VOMEYOUZ
Siang yang tidak terlalu terik, siswa kelas 12 IPA 2 sudah bersiap dengan pakaian olahraga mereka. Pak Yanto, meminta mereka melakukan pemanasan masing-masing sementara dirinya mengarahkan team basket yang kebetulan sedang melakukan kegiatan ekskul untuk berbagi lapangan.
Pelajaran penjas memang pelajaran paling santai di dunia, kegiatan siang itu hanya sekedar latihan dribble, passing, shoot yang dibina langsung oleh Arsen. Sang Kapten basket SMA Tunas Permata.
“Shen!” tegur Arsen sembari memberi ancang-ancang. Shenina menerima bola yang dilemparkan Arsen. Dalam sekali hentakan bola yang dipegang Shenina berhasil menerobos ring basket. Sontak menjadi bahan tontonan dan decak kagum beberapa teman-temannya.
Arsen bertepuk tangan, ada rasa bangga melihat Shenina.
“Keren!” serunya. “Lagi, Shen.”
“Capek ah,” celetuk Shenina lalu ia duduk lesehan di pinggir lapangan.
“Lo keren banget, Shen,” puji Avika. Shenia terkekeh pelan, perhatiannya terfokus pada Karina yang terlihat kurang konsentrasi.
“Karina lagi sakit, ya?” tanya Shenina.
Avika mengangguk. “Lemes dia ngeliat Yudith.”
“Yudith makin parah?”
“Gak juga sih, ah pokoknya gitu deh. Kalau Yudith sakit, Karina pasti latah.”
Enggan bertanya lagi, Shenina hanya manggut-manggut. Tak lama kemudian, Arsen menghampiri keduanya ikut duduk di sisi Shenina.
“Karina mana?” tanya Avika pada Arsen.
“Ke UKS, kepalanya pusing.”
“Wah, gue nyusul Karina dulu deh,” ucap Avika, kemudian beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan mereka.
“Lo gak nyusul juga?” tanya Arsen.
Shenina menggeleng, menghela nafasnya pelan. “Gue ngerasa bersalah.”
“Kenapa?”
“Gara-gara gue, Yudith jadi sakit dan sekarang Karina ikut sakit.”
Arsen hanya diam, memperhatikan Shenina yang sedang merapihkan rambutnya. Ketika Shenina sedang mengangkat tinggi-tinggi cepolan rambutnya, mata Arsen tak sengaja menangkap sesuatu di tengkuk leher Shenina.
Terlihat samar, karena masih tertutupi kaus olahraganya, tapi Arsen bisa melihat dengan jelas ukiran yang menghias tengkuk cewek itu.
“Tatto itu ...,” batin Arsen dalam hati, matanya membola. Ia jelas mengingat ukiran itu, ia pernah melihatnya di tubuh seseorang.
“Ar, kenapa bengong?!” sentak Shenina.
Arsen menggeleng kuat. “Gu--gue mau nyusul Avika.” Arsen memilih bergegas meninggalkan Shenina yang kebingungan. Wajah lelaki itu mendadak pucat dengan segala pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya.
“Gue gak mungkin salah lihat,” gumamnya pelan. “Lo gak beres, Shenina.”
****
Ada yang berbeda sore ini, entah kesambet apa, kemarin Bagas merengek pengen bawa mobil ke sekolah. Meskipun awalnya Putra menolak, tapi akhirnya diizinkan juga karena embel-embel mau nebengin Shenina.
“Bareng gue ya, Shen. Tapi gue anter Avika dan Karina dulu,” ucap Bagas.
Shenina manggut-manggut, ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang, bersisian dengan Karina. Sementara Avika di kursi utama, di sebelah Bagas.
“Kalau bukan karena lo, pasti Bagas gak mungkin bawa mobil,” cetus Avika pada Shenina.
“Lo cemburu?” tanya Karina.
Avika hanya nyengir kuda. “Gak dong, gue malah seneng. Jadi rambut gue gak acak-acakan sore ini.”
“Yang lain kemana?” tanya Shenina.
“Mereka pake motor, ngawal di belakang,” jawab Karina.
“Wow!” seru Shenina. “Berasa orang penting.”
Deruman motor di belakang mereka membelah jalanan, saling bersahutan. Baru setengah perjalanan, terlihat satu rombongan mencegat tepat di tengah jalan tak jauh dari mereka.
“Itu siapa?” tanya Avika, matanya memicing memperhatikan rombongan itu.
“Ck, Vomeyouz,” decak Bagas.
Bima, Arsen, dan Fathan mematikan mesin motor mereka. Diikuti Bagas yang juga mematikan mesin mobilnya lalu melepas seat belt nya.
“Ayang, mau kemana?” tanya Avika khawatir.
“Aku turun, kamu tetap di sini. Jangan ke mana-mana, jagain Karina,” tegas Bagas. Avika hanya mengangguk, matanya melirik ke arah Karina yang mulai terlihat panik.
Sungguh pemandangan yang cukup miris bagi Avika, melihat sahabatnya yang jarang tersenyum ini selalu di hadapkan pada hal-hal yang membuatnya ketakutan.
“Tenang, Kar,” kata Bagas, detik kemudian ia keluar dari dalam mobil.
Gadis-gadis itu hanya memperhatikan mereka berempat, Avika mulai mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu di sana
“Gue mau telfon polisi,” kata Avika.
“Gak perlu, Vik,” Cegah Shenina namun kemudian dituruti oleh Avika.
Karina memejamkan matanya, nafasnya memburu karena ketakutan. Sementara Shenina, cewek itu dihadapkan pada situasi yang cukup membuatnya bingung. Hatinya sedikit getir akan kondisi Karina, tapi yang ia inginkan saat ini hanya keluar dari dalam mobil dan menghajar ketua rombongan yang terlihat paling menonjol di sana.
Sorot mata Shenina menajam, memandang dendam pada orang itu. Tangannya mengepal kuat, wajahnya memerah memendam marah.
BUGH!
“Bagas!” jerit Avika ketika melihat tubuh pacarnya menghantam bumper mobil.
“Tahan, Vik.” Cegah Shenina saat melihat cewek itu hendak melepas seat belt nya.
“Bagas ...” Mata Avika mulai berkaca-kaca. Karina menutup seluruh kepalanya agar tak melihat atau mendengar apa pun.
Shenina menghela nafasnya yang berat, memandang ke arah luar. Pertarungan sengit antar dua kelompok yang tak seimbang. Tujuh lawan empat. Shenina memandang miris ke arah teman-temannya, hanya Bima yang terlihat masih sangat stabil.
“Vik, lo tunggu di sini. Jagain Karina,” kata Shenina, tanpa menunggu jawaban gadis itu segera keluar dari mobil, menghampiri teman-temannya dan ikut andil dalam pertarungan itu.
“Shen, lo ngapain!” seru Fathan. “Bahaya!”
Shenina tak menghiraukan, gadis itu malah melanjutkan aksinya. Menghajar siapapun yang hendak menyerangnya. Lalu membantu Bagas yang sudah kalap karena di hajar tiga orang sekaligus. Shenina dengan membabi buta membalas mereka dengan mudahnya. Merasa puas, ia menghampiri Arsen yang yang bertengkar dengan ketua geng tersebut.
BUGH !!
BUGH!!
BUAKH!!
“Anjir!” seloroh Fathan saat melihat Shenina dengan mudahnya menumbangkan sang ketua geng. Bima dan Bagas hanya menatapnya sambil sesekali meringis merasakan nyeri di tubuh mereka.
“Hai, Bro,” bisik Shenina di hadapan sang ketua. Ia sedikit membungkukan badannya, lalu tersenyum sinis.
“Lo siapa?” tanya cowok itu menggeram.
Shenina terkekeh seram. “Suatu saat nanti kita bakalan ketemu lagi, Kevin Dazz Anggara,” tegas Shenina.
Cowok itu melotot, menyeka luka di sudut bibirnya.
“Lo—“
BUGH!!
Belum sempat cowok itu bicara, sebuah kaki berat sudah menendang tubuhnya hingga terjungkal. Semua terpekik kaget tak terkecuali Shenina, gadis ini ingin sekali tersenyum dan memeluk cowok yang baru saja datang menendang Kevin.
“Leo?!” seru Bima. “Bang Leo!”
Cowok itu tersenyum renyah, matanya memandang ke sekitarnya, menatap remeh ke arah tujuh orang yang sudah tak berdaya.
“CABUT ATAU LO SEMUA MATI!” teriak Leo dengan sangarnya. Spontan mereka berhamburan, menyalakan mesin motor mereka masing-masing. Juga dengan Kevin, sekilas menatap Shenina penuh pertanyaan tapi akhirnya ia memilih berlalu meninggalkan tempat itu.
“Abang, apa kabar?” tanya Bagas lalu memberikan salam high five untuk Leo. Diikuti oleh Bima, Fathan, dan Arsen yang terlihat sangat senang menyambut cowok ini.
“Udah gede aja lo pada,” ledek Leo, ia melirik ke arah Shenina lalu tersenyum tipis. Ah, cowok ini ingin sekali memeluk gadis itu, tapi sebisa mungkin ia tahan bahkan terkesan berpura-pura tak acuh pada Shenina. Leo menatap ke arah mobil, ia bisa melihat Avika sedang memeluk seseorang di kursi tengah. Ia melangkah mendekati kaca tengah mobil, mengetuknya pelan sampai akhirnya jendela kaca itu terbuka.
“Kar, ini gue. Leo,” lirih cowok itu. Karina masih bergetar, ia enggan membuka wajahnya.
“Karina ...”
“Gu--gue takut,” isak Karina.
“Ada gue, Kar,” jawab Leo, gadis itu perlahan mendongak menatap wajah yang tak asing lagi baginya. Leo melempar senyum tulus ke arah Karina, lalu mengelus pelan pipi gadis itu.
Tiga tahun tak berjumpa, tak ada yang berbeda dari cowok itu. Masih dengan wajahnya yang tegas, sorot matanya yang tajam, hanya saja Leo kini menghias kedua lengannya dengan tatto dan piercing di telinganya.
“Gak usah takut lagi, kita bakalan sering ketemu,” ucap Leo. “Jangan lupa minum obat, Kar.”
Gadis itu tak menjawab, terdiam datar memperhatikan Leo. Ingin rasanya mulutnya berkata sesuatu, tapi kejadian barusan sudah membuatnya cukup ketakutan. Leo menepuk pundak mereka berempat, memberikan salam perpisahan. Detik kemudian, ia menyalakan mesin motornya dan berlalu.
“Shen,” tegur Fathan. “Lo gak pa-pa?”
Shenina mengangguk. “Gue baik-baik aja, mendingan sekarang kita pulang. Obatin luka-luka kalian.”
“Lo gak luka?” tanya Arsen skeptis.
“Badan gue pegel,” jawab Shenina lalu masuk ke dalam mobil, mengambil alih kemudi karena tak tega dengan Bagas yang masih meringis kesakitan.
****
