BAB 4
BAB 4
HAPPY READING
____
Pagi itu, Grace berangkat ke kantor seperti biasa. Jalanan Jakarta masih padat, tapi ia melaluinya dengan pikiran yang jauh lebih sibuk dari biasanya. Ponselnya terus ia genggam, seolah takut melewatkan sesuatu. Pertemuan dengan Raga besok membuat dadanya berdebar sejak fajar.
Begitu sampai di Hotel Bagaskara, Grace langsung menuju ruang meeting utama. Beberapa pejabat hotel sudah berkumpul, wajah mereka tegang dan serius. Tumpukan laporan keuangan, grafik menurun, dan proposal strategi baru berjejer di atas meja panjang. Suasana ruangan itu terasa berat—seperti beban masalah yang semakin menekan semua orang.
Grace duduk di kursinya, menatap satu per satu wajah timnya. “Baik, kita mulai,” ucapnya dengan suara tegas, meski hatinya penuh kecemasan.
Meeting dimulai dengan laporan kondisi terakhir. Bagian keuangan menjelaskan angka kerugian, bagian operasional menyampaikan penurunan okupansi kamar, bagian HR mengingatkan ancaman pemutusan hubungan kerja jika kondisi tak kunjung membaik.
Setelah semua selesai, Grace menarik napas panjang, lalu bersandar ke kursi. “Saya tahu semua orang di sini sudah bekerja keras. Kita semua sadar, situasi ini tidak mudah. Tapi saya ingin memberi kabar—ada kemungkinan kita akan mendapat investor baru.”
Ruangan seketika hening. Semua mata tertuju padanya.
“Namun,” lanjut Grace, “ini masih tahap awal. Besok saya akan bertemu langsung dengan calon investor tersebut. Tidak ada jaminan apa pun, tapi saya ingin kalian semua tahu bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga agar kita punya kesempatan untuk menyelamatkan hotel ini.”
Salah satu manajer bertanya hati-hati, “Bu Grace, siapa investornya? Apakah benar-benar bisa dipercaya?”
Grace terdiam sejenak. Ia tidak menyebutkan nama Raga Asthon. Ia hanya menggeleng pelan dan berkata, “Saya tidak bisa menjelaskan detailnya sekarang. Yang pasti, orang ini punya kapasitas. Dan kalau berjalan sesuai rencana, kita bisa mendapatkan suntikan modal yang kita butuhkan.”
Para pejabat saling berpandangan. Ada yang tampak lega, ada yang masih ragu, tapi semua jelas menyimpan harapan baru.
Grace menatap mereka dengan tekad. “Saya minta semua tetap fokus. Jangan lepaskan standar pelayanan. Jangan biarkan karyawan kehilangan semangat. Kalau pertemuan ini berhasil, kita punya kesempatan. Tapi kalau gagal, ya, kita harus siap dengan kemungkinan terburuk.”
Suasana kembali hening. Semua menyadari betapa tipisnya batas antara keberhasilan dan kehancuran yang kini mereka hadapi.
Grace menutup meeting itu dengan senyum tipis, meski dalam hatinya bergemuruh. Ia tahu, masa depan seluruh hotel—dan ratusan karyawan yang bekerja di dalamnya—bisa berubah hanya dengan satu percakapan makan siang besok bersama Raga Asthon.
___
Sore itu setelah pulang kerja, Grace tidak langsung kembali ke rumah. Ia menerima ajakan Luna, sahabatnya sejak kuliah, untuk bertemu di sebuah coffee shop kecil yang selalu mereka kunjungi setiap kali ingin berbagi cerita. Lokasinya tidak terlalu ramai, dengan aroma kopi yang khas memenuhi ruangan dan alunan musik jazz lembut di latar belakang.
Grace sudah duduk di dekat jendela ketika Luna datang dengan langkah cepat, membawa senyum hangat yang selalu membuat suasana terasa lebih ringan.
“Grace!” sapa Luna riang, lalu memeluk sahabatnya singkat sebelum duduk berhadapan. “Kamu kelihatan capek banget. Berat, ya?”
Grace tersenyum samar, mencoba menutupi lelah yang jelas tergambar di wajahnya. “Capek, iya. Tapi hari ini, aku punya kabar baik.”
Luna mencondongkan tubuh ke depan, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Kabar apa? Jangan bilang kamu akhirnya dapat investor?”
Grace menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Belum pasti, tapi besok aku ada janji makan siang dengan calon investor. Kalau semua berjalan lancar, mungkin hotel keluarga aku bisa terselamatkan.”
Luna langsung menggenggam tangan Grace di atas meja. “Oh my God, itu kabar bagus! Siapa? Siapa orang baik hati yang mau jadi penyelamat kamu ini?” tanyanya antusias.
Grace terdiam sebentar, lalu menurunkan suaranya, seolah membisikkan sesuatu yang sangat rahasia. “Namanya, Raga Asthon. Aku ketemu dia kemarin di Asian Economic Forum.”
Mata Luna membesar. “Raga Asthon? Kamu serius? Aku pernah dengar namanya. Dia kan salah satu pengusaha besar yang kiprahnya banyak di industri berat dan properti. Orang-orang bilang dia misterius, jarang tampil di media, tapi kalau sudah melangkah, semua orang pasti perhitungkan.”
Grace mengangguk pelan, menyesap kopinya. “Iya. Aku bahkan nggak nyangka bisa ketemu dia secara langsung kemarin. Apalagi sampai dia kasih kartu namanya ke aku. Rasanya, seperti semesta sengaja mempertemukan kami. Tapi tetap saja, aku belum tahu dia beneran mau atau tidak. Aku cuma bisa berharap.”
Luna menatapnya penuh perhatian, lalu tersenyum lembut. “Grace, dengar aku ya. Kamu udah sejauh ini bertahan, jangan berhenti sekarang. Kalau memang takdir kamu dipertemukan sama Raga Asthon, mungkin ada alasan besar di baliknya. Yang penting, besok kamu harus tampil penuh percaya diri. Jangan cuma kelihatan butuh, tapi tunjukkan kalau bisnis kamu layak diperjuangkan.”
Grace terdiam, hatinya sedikit hangat oleh semangat sahabatnya itu. Ia mengangguk mantap. “Iya, kamu benar. Aku harus kasih yang terbaik. Besok bukan cuma soal menyelamatkan hotel, tapi juga soal masa depan semua orang yang bekerja di sana.”
Luna tersenyum lebar. “Good. Aku tahu kamu bisa.”
Grace terkekeh kecil, tapi pipinya terasa hangat. Entah karena ucapan Luna, atau karena bayangan pria bernama Raga Asthon yang terus menari di kepalanya.
___
Malam itu, rumah Grace terasa lebih hening dari biasanya. Lampu meja kerja menyala lembut, menerangi tumpukan dokumen yang sudah ia siapkan sejak sore. Di atas meja, ada laporan keuangan, proposal investasi, serta proyeksi bisnis Hotel Bagaskara untuk lima tahun ke depan. Semua tertata rapi, tapi di balik kerapian itu, hati Grace berdebar lebih kencang dari biasanya.
Ia berdiri di depan lemari pakaiannya, membuka satu per satu hanger. Jarinya menyusuri deretan gaun formal, blus elegan, hingga blazer yang biasa ia kenakan untuk meeting. Malam ini, pemilihan pakaian terasa seperti keputusan hidup-mati. Harus formal atau semi-formal? Terlalu kaku bisa membuat suasana dingin, terlalu santai bisa dianggap tidak serius.
Setelah beberapa kali bolak-balik, Grace akhirnya menggantungkan tiga pilihan utama di depan cermin: sebuah gaun sheath navy biru gelap, blazer putih dengan inner satin hitam, dan dress sederhana warna pastel yang elegan. Ia berdiri lama, menatap bayangannya sendiri. Aku harus terlihat profesional, tapi juga approachable. Bukan wanita yang putus asa, tapi wanita yang tahu apa yang dia bawa ke meja makan besok.
Sambil menatap cermin, ia mulai berlatih bicara. Tangan kanannya memegang secarik kertas berisi catatan singkat—poin-poin penting yang akan ia sampaikan.
Detik demi detik berlalu, dan perlahan rasa gugup berubah menjadi tekad. Ia tahu Raga bukan tipe orang yang mudah diyakinkan hanya dengan kata-kata manis. Ia harus bisa menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar putri manja yang mewarisi hotel, tapi pemimpin yang berani berdiri di garis depan saat badai datang.
Setelah hampir satu jam berlatih, Grace akhirnya menaruh catatan itu di meja, lalu berjalan ke dapur untuk menuang segelas air putih. Ia meneguknya pelan, menatap lampu kota Jakarta dari jendela apartemennya. Bayangan tentang esok siang membuat perutnya terasa dipenuhi kupu-kupu.
Sebelum tidur, ia kembali melirik gaun navy yang tergantung di depan cermin. Ia mengangguk kecil. Ini. Ini pilihan terbaik. Elegan, berwibawa, tapi tetap menampilkan sisi lembutnya.
Grace berbaring di ranjang, menarik selimut, tapi matanya tetap terbuka menatap langit-langit. Ia tahu, besok bukan hanya tentang bisnis. Besok adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—pertemuan dengan pria misterius bernama Raga Asthon, yang entah akan menjadi penyelamat… atau belenggu baru dalam hidupnya.
___
Keesokan harinya, udara Jakarta terasa lebih padat dari biasanya. Jam menunjukkan pukul sebelas siang ketika Grace melangkah keluar dari kantornya, membawa tas kulit hitam yang di dalamnya sudah tertata rapi proposal dan laporan keuangan perusahaan. Blazernya terpasang sempurna, wajahnya dihiasi riasan tipis namun tegas, menampilkan sosok pemimpin yang percaya diri meski di dalam dadanya ada rasa gugup yang bergemuruh.
Begitu masuk ke dalam mobil, Grace duduk sejenak tanpa menyalakan mesin. Tangannya menggenggam kemudi erat-erat, lalu ia menarik napas panjang, menutup mata sebentar. “Tolong, kali ini berhasil,” bisiknya pada diri sendiri, hampir seperti doa.
Sepanjang perjalanan menuju Le Quartier, pikirannya penuh dengan bayangan kemungkinan. Bagaimana kalau Raga menolak mentah-mentah? Bagaimana kalau ia menilai aku hanya pewaris manja yang tak becus? Bagaimana kalau dia tidak datang? Setiap pertanyaan itu membuat jantungnya berdetak lebih kencang, tapi ia buru-buru mengusirnya.
Ia melirik proposal di kursi penumpang. Di sana tertera angka-angka yang sudah dipoles sebaik mungkin, proyeksi bisnis yang menjanjikan, serta rencana restrukturisasi hotel. Semua itu bukan hanya dokumen bisnis, melainkan harapan terakhirnya.
Mobil melaju di jalan protokol yang ramai, klakson bersahut-sahutan, tapi Grace seolah berada di dunianya sendiri. Dari balik kaca, gedung-gedung tinggi menjulang seakan mengingatkannya pada posisi yang ia pertaruhkan. Jika Raga menolak, ia tahu masa depan hotel Bagaskara bisa runtuh lebih cepat dari yang ia bayangkan.
Saat lampu merah, Grace kembali menatap cermin spion, memperhatikan wajahnya sendiri. Senyum tipis ia coba paksakan. “Kamu harus kuat, Grace,” gumamnya pelan. “Raga Asthon bukan dewa. Dia hanya manusia. Yakinkan dia. Buat dia percaya.”
Ketika akhirnya mobilnya berbelok ke kawasan Senopati, mendekati restoran Le Quartier yang terkenal elegan, perutnya terasa mulas. Ia menarik napas panjang sekali lagi, merasakan jari-jarinya sedikit gemetar di atas kemudi.
Saat pelayan valet membukakan pintu mobilnya, Grace melangkah keluar dengan penuh wibawa. Dari luar, ia tampak seperti wanita mapan dan percaya diri, tidak ada yang tahu bahwa di balik tatapan tegarnya ada badai keraguan yang sedang ia lawan habis-habisan.
Dan di dalam restoran itu, Raga Asthon sedang menunggunya—pria yang bisa menjadi jawaban atas doanya, atau ujian terberat dalam hidupnya.
___
