Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

BAB 6

HAPPY READING

___

Grace sampai di rumahnya, melempar tas ke sudut ruangan, lalu tanpa melepas sepatu langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang. PikiranNYA kacau berputar di kepalanya seperti badai yang tak bisa ia kendalikan. Menikah? Yang benar saja? gumamnya dalam hati.

Ia menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan napasnya yang masih cepat. Menikah—kata itu tiba-tiba terasa seperti belenggu yang menakutkan. Wanita seperti dirinya, yang terbiasa mandiri, mengatur hidup sendiri, mengurus semua hal tanpa bergantung pada siapa pun, bagaimana bisa membayangkan menyerahkan seluruh kebebasan itu kepada orang lain?

Ya, kalau dapat laki-laki yang benar, mungkin masih bisa dipertimbangkan. Tapi kalau tidak? bayangan masa depan yang penuh kekangan, terikat oleh aturan, tunduk, patuh, taat, muncul begitu saja. Grace merasa malas untuk menikah, bukan karena tidak mau dicintai, tapi karena takut kehilangan dirinya sendiri.

Grace menghela napas panjang, tangannya mengusap wajahnya. Dia wanita 33 tahun, tidak pernah pacaran, tidak pernah aneh-aneh. Dia bisa menyukai laki-laki, bahkan mencintai, tapi dia tidak jelek—fisik dirinya proporsional, kulit kuning langsat, tinggi 164 cm, berat seimbang. Pendidikan baik, pekerjaan mapan, prestasi lumayan, dia bukan wanita culun yang mengurung diri.

Lalu pertanyaan itu muncul, Kenapa dia malas menikah? Grace tersenyum pahit sendiri. Jawaban itu jelas—inner child yang terbawa hingga dewasa. Trauma masa kecil, kenangan yang membekas, membuatnya takut membuka hati sepenuhnya, takut menyerahkan hidup pada orang lain.

Grace menutup mata, mengingat masa lalunya. Ia anak terakhir dari dua bersaudara, memiliki seorang kakak laki-laki. Ia sangat dekat dengan almarhum ibunya. Saat kelas tiga SMA, ibunya terkena stroke. Grace yang masih remaja, kuliah di Jakarta sambil merawat mama, menyaksikan hari demi hari perjuangan pemulihan sang mama.

Sementara itu, kakaknya membuat hidup keluarga semakin rumit. Ia menghamili pacarnya, menikah muda, dan setiap hari pertengkaran mereka menjadi beban tambahan bagi mama. Hubungan Grace dengan kakaknya pun tidak harmonis, kata-katanya kasar, sikapnya egois, dan tidak pernah menjadi sosok kakak yang mengayomi.

Dan ayahnya? Ia bukan sosok yang Grace bisa andalkan. Ayahnya sombong, keras kepala, bahkan melarang ibunya dibawa ke rumah sakit, percaya bahwa dirinya bisa menyembuhkan mama. Hati Grace hancur melihat ketidakberdayaan ibunya dan ketidakpedulian ayahnya.

Selama empat tahun, ibunya berjuang melawan stroke, hingga akhirnya menyerah pada kehidupan yang baru—pergi meninggalkan dunia ini. Empat puluh hari setelah kepergian ibunya, ayahnya meminta izin menikah lagi—dan yang membuatnya semakin sakit hati, ia menikahi guru TK Grace sendiri. Kakaknya pun bercerai dengan istrinya, menambah ironi dan kepedihan masa lalu Grace.

Semua kenangan itu berkumpul di benaknya malam itu. Tidak heran ia merasa takut membuka diri untuk pernikahan, takut menyerahkan hidupnya kepada seseorang yang belum ia kenal, takut luka lama terulang, takut kehilangan kendali atas hidupnya.

Setelah sekitar seratus hari almarhum mama pergi, papa resmi menikah lagi. Tapi kehidupan pernikahan itu jauh dari mulus. Setiap hari hanya diisi pertengkaran, kemarahan, dan stres yang menumpuk. Pernikahan itu bertahan hanya satu hingga dua tahun sebelum akhirnya berakhir cerai. Tak lama setelah itu, papa menikah lagi—kali ini dengan teman dekat mantan istrinya, yang dulu adalah guru TK dirinya sendiri.

Perusahaan keluarga kala itu sudah hancur berantakan. Hanya satu-satunya hotel milik keluarga yang tersisa, yang masih bisa ia kendalikan. Sedihnya, sejak kecil dirinya tidak pernah benar-benar menerima nafkah dari papa. Sebagian besar biaya hidup dan pendidikan dirinya ditanggung mama. Bahkan saat kuliah sempat terbengkalai, tanggung jawab rumah tangga seperti membayar listrik dan air tetap dibebankan pada dirinya, sementara kakak memilih tinggal di luar negeri justru tidak ikut terlibat.

Kakak dirinya trauma melihat perpisahan orang tua, memilih hidup di luar negeri, bekerja serabutan, dan enggan kembali. Sementara dirinya meski masih muda dan pekerjaan belum mapan, tetap menanggung banyak beban keluarga. Setiap kali dia menolak memberi uang kepada papa, sumpah serapah keluar dari mulutnya—disebut anak durhaka, diolok-olok, bahkan dipertanyakan asal-usulnya. Anehnya, kakak dirinya tidak pernah dipaksa, seolah perlakuannya berbeda.

Papa tinggal bersama istrinya, sementara dirinya menetap di rumah peninggalan mama. Kakaknya yang keras tapi tetap peduli, sering menyarankan agar saya pindah ke Australia, namun dirinya menolak, karena tanggung jawab terhadap perusahaan dan warisan mama membuat dirinya tetap bertahan.

Suatu hari, Grace menemukan buku diary almarhum mama. Di halaman-halamannya, dia membaca kebenaran pahit papa ternyata sering berselingkuh, bahkan di masa kecilnya, papa pernah melakukan KDRT terhadap mama. Luka itu membekas begitu dalam.

Puncaknya, suatu pagi, tetangga mengetuk rumahnya. Dia mengabarkan bahwa papa memiliki hutang kepadanya dan tidak pernah membayarnya. Bahkan yang lebih mengejutkan, jaminan hutangnya adalah sertifikat rumah yang dia tempati, atas nama almarhum mama. Sejak saat itu, tekadnya semakin kuat untuk melindungi rumah dan warisan mama. Dugaan dirinya, uang itu kemungkinan digunakan untuk judi—karena papa memang gemar berjudi, sementara istrinya tidak tahu apa-apa. Hal itu membuat rasa hormat dia terhadap papa semakin hilang. Kakaknya pun, yang tidak mengetahui detailnya, memilih untuk tidak ikut campur urusan utang piutang.

Papa adalah contoh orang dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD). Ia selalu ingin benar, ingin dihargai, manipulatif, dan ketika keinginannya tidak terpenuhi, sumpah serapahnya meluncur tanpa ampun. Dia tega mencemooh dia di depan tetangga, mengatakan saya anak durhaka, anak yang tidak laku, bahkan mempertanyakan dia anak siapa karena keberanian dia menolak keinginannya.

Selain itu, papa tidak pernah peduli dengan ibadah, sementara saya berusaha memperbaiki diri dalam hal itu. Bahkan ketika dia sholat atau melakukan kebaikan, papa mengejek, mengatakan bahwa semua itu percuma karena tingkah laku dia tidak sesuai dengan harapan mereka.

Dari semua pengalaman itu, dia belajar satu hal dia harus mandiri. Tidak ada yang bisa dia harapkan dari papa, tidak ada yang bisa dia andalkan kecuali diri sendiri. Semua luka, pengkhianatan, dan ketidakadilan itu menjadi motivasi bagi dirinya untuk bertahan, membangun hidupnya sendiri, dan menjaga warisan mama. Hotel ini bukan sekadar aset—ia adalah simbol perjuangan mama, tanggung jawabnya, dan bukti bahwa dia mampu berdiri di tengah kehancuran dan tetap bertahan.

Grace menarik selimut lebih rapat, menutup mata, tapi pikirannya tetap riuh. Tawaran Raga Asthon—menikah untuk investasi—bukan sekadar pilihan finansial. Itu adalah tantangan emosional yang bisa menghancurkan batas-batas aman yang selama ini ia bangun untuk melindungi diri. Ia merasa terjebak antara kebutuhan menyelamatkan hotel dan rasa takut kehilangan dirinya sendiri.

Di ranjang itu, di tengah keheningan apartemennya, Grace merasakan beratnya keputusan yang harus ia ambil besok. Hatinya bimbang, tetapi satu hal jelas: ia tidak bisa gegabah. Ia butuh waktu, strategi, dan keberanian untuk menghadapi Raga dan kemungkinan hidup yang sama sekali berbeda dari yang ia bayangkan.

___

Keesokan harinya, Grace terbangun dengan tubuh yang terasa lelah. Pikiran yang terlalu berat semalam membuatnya hampir tidak bisa tidur nyenyak. Ia menatap langit-langit kamar sejenak, mencoba menenangkan diri, sebelum akhirnya bangkit dari ranjang.

Ia melangkah ke dapur, membuat secangkir kopi hangat, lalu membawa cangkir itu ke taman belakang rumahnya. Matahari pagi baru mulai menembus celah-celah daun, menciptakan cahaya lembut yang menari di atas rerumputan. Udara pagi yang segar, aroma tanah basah dan bunga-bunga kecil yang tumbuh di pot, memberi ketenangan sementara bagi pikirannya yang kacau.

Grace duduk di bangku kayu, menyesap kopi perlahan, membiarkan rasa hangat itu mengalir ke seluruh tubuhnya. Tapi ketenangan itu hanya sementara. Pikiran tentang hotel—satu-satunya perusahaan yang ia miliki—membanjiri kepalanya lagi. Ia membayangkan kemungkinan terburuk, jika investor menolak, jika ia gagal menyelamatkan hotel, apa yang akan terjadi pada karyawan, reputasi keluarganya, dan seluruh hidupnya?

Sambil menyesap kopi, Grace membiarkan matanya menatap taman, membiarkan pikirannya berkelana. Ia memikirkan tawaran Raga, menikah sebagai salah satu syarat investasi. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hotel. Tapi begitu ia membayangkan dirinya sebagai istri Raga, jantungnya kembali berdegup cepat, dadanya terasa sesak. Apa yang akan terjadi pada dirinya setelah itu?

Ia menutup mata sejenak, menghela napas panjang, mencoba meresapi kenyataan. Ia sendiri belum siap terikat. Sulit sekali menemukan laki-laki bijaksana yang bisa ia percayai—lingkungan dan masa lalunya membuatnya selalu berpikir bahwa lebih baik melajang seumur hidup. Trauma masa kecil, pengalaman pahit dengan ayah dan kakak, serta pengkhianatan yang ia saksikan membuatnya merasa dunia penuh dengan orang yang bisa menyakitinya.

“Yang aku miliki saat ini hanyalah diriku sendiri,” gumam Grace dalam hati. Ia membuka mata, menatap cangkir kopi yang mulai mendingin, dan merasakan kesadaran itu semakin dalam. Tidak ada siapa-siapa di dunia ini selain dirinya. Tidak ada yang bisa ia andalkan selain kekuatan dan kemampuannya sendiri.

Tangan Grace menggenggam cangkir kopi erat, seolah itu satu-satunya jangkar yang bisa menahannya dari terbawa badai pikiran. Ia tahu, keputusan tentang Raga bukan sekadar soal bisnis atau pernikahan—itu soal seluruh hidupnya, identitasnya, dan rasa aman yang selama ini ia perjuangkan.

Di taman yang sepi itu, di bawah sinar matahari pagi yang lembut, Grace duduk termenung. Hatinya penuh ketakutan, tetapi di balik itu juga ada tekad. Ia harus berpikir matang. Ia harus memastikan, apa pun yang ia putuskan, itu adalah keputusan yang menjaga dirinya—dan bukan hanya menyelamatkan hotel.

___

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel