BAB 2
BAB 2
HAPPY READING
___
Raga menarik napas pelan, menahan gejolak dalam dadanya sebelum akhirnya membuka percakapan. Matanya tetap tertuju pada Grace, tajam namun penuh kendali.
“Sendiri saja?” tanyanya dengan nada ringan, meski dalam hatinya ada nada lain—permainan yang baru dimulai.
Grace menoleh sebentar dan tersenyum tipis. “Iya.”
Raga mengangguk kecil, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. “Yang punya Hotel Bagaskara?”
Ada jeda singkat sebelum Grace menjawab. Ia mengangguk, menegakkan punggungnya, nada suaranya penuh keanggunan yang dipaksakan. “Iya, benar. Itu bisnis keluarga kami.”
Raga menahan ekspresi. Hatinya bergejolak mendengar pengakuan itu, namun wajahnya tetap tenang. Hanya ada kilatan samar di matanya, sesuatu yang Grace tak sempat tangkap.
“Bagaimana perkembangan Hotel Bagaskara akhir-akhir ini?” tanya Raga lagi, nada suaranya terdengar seperti percakapan bisnis biasa, namun pertanyaannya terasa menusuk. “Saya dengar sektor pariwisata sedang goyah, terutama karena banyak konflik di berbagai negara. Efeknya pasti terasa, bukan?”
Grace menarik napas panjang. Pertanyaan itu menggores titik rapuh yang sebenarnya sedang ia sembunyikan dari banyak orang. Namun sorot mata pria di sampingnya menuntut jawaban yang jujur.
“Memang benar,” katanya perlahan. “Saat ini kami mengalami banyak kesulitan. Jika tidak kunjung membaik, kami tidak punya pilihan lain selain mengurangi jumlah karyawan.”
Raga menatapnya intens. Kalimat itu menancap dalam kepalanya. Di balik sikap anggun seorang pewaris keluarga besar, ada beban yang begitu berat. Beban yang—ironisnya—memberinya celah untuk masuk.
Grace mengalihkan pandangan, meneguk air putih di depannya untuk meredakan ketegangan. Ia merasa baru saja mengakui kelemahan terbesar bisnis keluarganya pada seorang pria yang bahkan baru ia kenal. Tapi entah mengapa, tatapan pria itu membuatnya sulit berbohong.
Raga bersandar santai di kursinya. Raga menarik napas, menatap Grace dengan penuh minat. Gerakannya tenang, tapi sorot matanya tajam seperti sedang menganalisis sesuatu. “Apa kamu sudah evaluasi kegagalan?” tanyanya pelan, seolah sekadar percakapan biasa di forum bisnis, padahal pertanyaannya menusuk jauh lebih dalam.
Ia melanjutkan tanpa memberi banyak jeda, “Lakukan perubahan arah? Kurangi pengeluaran yang tidak perlu? Bangun kembali relasi dengan klien atau mitra?”
Grace terdiam. Pertanyaan itu terdengar terlalu familiar, sama persis dengan kalimat yang belakangan ini berputar-putar di kepalanya. Ia menghela napas, lalu mengangkat wajahnya menatap Raga. Ada kilatan lelah di matanya, meski bibirnya tetap mencoba melengkungkan senyum.
“Itu semua sudah saya lakukan,” jawabnya lirih, tapi jelas.
Ia menundukkan kepala sebentar, jari-jarinya memainkan gelas air mineral di depannya. “Padahal sebelumnya, hidup saya berjalan dengan sederhana. Saya tinggal duduk di balik meja kerja, buka dashboard, cek mutasi, approve pembayaran. Semua sudah berjalan. Sistem tertata rapi, tim sudah mandiri. Saya pikir—mungkin sama seperti banyak orang lain berpikir—di usia tiga puluhan saya tinggal menikmati hasil. Bisnis autopilot, hidup tertata, semua terasa stabil.”
Grace menarik napas panjang, menahannya sejenak sebelum dihembuskan. Tatapannya melayang ke depan, menembus panggung megah forum itu, seolah yang ia lihat bukanlah para pembicara dengan jas mahal, melainkan bayangan masa lalu.
“Tapi ternyata, hidup punya jalannya sendiri. Pandemi datang seperti badai—datang tiba-tiba, tidak menunggu siapa siap, siapa tidak. Dan saya,” suara Grace sedikit bergetar, lalu ia menegakkan bahunya, mencoba menyembunyikan kerentanan itu. “saya tidak siap.”
Raga mendengarkan dalam diam. Tangannya terlipat di pangkuan, wajahnya tampak datar tapi matanya mengunci pada setiap ekspresi Grace.
“Semuanya porak-poranda,” lanjut Grace. “Satu per satu lini bisnis runtuh. Restoran, travel, event—semuanya tumbang. Klien pergi, kontrak dibatalkan, kerja sama putus. Hutang menumpuk, arus kas terkunci. Saya berusaha keras, mencoba berbagai cara, menjual aset kecil, menutup cabang yang tidak produktif. Tapi tetap saja, itu seperti berusaha menahan air bah dengan telapak tangan.”
Grace memejamkan mata sebentar, mencoba mengumpulkan dirinya. Saat ia membuka mata lagi, kilauan lampu kristal di ballroom hotel seakan menyoroti betapa lelahnya ia.
“Bukan karena saya tidak pintar, atau tidak bisa mengelola bisnis,” katanya, nada suaranya lebih tegas, seolah menegaskan pada dirinya sendiri. “Tapi ketika seluruh pasar runtuh, semua rumus pun tidak berlaku. Semua teori bisnis, semua strategi yang pernah saya pelajari, tidak ada gunanya. Karena pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar siap menghadapi badai sebesar itu.”
Ia terdiam, menunduk sedikit, lalu menambahkan dengan suara hampir berbisik, “Dan yang lebih menyakitkan, saya tidak hanya kehilangan omset, saya kehilangan rasa percaya pada diri sendiri.”
Raga menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya terangkat membentuk senyum samar. Ada kepuasan kecil yang ia rasakan—mengetahui bahwa keluarga Bagaskara, yang dulu menghancurkan hidup keluarganya, kini juga pernah tersungkur. Namun di balik itu, ada juga ketertarikan yang sulit dijelaskan.
Ia memperhatikan bagaimana Grace berusaha tetap anggun meski hatinya jelas hancur. Baginya, perempuan ini adalah puzzle yang menarik, seorang pewaris kerajaan bisnis yang rapuh tapi keras kepala, lemah namun tetap mencoba tegak.
Namun di balik senyum samar itu, ia menyusun rencana. Ia tahu, setiap kelemahan adalah pintu masuk. Dan malam ini, pintu itu baru saja terbuka sedikit.
Raga menatap Grace dengan sorot mata penuh perhitungan. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya tenang namun tajam, seperti orang yang sudah terbiasa membaca lawan bicara.
“Jadi, kamu ke sini ada tujuan khusus?” tanyanya, alisnya sedikit terangkat.
Grace mengangguk pelan. Senyumnya tipis, nyaris hambar, seakan ia tahu bahwa jawaban ini akan membuka kartu rapuh yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
“Iya,” jawabnya lirih tapi tegas. “Saya sedang mencari investor baru, untuk perusahaan saya. Kalau tidak, hotel keluarga kami tidak akan bertahan lama.”
Ada jeda sesaat setelah kata-kata itu keluar. Grace menunduk sedikit, meneguk air putih di hadapannya untuk menutupi kegugupan yang mulai terasa. Ia tahu pengakuan itu berisiko, apalagi pada pria yang baru saja ia kenal. Tapi entah kenapa, tatapan Raga membuatnya sulit menyembunyikan kebenaran.
Raga terdiam. Pandangannya tajam, menusuk, seolah ingin menembus lapisan terluar ke dalam inti diri Grace. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena terkejut, tapi karena perasaan aneh yang menyerupai takdir.
“Investor, ya,” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar, namun penuh makna.
Dalam hati, ia hampir ingin tertawa. Betapa ironisnya hidup—target yang selama ini ia cari, kini justru duduk di sampingnya, membuka rahasia terbesar tanpa perlu ia pancing terlalu jauh. Keluarga Bagaskara, yang dulu menghancurkan keluarganya, kini justru terhimpit di tepi jurang. Dan pewarisnya, Grace, datang ke forum ini dengan mata penuh harap, mencari penolong.
Raga mengalihkan pandangan sejenak, menyembunyikan kilatan emosinya. Ia menahan diri agar wajahnya tetap netral, seolah hanya seorang pria ramah yang kebetulan mengobrol ringan. Tapi di balik tenangnya ekspresi itu, pikirannya bekerja cepat, menyusun strategi.
Sementara itu, Grace menatapnya ragu. Ada sesuatu dari pria ini—cara dia diam, cara matanya menyelidik, membuat Grace merasa ia sedang ditimbang, dinilai, diukur. Namun ia memilih bungkam, menunggu apakah pria di sampingnya ini akan merespons atau hanya membiarkan pengakuannya menguap begitu saja.
Dan Raga masih menatapnya intens, bibirnya membentuk garis samar, antara senyum dan keseriusan. Malam itu, ia tahu, permainan sudah dimulai.
__
Raga menatap Grace sejenak, matanya tetap tajam namun tenang. Ia meneguk air mineral di depannya perlahan, seolah menikmati momen diam sebelum dunia luar kembali menarik perhatian mereka. Ballroom Hotel Mulia mulai ramai dengan suara langkah kaki, percakapan ringan, dan riuh rendah tamu yang mencari tempat duduk. Lampu kristal berkilau di atas kepala, memantulkan cahaya hangat yang membuat ruangan terasa megah sekaligus formal.
MC akhirnya naik ke panggung dan mulai memberikan kata sambutan. Suara mikrofonnya jelas terdengar di seluruh ruangan, membicarakan tema forum dan pentingnya kolaborasi dalam menghadapi tantangan ekonomi Asia. Grace duduk dengan tegap, menahan napas pelan, mencoba menyerap setiap kata sambutan sambil tetap memantau tamu-tamu lain di sekitarnya.
Di sisi Grace, Raga duduk tenang. Ia terlihat santai, namun sorot matanya sesekali melirik layar panggung, sesekali menatap Grace. Ada aura fokus dan pengendalian diri yang membuat Grace merasa sedikit terintimidasi, meski secara halus ia juga penasaran.
Setelah beberapa menit, Grace menoleh dan memecah keheningan yang mengalir di antara mereka. “Maaf,” katanya lembut, “Raga, kamu dari perusahaan apa? Saya belum pernah bertemu sebelumnya.”
Raga mengangkat alis sedikit, seperti menilai pertanyaan itu. Ada jeda singkat sebelum ia menjawab, suaranya rendah dan tenang, menyesuaikan volume agar tetap terdengar hangat.
“Saya dari keluarga bisnis yang, tidak terlalu menonjol di mata publik. Tapi saya cukup familiar dengan berbagai sektor, termasuk pariwisata dan perhotelan,” jawabnya, matanya tetap menempel pada Grace. Ada nada ringan di suaranya, tapi tatapannya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak ia ungkapkan.
Grace mengangguk pelan, mencoba menahan rasa penasaran yang tiba-tiba tumbuh lebih besar. Ada sesuatu dari cara Raga bicara—tenang, percaya diri, tapi seolah menyembunyikan rahasia besar—yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, meski secara naluriah ia juga merasa harus berhati-hati.
Di tengah rangkaian kata sambutan MC, Grace menyadari satu hal: malam ini bukan sekadar forum bisnis biasa. Ada sesuatu di sampingnya—Raga—yang membuat suasana berubah. Setiap gerakannya, setiap tatapannya, terasa seperti permainan kecil yang baru saja dimulai. Dan Grace, tanpa disadari, sudah menjadi salah satu pion yang akan diujicoba oleh pria di sampingnya.
__
Begitu rangkaian kata sambutan selesai dan MC menutup sesi pembukaan, Grace menarik napas dalam-dalam. Ia menatap sekeliling ballroom, memperhatikan para tamu yang mulai bersosialisasi dan berbaur. Inilah saatnya ia mulai aksinya. Setiap langkah harus diperhitungkan, setiap senyuman dan sapaan bisa menjadi kunci membuka peluang investasi yang ia butuhkan.
Grace melangkah dengan mantap, menghampiri beberapa orang yang menurutnya memiliki pengaruh besar dan kapasitas finansial. Ia mulai memperkenalkan diri, berbicara tentang hotel dan restoran keluarganya, menjelaskan tantangan yang tengah dihadapi, serta visi dan rencana bisnis ke depan.
Namun, tidak semua respons yang ia dapatkan menyenangkan. Beberapa orang hanya menatap sekilas, tersenyum sopan tapi acuh, dan segera meninggalkannya untuk berbicara dengan tamu lain yang mereka anggap lebih “penting.” Grace menahan frustrasinya, menelan rasa kecewa, dan terus melangkah. Ia tahu bahwa untuk bertahan di dunia bisnis, ia harus kuat menghadapi penolakan dan tetap fokus pada tujuan.
Sementara itu, Raga yang duduk di sudut ballroom, tetap memperhatikan setiap gerak-gerik Grace. Tatapannya tidak lepas dari perempuan itu, seolah menilai cara ia berinteraksi, bagaimana ia menghadapi penolakan, dan bagaimana sikapnya dalam menghadapi tekanan. Ada sesuatu dalam diri Grace—keteguhan yang halus namun jelas—yang membuat Raga sedikit kagum, meski ia tidak akan mengakuinya.
Setelah beberapa saat, Raga berdiri perlahan, mendekati Grace dengan langkah tenang namun pasti. Ia mengulurkan kartu namanya kepada Grace dengan senyum samar, santai tapi penuh makna.
“Hubungi saya kalau butuh bantuan,” katanya, suaranya terdengar hangat namun menimbulkan rasa penasaran yang aneh bagi Grace.
Grace menerima kartu itu, jari-jarinya menyentuh kartu dengan sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena aura misterius pria ini membuatnya terkejut. Matanya menatap Raga sejenak, mencoba membaca maksud di balik senyum samar itu, namun tidak menemukan petunjuk pasti.
“Terima kasih,” jawab Grace akhirnya, suaranya tetap tenang meski hatinya berdebar. Ia menyadari satu hal—pria ini bukan sekadar orang asing yang ramah. Ada sesuatu di balik perhatian itu, sesuatu yang membuatnya merasa seperti berada di garis awal permainan baru yang belum ia mengerti sepenuhnya.
Raga mengangguk singkat, lalu kembali menatap para tamu di sekeliling ballroom, seolah hanya memberikan sinyal kecil bahwa tawaran itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Grace menatap kartu di tangannya, hatinya campur aduk antara penasaran, kewaspadaan, dan sedikit rasa lega. Di tengah keramaian malam itu, satu hal jelas, pria ini, Raga, telah memasuki dunia Grace, dan ia tidak tahu apakah kehadiran itu akan menjadi penolong, atau ancaman tersembunyi.
__
