BAB 5
BAB 5
HAPPY READING
___
Sementara itu, di ruang kerjanya yang sunyi di lantai tertinggi gedung Asthon Tower, Raga duduk seorang diri. Ruangan itu luas, dinding kacanya menampilkan panorama Jakarta yang berkilau dengan gedung-gedung menjulang, tapi pandangan Raga tidak benar-benar melihat keluar. Matanya kosong, menatap ke jauh, seolah kembali ke masa lima belas tahun lalu—masa ketika hidupnya porak-poranda.
Nama Bagaskara yang baru saja terucap dari bibir Grace tadi malam masih terngiang jelas. Nama itu bukan sekadar nama, melainkan duri tajam yang sudah lama tertancap di hatinya. Ia menarik napas panjang, lalu meneguk wine merah di tangannya. Rasanya pahit, meski ia tahu minuman itu seharusnya manis.
“Bagaskara!” gumamnya lirih, suaranya penuh amarah yang ditahan.
Dulu, keluarga Asthon berdiri sejajar dengan keluarga besar lainnya. Ayahnya, Leonard Asthon, dikenal sebagai pengusaha yang jujur, membangun bisnis aluminium dari nol, membuka lapangan kerja bagi ribuan orang. Mereka bukan keluarga yang sempurna, tapi mereka hidup dengan martabat. Hingga satu malam, semua itu hancur dalam sekejap.
Raga masih bisa mengingat bagaimana ayahnya pulang dengan wajah pucat, membawa kabar bahwa saham mereka jatuh, partner bisnis menghilang, dan kontrak-kontrak besar dibatalkan. Bagaskara ada di balik semua itu. Dengan jaringan luas dan permainan licik di pasar modal, mereka menjerat perusahaan Asthon dalam skema manipulasi yang tak bisa dilawan.
“Kami dikhianati,” suara ayahnya waktu itu masih bergema di kepalanya. “Mereka tidak hanya ingin bisnis kita jatuh, mereka ingin nama kita hilang dari sejarah.”
Dan benar saja. Bukan hanya bisnis mereka yang hancur, tapi juga kehormatan keluarga Asthon. Media dipenuhi berita miring—fitnah tentang penggelapan, tuduhan manipulasi laporan keuangan, bahkan kabar-kabar tak masuk akal yang membuat nama Asthon tercoreng. Tak ada yang berani lagi bekerja sama. Mitra lama menjauh. Sahabat-sahabat keluarga mereka pun menghindar.
Yang paling membekas bagi Raga adalah wajah ibunya. Wanita itu jatuh sakit karena stres berkepanjangan, melihat keluarganya dihina, ditinggalkan, dan kehilangan segalanya. Ia menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur, tubuhnya melemah karena penyakit yang diperparah oleh beban batin. Adiknya, yang seharusnya bisa melanjutkan kuliah di luar negeri, terpaksa berhenti.
Sementara Raga sendiri, ia yang seharusnya masih fokus belajar di perguruan tinggi, terpaksa terjun langsung ke dunia bisnis, mengambil alih tanggung jawab besar sebelum waktunya. Ia bekerja siang dan malam, jatuh bangun membangun kembali nama Asthon. Luka dan dendam menjadi bahan bakarnya.
Dan semua itu karena satu keluarga—Bagaskara.
Kini, lima belas tahun kemudian, takdir seolah menaruh Grace Bagaskara tepat di hadapannya. Bukan ia yang mencari, tapi wanita itu yang datang sendiri, tanpa sadar membawa kelemahannya. Anak kesayangan keluarga yang ia benci, kini sedang terdesak, putus asa mencari investor, bahkan sampai harus membuka peluang pada orang asing.
Raga tersenyum tipis. Bukan senyum manis seorang pria yang baru bertemu wanita cantik, tapi senyum dingin yang menyimpan niat tersembunyi.
Namun ia bukan orang bodoh. Balas dendam yang baik bukan tentang menolak secara terang-terangan. Tidak, itu terlalu mudah. Jika ia menolak, Grace akan mencari orang lain. Tapi jika ia memberi harapan, membiarkannya percaya, membuatnya merasa seolah ada cahaya di ujung terowongan—lalu menghancurkannya di titik paling rapuh—itu akan jauh lebih menyakitkan.
Ia menegakkan tubuhnya, meletakkan gelas wine di atas meja kayu hitam. Ponselnya masih menyimpan pesan singkat dari Grace. Pertemuan besok di Le Quartier bukan sekadar makan siang bisnis, melainkan langkah pertama dari rencana panjangnya. Rencana untuk menghancurkan keluarga Bagaskara dari dalam, dimulai dari sang putri.
Di kepalanya, ia bisa membayangkan wajah ayahnya yang dulu hancur, ibunya yang terbaring sakit, adiknya yang kehilangan masa depan. Semua itu menuntut balas. Dan kini, Raga Asthon siap menagih hutang lama itu dengan cara paling kejam.
“Waktunya permainan dimulai,” desisnya pelan, matanya menyipit penuh bara.
___
Keesokkan harinya,
Grace memarkir mobilnya perlahan di plataran restoran Le Quartier, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia sempat menatap jam di dashboard—tepat pukul 12, sesuai janji. Tidak ingin terlihat gugup, ia menarik napas panjang, merapikan rambutnya lewat pantulan kaca spion, lalu turun dari mobil dengan langkah yang berusaha ia buat setenang mungkin.
Begitu memasuki area lobi restoran, aroma roti hangat dan kopi pekat menyambutnya, bercampur dengan cahaya lembut dari lampu gantung bergaya klasik. Petugas yang berjaga di depan pintu menyapanya dengan senyum ramah, “Selamat siang, Ibu. Ada reservasi atas nama siapa?”
“Raga Asthon,” jawab Grace singkat, suaranya sedikit bergetar.
Petugas itu mengangguk, lalu mempersilakan Grace masuk. Suasana siang itu relatif tenang, hanya beberapa meja terisi, kebanyakan oleh kalangan eksekutif yang tengah membicarakan bisnis. Denting sendok dan suara obrolan rendah menjadi latar.
Pandangan Grace langsung menemukan sosok yang ia cari. Raga sudah duduk di salah satu meja pojok, dekat jendela besar yang menghadap ke jalan. Posisinya strategis, memberi privasi namun tetap terbuka. Pria itu duduk dengan tegap, jas hitamnya membingkai tubuh atletisnya, dasi gelap terikat sempurna, wajahnya tenang tapi memancarkan aura wibawa yang sulit diabaikan.
Saat tatapan mereka bertemu, Raga tersenyum tipis. Senyum itu seolah ramah, tapi bagi Grace, ada sesuatu yang dalam dan tak terbaca di baliknya. Ia melangkah mendekat, hak sepatunya beradu lembut dengan lantai marmer.
“Selamat siang, Raga,” ucap Grace ketika tiba di hadapannya. Ia berusaha menyembunyikan kegugupan dengan senyum sopan. “Apa kabar?”
Raga berdiri sejenak, menyambutnya dengan jabatan tangan yang hangat tapi mantap. Jemarinya kuat, genggamannya seolah mengunci. “Saya baik, terima kasih. Senang akhirnya kita bisa bertemu kembali,” balasnya, tatapannya menelusuri wajah Grace dengan intensitas yang membuatnya sedikit salah tingkah.
Grace menarik kursi dan duduk di hadapannya. Ia bisa merasakan detak jantungnya masih cepat, tapi ia mencoba menenangkan diri. Pertemuan ini terlalu penting untuk dibiarkan gugup. Masa depan hotel, masa depan ratusan karyawan, bahkan masa depan keluarganya bisa bergantung pada percakapan singkat di meja makan siang ini.
Raga memberi isyarat ke pelayan untuk mendekat, lalu mempersilakan Grace memilih menu terlebih dahulu. Namun bahkan sebelum makanan datang, ada ketegangan samar yang sudah memenuhi udara di antara mereka. Grace penuh harap, sementara Raga matanya berkilat dengan sesuatu yang Grace tidak bisa baca.
Grace meneguk sedikit air putih di hadapannya, berusaha menenangkan diri sebelum memulai. Tatapannya lurus, meski dalam hati ia bergetar.
“Raga, saya ingin langsung saja ke inti. Hotel Bagaskara sedang berada di ambang kehancuran. Kami butuh investor kuat untuk bertahan. Dan saya pikir, dengan pengalaman dan kapasitas Anda. Anda mungkin bisa menjadi partner yang tepat.”
Grace berhenti sejenak, mencoba membaca ekspresi Raga. “Saya tahu ini tidak mudah. Saya tidak menawarkan sesuatu yang ringan. Tapi saya bisa pastikan, hotel ini punya potensi besar untuk bangkit, dengan strategi yang tepat dan dukungan finansial yang solid.”
Raga mendengarkan tanpa menyela, kedua tangannya bertaut di meja, matanya menatap Grace dengan intensitas yang membuat wanita itu sulit berpaling. Senyum samar muncul di wajahnya, bukan senyum ramah, tapi lebih seperti seseorang yang baru saja menemukan peluang menarik.
“Grace,” ucapnya akhirnya, nada suaranya tenang namun penuh tekanan, “saya tertarik dengan tawaranmu.”
Mata Grace berbinar, seolah secercah harapan muncul. Namun kilatan itu segera padam ketika Raga menambahkan, “Tapi ada satu syarat.”
Grace mengerutkan kening. “Syarat?”
Raga condong ke depan, menatapnya lebih dekat. “Kamu harus menikah dengan saya.”
Darah Grace seolah berhenti mengalir. Ia membeku di kursinya, matanya membesar tak percaya. “Menikah?” ucapnya lirih, nyaris tercekat.
Raga mengangguk, ekspresinya tetap dingin dan serius. “Ya. Saya tidak mau mengambil risiko terlalu besar dengan hanya menaruh uang. Uang yang kamu minta bukan jumlah kecil, Grace. Dan bisnis—bisnis itu seperti perjudian. Ada untung, ada rugi. Jika saya hanya datang sebagai investor, saya menanggung risiko sendirian. Tapi kalau kita menikah, posisi saya berbeda. Saya ikut mengelola, ikut mengawasi, dan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, saya bisa langsung turun tangan.”
Grace menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Baginya, kata menikah bukan sekadar syarat bisnis, melainkan belenggu yang tidak pernah ia bayangkan.
Raga menambahkan dengan nada lebih tajam, “Kalaupun bisnis ini rugi, saya masih dapat sesuatu yang lebih berharga. Kamu.”
Udara di antara mereka menegang, nyaris membeku. Grace bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena terkejut, tapi juga karena rasa takut dan kebingungan. Apakah ia baru saja mendengar tawaran investasi, atau sebuah jebakan yang akan mengubah seluruh hidupnya?
Grace menarik napas panjang, menahan detak jantungnya yang berdetak tak menentu. Ia menatap Raga, mencoba menenangkan pikirannya, tapi bayangan-bayangan mengerikan terus muncul di kepalanya. Bagaimana jika pria ini hyper-sex? Bagaimana jika dia kasar, suka memukul, atau temperamental? Bagaimana hidupku jika harus terikat dengan orang yang sama sekali tidak kukenal, yang baru kutemui beberapa jam yang lalu?
Ia menelan ludah, jari-jarinya sedikit gemetar saat memegang gelas di depannya. Pikiran itu membuat dadanya sesak. Sampai usia 30 tahun ini, Grace belum pernah merasa siap melepas masa lajangnya. Ia menikmati kebebasan, kendali atas hidupnya sendiri, dan pekerjaan yang telah ia bangun sendiri.
Dan sekarang, seorang pria—yang kuat, karismatik, tapi misterius—mengajukan syarat yang hampir mustahil diterima akal sehatnya, menikah dengannya. Grace merasa seperti semua yang ia percayai tentang hidupnya tiba-tiba direnggut.
Ia menatap Raga dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar ketika akhirnya berbicara. “Aku… tidak bisa,” katanya pelan tapi tegas. “Kita tidak bisa menikah. Aku tidak siap. Ini terlalu cepat, terlalu berat. Aku tidak mengenalmu. Bagaimana aku bisa, menyerahkan seluruh hidupku kepada seseorang yang baru kukenal hari ini?”
Raga tetap menatapnya dengan intens, wajahnya tidak berubah, tapi ada kilatan tajam di matanya yang menunjukkan bahwa dia bukan pria yang mudah mundur. “Grace,” ucapnya dengan nada tenang tapi menuntut, “ini bukan soal perasaan atau kenal atau tidak. Ini soal risiko dan tanggung jawab. Jika kamu menolak, bukan hanya bisnis yang akan gagal, tapi mungkin juga kesempatan untuk menyelamatkan semua yang kamu bangun.”
Grace menggigit bibir bawahnya, hatinya bergumul. Ia ingin menolak, tapi logika dan naluri ingin bertahan mengingatkan bahwa hotel keluarganya, karyawan yang bergantung padanya, dan reputasi yang harus ia pertahankan, semua bisa hancur jika ia menolak tawaran Raga.
Namun rasa takutnya jauh lebih besar. Bayangan kemungkinan buruk hidup dengan pria yang tidak ia kenal membuat tubuhnya gemetar. “Aku, aku tidak bisa melakukan itu, Raga,” ia menekankan lagi, suara lebih tegas. “Aku butuh investor, bukan pernikahan.”
Raga mencondongkan tubuh ke belakang, matanya masih menatapnya tanpa berkedip, seolah sedang menilai seberapa kuat Grace bisa bertahan di bawah tekanan ini. Ada ketegangan yang tebal di udara antara mereka, bukan hanya soal bisnis, tapi tentang batas-batas pribadi, kendali, dan kepercayaan—atau ketiadaannya.
Grace menelan ludah lagi, menundukkan kepala, merasakan detik-detik itu seperti terhenti. Ia tahu keputusan yang diambil hari ini bisa menentukan arah hidupnya—bukan hanya sebagai pewaris Hotel Bagaskara, tapi sebagai wanita yang harus memilih antara kebebasan dan kelangsungan hidup bisnis keluarganya.
Raga menatap Grace dengan tenang, seolah membaca setiap detik keraguannya. Senyumnya tetap samar, tapi ada aura yang dingin dan menuntut di baliknya.
“Kalau kamu tidak mau,” katanya pelan namun mantap, “tidak apa-apa. Carilah investor lain. Pilihan itu tetap ada untukmu.”
Grace menelan ludah, jantungnya berdetak semakin kencang. Suasana di restoran seakan menyempit, udara terasa lebih berat. “Tapi, ini satu-satunya peluangku,” pikirnya dalam hati. Panik mulai merayap masuk, bayangan hotel yang hampir kolaps, karyawan yang bisa kehilangan pekerjaan, dan seluruh perjuangan keluarganya yang bisa hancur dalam sekejap.
Raga mencondongkan tubuh sedikit ke depan, matanya masih menatapnya intens. “Perlu kamu tahu, Grace, ini memang satu-satunya penawaran yang aku buat. Kalau kamu menolak, aku tidak akan dirugikan apa pun. Dan kamu pun tidak akan dirugikan secara langsung—kamu tetap bisa mencari investor lain, aku tidak akan ikut campur.”
Grace menghela napas panjang, menatap Raga. Kata-katanya seperti pedang yang menembus keputusasaan dan harapannya sekaligus. Ia tahu bahwa tawaran ini bukan sekadar bisnis, tapi juga satu-satunya jalan yang mungkin bisa menyelamatkan Hotel Bagaskara. Namun untuk menerima syarat itu—menikah dengan Raga—hati dan akalnya sama-sama menolak.
Dengan suara sedikit bergetar, Grace berkata, “Aku perlu waktu untuk memikirkannya.”
Raga mengangguk pelan, tetap tenang. “Saya berikan waktu kamu untuk berpikir beberapa hari. Tapi ingat, kesempatan ini tidak akan datang dua kali.”
Grace duduk terdiam beberapa saat, menatap menu yang tidak pernah ia buka, seakan mencoba menemukan jawaban di antara huruf-huruf itu. Hatinya bergulat antara logika dan perasaan, antara tanggung jawab dan ketakutannya sendiri. Ia tahu, keputusan yang akan diambilnya sekarang bisa mengubah bukan hanya masa depan perusahaannya, tapi seluruh hidupnya.
Raga, di sisi lain, tetap duduk dengan sikap tenang, seolah semua ada di kendalinya. Setiap gerakannya terukur, setiap senyumnya tersimpan misteri. Ia tidak menekan Grace secara kasar, tapi hanya dengan kehadirannya, dengan tawaran yang hanya satu-satunya itu, ia sudah memegang kendali atas perasaan dan dilema wanita di depannya.
Grace menarik napas lagi, menundukkan kepala, berusaha menenangkan diri. Kata-kata Raga terus terngiang di kepalanya, membingungkan dan menekan sekaligus. Aku harus menyelamatkan hotel dengan cara menikahi pria ini?
Tangan Grace gemetar sedikit di atas meja, matanya menatap gelas kosong di depannya. Ia tahu, keputusan besok—atau bahkan detik ini—bisa menjadi penentu antara kelangsungan hidup Hotel Bagaskara dan kebebasan hidupnya sendiri.
___
