kaki putihnya kotor. Napasnya terdengar lirih meski tertutup riuh suara pasar. Daya berhenti lalu berjalan lagi. Dia tidak punya waktu.
Setelah selesai belanja, ia pulang. Menata sayur dan bumbu ke dalam kulkas, menyusun ikan di freezer, bahkan sempat mencuci tangan dua kali. Akan tetapi, pikirannya tak pernah benar-benar pulang.
Kucing itu. Mata sayunya. Napasnya yang tidak rapi dan yang paling mengganggu, tatapan kosongnya yang terasa terlalu akrab. Seperti melihat dirinya sendiri. Tanpa sadar, ia kembali ke pasar. Hanya ingin memastikan. Hanya ingin tahu apakah kucing itu masih hidup. Benar, dia masih di sana. Di tempat dan posisi yang sama.
Daya berjongkok. Menyentuh kepala kecil itu, dingin. Kakinya lebih dingin lagi. Napasnya pendek, terputus-putus. Tak ada yang peduli. Orang-orang berlalu-lalang seperti biasa seolah tidak melihat apa-apa.
Daya menelan ludah. "Kenapa kamu masih di sini?" bisiknya.
Beberapa menit kemudian, dia menemukan kardus bekas di dekat lapak buah. Dia membungkus kucing itu dengan jaketnya. Tak ada alasan kuat. Hanya... dia tak tahan lagi untuk diam.
Di klinik hewan, dokter bicara serius, "Infeksi pernapasan. Dia harus diopname. Tidak bisa dibiarkan pulang dalam kondisi seperti ini."
Daya mengangguk. Menandatangani formulir. Di kolom "Wali": Leora Daya. Kolom "Nama hewan": ia terdiam sejenak. "Tono," katanya. Tanpa rencana. Tanpa berpikir.
Kucing itu mengeong pelan seolah mengerti dan setuju. Daya masih terpaku setelah menyebut nama itu.
"Tono," ucapnya sekali lagi, kali ini lebih pelan, seperti mencoba memastikan pada dirinya sendiri bahwa nama itu benar-benar muncul dari hatinya.
Saat itu juga, kucing itu membuka matanya. Pandangan mereka bertemu.
Daya tidak mengerti kenapa ia merasa seolah sedang dipeluk oleh sorot mata seekor kucing. Dalam, teduh, tapi penuh luka yang tak sempat diungkap. Mata itu... tidak menuntut apa pun, tapi juga tidak menyerah.
Tiba-tiba, dadanya sesak. Air mata yang ia tahan sejak berhari-hari lalu, luruh begitu saja. Ia menangis dalam diam, sambil menggenggam sisi kardus, mencoba menahan tubuhnya agar tidak runtuh. Kucing itu mengeong sekali lagi, pelan, lantas menggerakkan kaki kecilnya, menjangkau ke arah Daya. Sentuhan yang bahkan tak benar-benar menyentuh, tapi cukup untuk membuatnya merasa dipilih.
Dokter hewan yang berada di samping mereka tersenyum kecil, lalu berkata,
"Mereka biasanya hanya begitu pada pemiliknya. Sepertinya kalian sudah lama bersama, ya?"
Daya hanya mengangguk pelan. Ia tidak sanggup menjelaskan. Karena bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa mereka baru bertemu beberapa menit lalu?
Mungkin dokter itu tidak sepenuhnya salah. Karena mereka memang telah bersama sejak lama. Dalam luka yang sama. Dalam sunyi yang terlalu padat. Mereka hanya baru dipertemukan hari ini.
Hari ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Daya merasa... ada yang mengerti. Tanpa tanya. Tanpa syarat.
Setelah infus dipasang dan obat vitamin disuntikkan perlahan ke tubuh kecil itu, Daya hanya berdiri di sudut ruangan. Diam. Menyaksikan semuanya dalam diam.
"Dia harus kami rawat dua hari," kata dokter hewan, melepaskan sarung tangan medisnya. "Hari Senin bisa diambil lagi, ya. Hari Minggu kami tutup."
Daya mengangguk. Ada suara kecil dalam dirinya yang ingin menawar, minta izin untuk menunggui, atau sekadar duduk di pojok ruangan, memeluk kardus kosong. Namun ia tahu, itu tak mungkin.
Sebelum keluar, ia sempat melihat Tono. Tubuh kecil itu masih lemas, tapi lebih tenang. Kedua kaki depannya kini tanpa bulu, dicukur bersih agar jarum infus bisa menancap dengan sempurna.
"Nanti tumbuh lagi, kok," ucap Daya pelan.
Tono tidak membalas. Dalam diamnya, Daya tahu dia mendengar. Ia tersenyum, tiba-tiba teringat pada tiga kucing yang dulu pernah ia pelihara. Niken, Aron, dan Boni. Semuanya jantan dan telah mati. Niken itu juga jantan meskipun namanya membuat orang berpikir sebaliknya. Daya tidak peduli waktu itu. Ia suka nama itu. Dan Niken tampaknya juga tidak keberatan.
Kenangan itu datang seperti embusan angin sore. Tidak menghempas, hanya menyentuh pelan.
Ia menatap Tono sekali lagi sebelum berpamitan pada dokter.
"Tunggu aku, ya," bisiknya.
Suara yang nyaris tak terdengar, tapi penuh janji.
Daya mengendarai sepeda motornya perlahan di jalan yang mulai sepi. Angin sore menyapu pelan wajahnya, membawa aroma hujan yang tertunda. Di balik helmnya, ia tersenyum tipis. Ada kelegaan yang sulit dijelaskan. Seolah hari ini, hatinya-yang biasanya berat dan dingin-akhirnya mendapat sedikit cahaya.
Ia teringat obrolan dengan Permai dulu. Janji-janji kecil yang mereka buat di sela percakapan tentang masa depan. Salah satunya: memelihara kucing setelah menikah.
Tentu saja itu tidak pernah terjadi. Karena mereka tidak benar-benar menikah. Karena Permai memilih pergi dan mengkhianati segala janji yang mereka sepakati.
Hari ini Daya membawa seekor kucing ke klinik, dan itu cukup. Itu nyata. Itu bukan sekedar janji atau opini, melainkan fakta yang benar-benar terjadi dan terealisasi.
"Seperti Tono," gumamnya di balik helm, suara nyaris tertelan angin. "Semua yang ingin aku lakukan dulu denganmu, mungkin bisa diwujudkan olehku sendirian, meski tanpamu, Mai."
Saat melewati sebuah tong sampah di pinggir jalan, Daya menghentikan motornya. Menurunkan standar, ia duduk diam sebentar. P
erlahan melepas cincin di jari manisnya, dan gelang di pergelangan tangan.
Keduanya bukan emas. Hanya logam imitasi, tapi dulu Permai bilang, "Yang penting bukan bahannya, tapi maknanya."
Dan hari ini, makna itu telah berubah.
"Maaf ya," bisik Daya lirih, menatap cincin dan gelang di tangannya. "Bila tetap digunakan, kamu hanya akan mengiritasi kulit dan hatiku. Jadi, ini akan menjadi yang terakhir kali."
Dengan hati-hati, ia membuka penutup tong dan meletakkan keduanya di dalam, bukan dibuang sembarangan.
Lalu berdiri, menatap langit senja yang mulai meremang.
"Selamat tinggal, Permai," katanya. "Sekalipun harus menampar diriku, aku akan berjuang untuk tidak mengemis padamu."
Ia kembali menaiki motornya, menghidupkan mesin, dan melaju pelan ke arah rumah.
Tanpa beban di tangan, dan sedikit lebih ringan di hati.
Perjalanan pulang terasa ringan. Seolah angin malam pun turut memberi ruang untuk Daya bernapas lebih lega. Namun, di tengah jeda antara lampu merah dan suara motor lain yang melintas, satu kenangan menepuk pundaknya pelan.
Permai.
Cincin dan gelang itu.
Bukan dia yang membuangnya lebih dulu.
Daya baru paham bahwa seharusnya sejak dulu dia sadar bahwa Permai-lah yang lebih dulu melepaskan semuanya. Bahkan sebelum kata "perpisahan" keluar dari bibir mereka, Permai sudah membuang cincin dan gelang itu entah ke mana, seolah tak pernah ada ikatan yang berarti.
Daya tersenyum miris. Tapi tidak ada air mata, tidak ada sesak yang menyesakkan. Lukanya sudah kebal. Ia sudah terlalu sering meraba nyeri itu, hingga kini rasanya menjadi bagian dari kulitnya sendiri.
Bayangan itu muncul: sosok perempuan yang dulu hanya sebuah kecurigaan kecil di benaknya. Teman dekat Permai. Perempuan yang katanya tak pernah punya pasangan. Yang selalu ada. Yang entah kenapa terasa terlalu dekat.
Dan kini... mungkin saja, mereka bersama.
Mungkin mereka sudah bersama sejak lama, saat Daya masih sibuk menggenggam hal yang perlahan-lahan telah memudar.
Daya tertawa kecil. Bukan getir. Hanya... lelah.
"Toh, semua itu sudah tak ada hubungannya denganku," gumamnya.
"Dia memilih jalan itu dan aku memilih jalan yang kutempuh malam ini."
Ia menatap ke depan. Lampu-lampu jalan seperti garis-garis takdir yang menuntunnya pulang. Kali ini, tanpa beban, tanpa janji yang menjerat.
Hanya Daya, sepeda motor tuanya, dan secercah keyakinan bahwa ia akan baik-baik saja.
