
Ringkasan
Grace terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan. Setiap malam, ia harus berbagi ranjang dengan Raga Asthon—suami yang seharusnya menjadi pelindung, tapi justru menjadi belenggu yang mengikatnya dalam luka dan ketakutan. Namun, perlahan, sesuatu yang tak terduga muncul: di balik tatapan dingin dan amarahnya, Grace menemukan sisi lain yang membuat hatinya goyah. Bagi Raga, Grace hanyalah alat balas dendam. Keluarga Bagaskara telah merenggut segalanya darinya, dan menikahi putri tunggal mereka adalah cara paling kejam untuk membalas. Ia ingin melihat keluarga itu runtuh, hancur, tak bersisa. Tapi semakin dalam ia menenggelamkan Grace dalam dendamnya, semakin kuat pula perasaan asing yang tumbuh. Cinta. Sesuatu yang tak pernah ada dalam rencana. Kini, yang menjadi pertanyaan bukan hanya apakah Grace mampu bertahan di sisi pria yang menghancurkan dunianya, tapi juga—beranikah Raga melepaskan kendali atas dendamnya demi wanita yang seharusnya ia benci?
BAB 1
BAB 1
HAPPY READING
___
Grace Bagaskara berdiri di depan lemari pakaian besar di kamarnya, matanya menatap gaun malam hitam yang tergantung rapi. Kainnya jatuh sempurna, memantulkan cahaya lampu kamar yang hangat, seolah memanggilnya untuk mengenakannya. Tapi malam ini, gaun itu bukan sekadar simbol keanggunan, ia adalah baju perang. Malam ini, Grace akan memasuki medan tempur yang jauh lebih menegangkan daripada pesta atau gala biasa—Asia Economic Forum di Hotel Mulia.
Hotel keluarga yang sedang dia jalani saat ini sedang berada di ambang kehancuran. Laporan keuangan terakhir memperlihatkan angka yang mencekam, utang menumpuk, dan peluang bisnis yang tersisa semakin sempit. Tanpa investor baru, PHK massal akan terjadi. Para staf—yang selama ini setia, bekerja keras, dan mengandalkan gaji dari keluarga Bagaskara—berisiko kehilangan pekerjaan. Grace sudah membahas kemungkinan pahit ini dengan manajemen hotel sebelumnya, probabilitas harus memutus hubungan kerja mencapai 70% jika kondisi bisnis tidak kunjung membaik. Pikiran itu menekan dada Grace, membuat setiap napas terasa berat.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Setiap detail persiapannya malam ini harus sempurna. Rambutnya diatur dengan rapi, riasan wajahnya menonjolkan kecantikan alami tanpa terlihat berlebihan. Sepasang sepatu hak tinggi di lantai, siap menambah tinggi dan aura percaya dirinya. Clutch berwarna senada, berisi dokumen penting dan kartu nama, siap ia bawa.
Grace tahu, malam ini bukan sekadar soal penampilan. Ini soal membuka peluang investasi, menyelamatkan bisnis yang diwariskan keluarganya, dan menjaga reputasi keluarga Bagaskara agar tetap bersinar. Jaringan profesional dan personalnya menjadi senjata utama. Kolega lama, teman-teman penting, bahkan relasi yang selama ini hanya sekadar kenalan bisa menjadi pintu masuk untuk mendapatkan investor potensial. Ia harus memanfaatkan semua koneksi, mengatur strategi, dan membaca situasi dengan tepat.
Ia duduk sejenak di tepi tempat tidur, menatap sekeliling kamar yang dipenuhi kenangan masa kecilnya—foto keluarga, penghargaan, dan surat-surat penting bisnis. Semua itu mengingatkannya bahwa tanggung jawab ini bukan sekadar kewajiban, tapi misi pribadi. Jika gagal, bukan hanya bisnis yang runtuh, tetapi impian, reputasi, dan harapan orang-orang yang bergantung padanya ikut hancur.
Grace bangkit, mengenakan gaunnya dengan gerakan yang tenang namun pasti. Ia menatap pantulan dirinya di cermin satu kali lagi. Mata yang menatap kembali padanya kini bukan hanya cantik, tapi tegas. Di balik wajah anggun itu, tersimpan tekad baja—tekad untuk berjuang, untuk mencari investor, untuk menyelamatkan hotel dan restoran keluarganya, sekalipun itu berarti harus menghadapi malam penuh tekanan dan risiko tinggi.
Dengan clutch di tangan dan langkah mantap, Grace membuka pintu kamarnya. Lampu-lampu hotel menyambutnya, dan suara gemuruh persiapan acara memenuhi lorong. Malam ini, setiap langkah, setiap senyuman, dan setiap kata yang ia ucapkan bisa menjadi penentu nasib keluarga Bagaskara. Grace tahu ia harus sempurna, karena kegagalan bukanlah pilihan.
___
Grace masuk ke dalam mobilnya, tubuhnya sedikit lelah namun pikirannya terasa lebih berat. Ia menarik napas panjang, menutup mata sejenak, dan memanjatkan doa dalam hati, semoga malam ini, langkahnya ke Asian Economic Forum membawa hasil. Semoga ia menemukan investor yang bersedia menanamkan modal, menyelamatkan hotel dan restoran keluarganya yang nyaris kolaps.
Ia menyalakan mesin mobil, suara deru lembut kendaraan memenuhi kabin, tapi tidak mampu menenangkan kegelisahan yang berputar di kepalanya. Perlahan, ia meninggalkan area rumah, melewati jalan-jalan yang biasa ia lewati, namun malam ini terasa asing—setiap lampu jalan, setiap bayangan di trotoar seolah mengingatkannya akan tanggung jawab yang menumpuk.
Sepanjang perjalanan, Grace melamun. Ia membayangkan Hotel Bagaskara, warisan yang dibangun oleh kedua orang tuanya bertahun-tahun, kini berada di ambang kehancuran. Dalam pikirannya, ia memutar berbagai scenario, bagaimana jika investor menolak? Bagaimana jika ia gagal menyelamatkan bisnis? Hutang yang menumpuk akan menelan aset keluarga satu per satu. Gedung, tanah, bahkan nama besar Bagaskara bisa luntur jika ia gagal.
Setiap kilometer yang ia lalui di jalan raya, rasa takut dan tekanan semakin terasa nyata. Hatinya bergetar saat membayangkan karyawan yang setia, yang selama ini mengandalkan gaji mereka untuk kehidupan sehari-hari, harus kehilangan pekerjaan. Grace tahu, bukan hanya bisnis yang dipertaruhkan, tapi nasib banyak orang yang bergantung padanya.
Ia menekankan kedua tangan di setir, menutup matanya sejenak lagi, mencoba menenangkan diri. “Aku harus berhasil,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru mobil.
Langit malam di atasnya tampak tenang, kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam pikirannya. Setiap detik yang berlalu membawanya lebih dekat ke ballroom Hotel Mulia, ke tempat di mana nasib Hotel Bagaskara dan masa depan banyak orang akan diuji. Grace menelan ludah, menarik napas panjang terakhir sebelum menyalakan kembali fokusnya, bersiap menghadapi malam yang penuh tekanan, negosiasi, dan kemungkinan hidup atau matinya bisnis keluarganya.
___
Akhirnya, Grace tiba di Hotel Mulia. Ia turun dari mobil dengan langkah mantap, clutch di tangan, dan gaun malam hitam yang menempel sempurna di tubuhnya. Begitu memasuki lobby hotel, suasana mewah langsung menyambutnya—lampu kristal yang memantulkan cahaya keemasan, lantai marmer yang berkilau, dan aroma parfum mahal yang menyelimuti setiap sudut ruangan.
Grace berjalan pelan, menyesuaikan langkahnya dengan keramaian tamu yang hadir. Para pejabat, pengusaha, dan tokoh-tokoh penting tampak sibuk berbincang, berjabat tangan, atau menyesuaikan tempat duduk mereka. Beberapa dari mereka ia kenal dengan baik, ada yang memiliki bisnis besar seperti jaringan restoran dan hotel, ada yang menguasai bisnis gurita yang menjangkau berbagai sektor, dan ada pula pengusaha muda yang baru merintis tetapi potensinya terlihat menjanjikan.
Namun, beberapa wajah asing membuatnya tetap waspada. Pemain baru ini mungkin bisa menjadi peluang, atau justru ancaman terselubung. Grace memutuskan untuk tetap tenang, menempatkan dirinya di satu kursi di sudut ballroom yang strategis. Dari sini, ia bisa mengamati satu per satu orang yang datang, mempelajari gerak-gerik, bahasa tubuh, dan cara mereka berinteraksi.
Dengan secangkir air putih di tangan, Grace duduk sambil mengatur napasnya. Ia menikmati acara dengan penuh kewaspadaan, membiarkan pikirannya menghitung peluang, menilai siapa yang bisa diajak kerja sama, dan siapa yang harus dijaga jarak. Setiap senyuman, setiap salam tangan, bahkan setiap sapaan ringan bisa menjadi kunci untuk membuka pintu investasi yang ia butuhkan.
Mata Grace bergerak gesit, memindai setiap wajah yang datang duduk di sampingnya. Ia mencatat hal-hal kecil, siapa yang tampak percaya diri, siapa yang tampak ragu, siapa yang memiliki aura pengaruh besar. Semua informasi ini akan berguna. Malam ini, ia bukan sekadar pewaris keluarga Bagaskara—ia adalah negosiator, pengamat, dan pejuang yang harus memastikan bisnis keluarganya tetap bertahan.
Grace meneguk air putihnya, menenangkan jantung yang berdetak cepat, dan mengalihkan perhatian pada seorang pengusaha yang baru saja duduk di sebelahnya. Malam ini, setiap interaksi bisa menjadi penentu nasib Hotel Bagaskara. Ia tahu, tidak ada ruang untuk kesalahan.
Tiba-tiba, sebuah suara laki-laki memecah konsentrasi Grace.
"Hai, selamat malam. Di sini kosong?"
Grace mendongakkan wajahnya dan menatap seorang pria yang berdiri di samping kursinya. Tubuhnya proporsional, tegap namun elegan, jas hitam yang ia kenakan menempel sempurna di pundak lebar dan pinggang rampingnya. Kemeja putih yang rapi menambah kesan profesional dan terkontrol. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, menonjolkan garis wajah yang tegas dan maskulin. Grace bisa mencium aroma maskulin lembut yang menguar dari dirinya, aroma yang secara aneh membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Mereka saling menatap beberapa detik. Ada ketegangan halus di udara, seperti medan magnet yang menahan keduanya, rasa penasaran dan perhitungan pertama yang sulit dijelaskan. Grace menelan napas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba terasa cepat. Ia menyesuaikan posisi tubuh, menata gaunnya, dan perlahan tersenyum tipis.
"Silakan duduk," katanya, suaranya tenang namun terdengar pasti.
Pria itu menatapnya sejenak lagi, matanya tajam namun hangat, seolah menilai setiap gerak kecilnya, setiap detail wajah yang ia bisa amati dari jarak dekat. Perlahan, ia duduk, posisi tubuhnya tetap tegap namun santai. Aura percaya diri yang memancar dari dirinya membuat Grace sedikit waspada—bukan karena takut, tapi karena ia menyadari bahwa pria ini bukan orang biasa.
"Aku Raga," ucapnya dengan nada yang membuat Grace sulit menafsirkan apakah ia bersahabat atau menantang. "Kalau kamu?" Ia mengulurkan tangan dengan sikap percaya diri yang elegan, gerakannya halus namun penuh kesan dominan.
Grace menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya dan menampilkan senyum profesional. "Saya Grace Bagaskara," jawabnya, suaranya lembut namun jelas.
Alis Raga terangkat sedikit, ekspresinya berubah menjadi lebih serius, matanya meneliti Grace dengan intensitas yang tajam. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Grace merasakan getaran aneh di tulang punggungnya—campuran penasaran, perhatian, dan sedikit ketegangan yang tidak bisa ia jelaskan. Wajah Grace yang cantik, bibir yang lembut, dan tatapan penuh kewaspadaan menarik perhatian Raga lebih dari sekadar penampilan. Aroma bunga lily yang lembut dari tubuh Grace menambah pesona yang sulit ia abaikan.
Grace menyambut uluran tangannya dengan sopan, dan mereka bersalaman. Kontak fisik itu singkat, namun ada sensasi halus yang mengalir dari genggaman tangan mereka—kehangatan, kekuatan, dan energi yang sulit dijelaskan. Raga melepaskan tangannya perlahan, namun tatapannya tetap menempel pada Grace. Ada rasa penasaran di matanya, seolah pertemuan ini bukan sekadar kebetulan, tapi awal dari sesuatu yang akan mempengaruhi keduanya.
Grace menahan diri untuk tidak tersipu, menyesuaikan napasnya, dan mengalihkan pandangan ke ballroom yang ramai. Namun rasa penasaran itu tetap ada—tentang siapa pria ini, dan mengapa kehadirannya membuat udara di sekitarnya terasa berbeda, hampir menegangkan. Ia menyadari satu hal pria ini bukan sekadar tamu biasa. Ada kekuatan dan dominasi yang alami terpancar darinya, sesuatu yang membuat Grace merasa waspada sekaligus penasaran.
Di sekeliling mereka, tamu lain berbincang, berjabat tangan, dan tertawa ringan, tetapi dunia Grace seolah menyempit menjadi sosok pria di sampingnya. Setiap gerakannya, setiap senyuman tipisnya, bahkan cara ia menatap Grace membuat jantungnya berdebar. Grace menelan ludah, menyadari bahwa malam ini, ia tidak hanya harus fokus pada investor dan peluang bisnis, tetapi juga harus menghadapi magnet misterius yang duduk tepat di sampingnya.
Tatapan Raga yang sejak tadi penuh rasa ingin tahu, kini berubah tajam. Nama itu—Bagaskara—menggema kuat di kepalanya begitu Grace menyebutkannya. Sesaat, ia terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tangannya yang baru saja melepas genggaman terasa masih hangat, tapi pikirannya mendadak dingin, penuh kilatan masa lalu.
Grace Bagaskara.
Anak satu-satunya dari keluarga yang selama ini menjadi sumber luka dan dendamnya. Raga tidak pernah menyangka, di tengah keramaian forum bergengsi ini, targetnya justru duduk di sampingnya, tanpa perlu ia cari, tanpa perlu ia susun strategi rumit untuk bertemu. Dunia seolah sengaja mempertemukan mereka lebih cepat daripada rencana yang ada di kepalanya.
Ingatan masa lalu berkelebat cepat. Sepuluh tahun lalu, keluarganya kehilangan segalanya. Warisan yang seharusnya menjadi pegangan hidup direnggut begitu saja. Bisnis keluarga yang telah dibangun turun-temurun dihancurkan, dipermainkan oleh manipulasi dan keserakahan keluarga Bagaskara. Malam-malam penuh tangisan ibunya, tatapan kosong ayahnya yang kehilangan harga diri, bahkan perpecahan yang perlahan menggerogoti keluarganya—semuanya kembali jelas di benaknya.
Kehormatan keluarganya lenyap, masa depan mereka hancur, dan yang tersisa hanya dendam. Dendam yang ia pelihara dalam diam, tumbuh bersama dirinya, membentuknya menjadi pria yang kini duduk tegap dengan jas hitam di sebuah ballroom mewah.
Dan kini, putri keluarga itu—perempuan rupawan dengan aroma lily lembut, senyum anggun, dan sorot mata penuh percaya diri—duduk hanya beberapa sentimeter darinya. Sama sekali tidak menyadari bahwa pria di sampingnya bukan sekadar kenalan baru, melainkan seseorang yang datang membawa bara dendam masa lalu.
Raga menahan senyum samar di sudut bibirnya. Bagi orang lain, senyum itu mungkin terlihat ramah, tapi di dalam hatinya, senyum itu penuh ironi. Ia sadar, permainan ini baru saja dimulai. Dan kali ini, bidaknya sudah datang sendiri ke papan permainan.
___
