BAB 3
BAB 3
HAPPY READING
____
Acara malam itu akhirnya usai, meninggalkan Grace dengan rasa lelah yang tidak hanya fisik, tapi juga emosional. Ballroom Hotel Mulia kini kembali sepi, gema tawa dan percakapan para tamu perlahan memudar dalam ingatannya. Meski sudah mencoba menebar senyum dan menjaga profesionalisme sepanjang malam, hatinya masih terasa berat. Investor yang ia incar tetap sulit dijangkau, dan beberapa orang bahkan menanggapinya dengan acuh, seolah ia hanyalah tamu lain yang lewat di forum itu.
Sesampainya di rumah Grace menutup pintu dengan pelan, membiarkan keheningan menggantikan hiruk-pikuk malam itu. Ia segera mengganti pakaian dengan piyama yang nyaman, membiarkan tubuhnya merasakan lega setelah seharian berada di tengah keramaian dan tekanan. Duduk di tepi tempat tidur, ia menatap sekeliling kamar yang familiar, namun pikirannya melayang jauh, kembali meninjau setiap interaksi malam itu.
Matanya akhirnya jatuh pada sebuah benda kecil yang ia simpan dengan hati-hati—kartu nama Raga Asthon. Grace mengeluarkannya perlahan, memutar-mutar di antara jarinya, menatap nama pria itu, perusahaan yang ia wakili, dan nomor ponsel yang tertulis rapi. Hatinya berdebar.
Rasa penasaran dan sedikit kebingungan. Apa sebenarnya yang pria ini tawarkan? Kenapa dia memberikannya begitu saja, tanpa meminta imbalan? Tidak ada yang benar-benar gratis di dunia bisnis—apalagi dari seseorang dengan aura percaya diri, tegas, dan tajam seperti Raga.
Grace menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Ia membayangkan berbagai kemungkinan. Mungkinkah ini kesempatan nyata untuk menyelamatkan hotel keluarganya?
Ia menatap kartu itu lagi, jari-jarinya menyentuh permukaannya, dan batinnya mulai bertanya-tanya. “Kalau aku menghubunginya, apa yang akan dia tawarkan?” Pertanyaan itu berputar di kepalanya, membuatnya gelisah. Grace sadar, tidak mudah meminta bantuan, apalagi dari orang asing yang entah apa motifnya.
Raga Asthon—nama itu terasa seperti tantangan. Ada magnet misterius dalam kehadirannya yang membuat Grace penasaran sekaligus waspada. Ia menyadari bahwa malam ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ada permainan halus yang baru saja dimulai, dan ia sudah terseret ke dalamnya tanpa disadari.
Grace menaruh kartu itu di meja samping tempat tidur, menatapnya sekali lagi. Ada sensasi aneh yang mengalir melalui dirinya, rasa penasaran, kewaspadaan, dan sedikit rasa lega sekaligus takut. Seolah kartu itu bukan hanya selembar kertas berisi nama dan nomor telepon, tapi pintu masuk ke dunia yang belum ia mengerti sepenuhnya—dunia di mana kekuatan, strategi, dan permainan emosional saling bertaut.
Ia menarik napas panjang, menutup mata, dan bertanya pada dirinya sendiri, “Haruskah aku menghubunginya? Atau tunggu dulu, lihat apakah dia akan menghubungi aku lagi?” Batinnya tidak menemukan jawaban pasti. Yang jelas, malam ini, pertemuan dengan Raga Asthon bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di balik tatapan tajam pria itu.
Dan untuk pertama kalinya, Grace menyadari bahwa langkah pertama di papan permainan ini—meski belum ia mengerti sepenuhnya—sudah ia ambil.
Setelah menatap kartu nama Raga Asthon beberapa saat, Grace merasa tidak bisa menunggu lebih lama. Rasa penasaran yang menggelayuti pikirannya terlalu kuat untuk diabaikan. Ia menyalakan laptopnya, membuka browser, dan mulai mengetik nama “Raga Asthon.”
Hasil pencarian pertama muncul, dan Grace mengerutkan kening. Nama Raga Asthon memang tidak sepopuler beberapa pengusaha besar lain yang sering muncul di media, namun itu justru membuatnya semakin penasaran. Di balik ketenaran yang relatif minim, kekuatan bisnisnya ternyata luar biasa.
Grace membaca dengan seksama, Raga memiliki saham dominan sebesar 77% di PT Alakasa Industri Tbk, perusahaan besar yang bergerak di bidang industri aluminium. Perusahaan itu bukan hanya penghasil logam, tetapi juga pemasok utama bagi proyek-proyek infrastruktur dan manufaktur besar di Indonesia. Selama ini, Grace hanya tahu beberapa pemain besar di sektor industri, dan Raga ternyata termasuk salah satunya.
Tidak hanya itu, Grace menemukan bahwa Raga juga terlibat di sektor media melalui kepemilikan di Surya Cahaya Media, jaringan yang memiliki pengaruh signifikan dalam pemberitaan dan opini publik. Bahkan beberapa proyek properti di kawasan elit Jakarta seperti Segitiga Emas pun berada di bawah kendali atau investasi langsungnya.
Lebih jauh, ia membaca bahwa Raga tercatat sebagai dewan pengawas di lembaga pemikir strategis CSIS, yang berarti pengaruhnya tidak hanya sebatas bisnis, tetapi juga dalam ranah kebijakan dan strategi nasional.
Grace menundukkan kepala, jantungnya berdetak cepat. Ia menatap layar laptop, memikirkan arti semua informasi itu. Pria yang tadi hanya duduk di sampingnya, memberikan kartu nama, tampak sederhana dan tenang—tapi di balik itu, ia adalah raksasa bisnis dengan jaringan luas dan pengaruh yang nyaris tak terbatas.
Pikiran Grace mulai bekerja. Jika ia bisa mendapatkan dukungan atau koneksi dari Raga, mungkin itu akan menjadi jalan keluar yang selama ini ia cari untuk menyelamatkan hotel keluarganya. Tapi di saat yang sama, ada rasa waspada yang menyelimuti hatinya. Pria ini terlalu kuat, terlalu cerdas, dan terlalu berpengaruh. Kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal.
Grace menutup laptopnya perlahan, menatap kartu nama itu sekali lagi. Senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang campur aduk antara rasa penasaran, ketakutan, dan perhitungan. Ia sadar, Raga Asthon bukan hanya sekadar investor potensial. Dia bisa menjadi pintu keluar, atau jebakan yang sangat berbahaya.
___
Grace membaringkan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamar yang remang diterangi lampu meja samping. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa istirahat. Malam itu, satu hal terus berputar di kepalanya, Raga Asthon.
Ia menghela napas panjang, menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, lalu mulai merancang strategi. Jika ia ingin memanfaatkan kartu nama yang diberikan Raga, langkahnya harus tepat, terukur, dan elegan. Tidak sembarangan, karena pria ini jelas orang penting—orang yang setiap jamnya penuh jadwal dan urusan bisnis yang padat.
Grace mulai memikirkan opsi. Haruskah ia meminta appointment di kantor Raga, atau mencari tempat pertemuan di luar yang lebih santai, agar pembicaraan tidak terlalu formal? Bertemu di luar bisa memberi kesan fleksibel dan ramah.
Ia menarik napas lagi, mencoba menenangkan diri. Waktu adalah hal yang paling berharga bagi Grace harus memastikan permintaan pertemuan ini terdengar profesional dan relevan. Ia mulai membayangkan berbagai kemungkinan skenario—apakah pria itu akan menolak, memberi waktu singkat, atau justru menunda sampai beberapa hari ke depan.
“Dia pasti sibuk,” gumam Grace dalam hati, menatap langit-langit dengan mata penuh perhitungan. “Tidak selalu available untuk bertemu. Orang seperti dia, setiap jamnya sudah dihitung. Tapi aku harus mencoba. Ini tentang survival hotel keluargaku.”
Ia membayangkan langkah demi langkah, email pendek, sapaan sopan, menyebut latar belakang bisnis, dan alasan mengapa pertemuan itu penting. Tidak bertele-tele, langsung ke inti, tapi tetap menjaga kesopanan dan profesionalisme.
Grace menutup mata sejenak, membayangkan wajah Raga, postur tegapnya di ballroom, senyum samar yang tadi membuat hatinya campur aduk antara penasaran. Ia sadar, setiap langkah yang akan ia ambil besok bisa menentukan nasib hotel keluarganya—dan mungkin, membuka pintu ke dinamika yang sama sekali tidak ia duga sebelumnya.
Dia merebahkan kepala di bantal, menutup mata, tapi pikirannya tetap sibuk. Strategi itu terus diputar, kombinasi antara peluang dan risiko, antara harapan dan ketakutan. Malam itu, Grace tahu satu hal pasti, besok adalah langkah pertama yang menentukan bagaimana hubungannya dengan Raga akan terbentuk—apakah ia menemukan sekutu atau justru masuk ke permainan yang berbahaya.
___
Keesokan harinya, Grace terbangun lebih awal seperti biasanya. Sinar matahari pagi menembus tirai jendela, menerangi ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan aroma kopi yang baru diseduh dari dapur sebelah, dan mencoba mengusir sisa-sisa lelah yang menempel dari malam sebelumnya. Hari ini adalah hari penting. Tidak ada waktu untuk menunda.
Rutinitas paginya dimulai dengan workout ringan di ruang tamu. Tubuhnya bergerak mengikuti ritme latihan, keringat menetes perlahan di dahinya. Setiap gerakan—push-up, plank, squat—tidak hanya menguatkan fisiknya, tapi juga menenangkan pikirannya. Meski begitu, satu hal terus mengganggu konsentrasinya Raga Asthon. Bayangan pria itu, dengan sorot mata tajam dan senyum samar, terus menghantui pikirannya.
Setelah latihan, Grace mandi dengan cepat. Air hangat menyentuh kulitnya, seolah menyingkirkan sisa tekanan mental. Ia memilih pakaian yang sederhana tapi rapi—blus krem dan celana panjang hitam—tidak terlalu formal, tapi tetap pantas untuk pertemuan bisnis yang mungkin akan ia lakukan nanti.
Di dapur, ia menyiapkan sarapan sendiri. Telur orak-arik, roti panggang, dan segelas jus jeruk segar. Sambil mengaduk telur di wajan, pikirannya sibuk memutar rencana. Bagaimana ia harus memulai percakapan jika bertemu Raga? Apa yang akan ia tawarkan? Bagaimana agar permintaan bantuannya terdengar sopan, namun tetap menegaskan urgensi situasinya?
Setelah sarapan, Grace duduk di tepi meja makan, menarik napas panjang, dan menatap ponselnya yang tergeletak di samping. Jari-jarinya gemetar sedikit ketika ia membuka aplikasi pesan. Ia menulis pesan singkat, hati-hati memilih kata-kata:
“Selamat pagi, Pak Raga. Saya Grace Bagaskara. Apakah Bapak ada waktu untuk bertemu hari ini? Saya ingin mendiskusikan kemungkinan kerja sama dan bantuan untuk perusahaan keluarga saya.”
Ia menatap layar sebentar, lalu menekan tombol kirim. Begitu pesan itu pergi, rasa campur aduk muncul—harap bercampur cemas, penasaran bercampur ketegangan. Grace menatap ponsel kosong itu seolah menunggu respons yang bisa datang kapan saja.
Ia menundukkan kepala, menutup mata sejenak, mencoba menenangkan jantung yang berdetak cepat. Ini bukan hanya tentang pertemuan bisnis; ini adalah langkah pertama menuju kemungkinan menyelamatkan hotel keluarganya dari kebangkrutan. Namun, ada rasa waspada yang sulit dijelaskan. Pria ini—Raga—tampak tenang, penuh kontrol, dan memiliki aura yang membuat siapa pun merasa seolah sedang diuji.
Grace menggenggam ponsel erat-erat, matanya menatap layar, bayangan senyum samar Raga kemarin terus menghantui pikirannya. Ia tahu, setiap kata yang ia kirim, setiap langkah yang ia ambil sekarang, bisa menentukan arah masa depan hotel keluarganya.
Hatinya bergetar, namun ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, tidak ada ruang untuk keraguan. Hari ini adalah hari pertama dari permainan baru yang ia masuki, dan langkah pertamanya—menghubungi Raga Asthon—harus dilakukan dengan tepat.
Sambil menunggu jawaban, Grace berdiri, berjalan ke jendela, menatap kota Jakarta yang mulai hidup dengan aktivitas pagi. Gedung-gedung tinggi berkilau diterpa cahaya matahari, mobil-mobil lalu-lalang di jalan raya. Di antara hiruk-pikuk itu, ia merasa kecil, tapi tekadnya tumbuh semakin kuat. Ia sadar bahwa untuk menyelamatkan apa yang telah dibangun oleh orang tuanya, ia harus berani menghadapi ketidakpastian dan pria misterius yang kini ada di balik kartu nama itu.
Tidak lama setelah menunggu dengan napas tertahan, ponsel Grace bergetar di atas meja. Sebuah notifikasi pesan masuk muncul, membuat jantungnya seketika berdegup lebih cepat. Ia menatap layar, tangan sedikit gemetar. Nama pengirimnya, Raga Asthon.
Grace menelan ludah, jantungnya seakan berhenti sejenak. Dengan hati-hati, ia membuka pesan itu. Tulisan yang muncul membuatnya hampir tidak percaya:
"Grace, saya bisa bertemu besok siang. Bagaimana kalau di Restaurant Le Quartier, jam 12 siang?"
Grace menatap layar, rasa campur aduk meluap dalam dadanya. Antara kaget, senang, dan sedikit cemas. Ia merasa seolah semesta menjawab doanya yang telah lama ia simpan rapat-rapat. Selama ini, setiap langkahnya terasa penuh ketidakpastian—investor menolak, peluang menipis, hotel keluarga di ambang kehancuran. Dan sekarang, di depannya, ada kesempatan nyata yang muncul begitu saja, seperti hadiah dari nasib.
Tubuhnya terasa sedikit kewalahan. Ia hampir tidak tahu harus berbuat apa. Napasnya cepat, tangan memegang ponsel erat, matanya menatap tulisan itu lagi dan lagi seolah ingin memastikan ini bukan mimpi.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Grace akhirnya mengetik balasan singkat, sederhana, tapi penuh arti:
"Iya, Pak Raga. Terima kasih. Sampai bertemu besok jam 12 siang di Restaurant Le Quartier."
Ia menatap layar beberapa saat setelah mengirimnya, membiarkan pesan itu tersampaikan. Rasa lega dan antisipasi bercampur di dadanya. Besok, pertemuan itu akan menjadi titik awal dari babak baru—peluang yang mungkin bisa menyelamatkan hotel keluarganya, tapi juga membuka jalan ke sesuatu yang lebih kompleks, lebih menegangkan, dan tidak bisa ia prediksi sepenuhnya.
Grace menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya tetap berdebar. Ia tahu bahwa esok hari bukan sekadar pertemuan bisnis biasa. Ini adalah awal dari sebuah permainan baru—antara harapan, ambisi, dan pria misterius bernama Raga Asthon.
Sambil menaruh ponsel di meja, Grace memejamkan mata sejenak, membayangkan suasana Restaurant Le Quartier, cahaya hangat, aroma makanan yang menggoda, dan pria yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan di ballroom—sekarang akan duduk di hadapannya, menatapnya, dan mungkin menilainya. Hati Grace campur aduk antara rasa gugup dan semangat. Ia sadar satu hal, besok, hidupnya bisa berubah.
___
