TAK ASING
Sore itu, Shenina sudah bersiap dengan tiga buah kotak makan di dalam goodie bag. Gadis itu lalu berpamitan pada sang Bunda lalu melangkahkan kakinya keluar rumah. Hanya butuh waktu 15 menit berjalan kaki untuk sampai ke tempat tujuannya yang hanya berbeda lima blok dari rumahnya. Lamat-lamat ia memperhatikan rumah itu, tersenyum kecil tak sabar dengan respon orang-orang di dalamnya.
Matanya terpatri sebentar ke jajaran motor gede yang terparkir rapih tak jauh dari tempatnya berdiri, enggan berlama-lama kaki Shenina akhirnya melangkah menuju pintu utama rumah megah itu.
“Selamat sore!” seru Shenina, kepalanya melongok ke dalam karena kebetulan pintu rumah itu terbuka lebar.
“Wah! Lihat siapa ini yang datang!” jawab sebuah suara bariton berat milik seorang pria paruh baya bertubuh tambun, wajahnya sumringah dengan senyuman yang sangat lebar.
“Hai, Om,” sapa Shenina, gadis itu menghampiri pria itu menjulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan pria itu.
“Kirain bercanda kalo kamu beneran pulang ke Jakarta,” kata pria itu sembari mengelus rambut Shenina. Akibat suara pria itu, spontan lima cowok yang sedari tadi berkumpul di lantai dua akhirnya turun ke bawah.
“Shen, kapan sampe?” tanya Bima.
“Baru aja,” jawab gadis itu.
“Papa dari dulu kebiasaan kalo Shenina datang pasti gak bilang-bilang sama kita,” cibir Bagas.
Putra Mahessa Adyaksa, orangtua dari Bagas Danuraja Adyaksa dan Bima Sentana Adyaksa, sosok yang terlihat keras di luar tapi sebenarnya punya hati yang lembut dan bijaksana. Perawakannya besar dan tinggi, perutnya membuncit, ada brewok tipis yang sudah memutih membungkus rahang tegasnya.
“Bidadari!” seru Fathan, tetap cengengesan seperti biasa. “Ada apa?”
Shenina tersenyum manis, sungguh manis bikin lima cowok itu salah tingkah di buatnya. “Ini, gue mau anterin ini buat kalian.”
“Buat kita?” tanya Arsen.
Shenina menggeleng masih dengan senyuman yang seolah tak mau memudar. “Sebenarnya buat Bima, Bagas, dan Om Putra aja tapi karena kalian di sini yaudah buat kalian bareng-bareng aja.”
Shenina menyerahkan goodie bag itu ke tangan Bagas, cowok itu menerimanya, tangannya ngusel-ngusel mencari tahu isi di dalamnya.
“Macaroni schotel!” seru Bagas. Detik kemudian, makanan itu segera di rampas oleh Putra.
“Ini pasti buat Papa, kalian makan yang lain aja. Ini kesukaan Papa,” ketus Putra lalu berlari ke dapur. Shenina terkekeh melihat tingkah absurd Putra. Sementara Bagas dan Bima terlihat tak ambil pusing karena masih ada dua kotak makan lagi di dalamnya.
“Gue pulang, ya,” pamit Shenina.
“Kok buru-buru?” cegah Bagas. “Ikut ngumpul dulu lah.”
“Kita lagi main PS,” sanggah Arsen.
“Main boneka barbie mau gak? Ternyata Bagas koleksi boneka barbie,” ceplos Fathan.
“Setan! Mulut lo gak bisa di rem!” maki Bagas, kalau saja Fathan tak berkelit mungkin salah satu kotak makan itu sudah mendarat mulus ke kepalanya.
Shenina tertawa, bikin mereka berlima makin salah tingkah. Sudah bukan rahasia, Shenina pun tau kalau sahabatnya itu memang fanboy Barbie garis keras bahkan ada satu lemari miliknya penuh dengan boneka barbie.
“Gemas,” gumam Yudith kagum melihat Shenina.
“Om, Shen pamit ya!” teriak Shenina.
“Bima anterin!” jawab Putra dari arah dapur.
“Yudith aja, Om,” sanggah Yudith setengah berteriak. Spontan semua melihat ke arahnya, cowok itu tak bergeming ia mengeluarkan kunci motor dari saku jaket hoodienya, berjalan mendekati Shenina yang mematung menatapnya.
“Ayo.”
“Gu--gue pulang sendiri aja,” jawab Shenina.
“Gue gak nerima penolakan.”
“Nanti main ke sini lagi ya, jagoan!” teriak Putra lagi, masih dari arah dapur.
Gadis itu enggan menjawab, ia melirik kepada yang lain, melempar senyum tipis dan berlalu mengikuti langkah Yudith.
“Rumah gue deket kok,” ucap Shenina saat Yudith sudah menyalakan mesin motornya.
“Biar hemat waktu,” jawab Yudith, tangannya menepuk jok belakang mengode agar gadis itu segera naik ke atas motor. Dengan berat hati Shenina memegang pundak lelaki itu dan duduk di sana. Detik kemudian, motor itu melesat pergi meninggalkan halaman megah kediaman Putra Mahessa Adyaksa. Tak ada pembicaraan di antara mereka berdua, Shenina memilih menikmati semilir angin sore yang menerpa wajahnya, sampai ia tak sadar bahwa Yudith justru membawanya keluar dari kompleks perumahan.
“Loh, kita mau ke mana?” tanya Shenina heran.
“Sebentar aja,” jawab Yudith.
Sekitar 18 menit kemudian, motor itu akhirnya berhenti tepat di pinggir danau. Yudith meminta gadis itu untuk menunggu sebentar sementara dirinya pergi ke sebuah stand minuman tak jauh dari tempat Shenina duduk.
“Ck, ngapain sih ke sini!” gerutu Shenina, gadis itu sendiri merasa tak nyaman dengan situasi ini. Tak lama kemudian, Yudith datang membawa dua es kelapa segar yang masih di dalam batoknya.
“Lo apa-apaan, sih?” tanya Shenina kesal, cowok itu balas menatapnya masih sama datarnya.
“Sorry.” Hanya itu yang ia ucapkan.
“Kalo gak ada kepentingan, gue mau pulang.”
“Sebentar aja, Shen,” lirih Yudith, Shenina hanya diam, pelan ia menghela nafasnya lalu menyeruput es kelapa di hadapannya. Sekitar 15 menit mereka hanya diam, hanya suara deburan air yang mereka dengar dan riuh berisik orang-orang di sekitar mereka.
“Shen,” kini Yudith mulai bersuara.
“Hmm.”
“Lo siapa?”
Gadis itu mendongak, memperhatikan raut wajah Yudith yang serius tapi tetap tanpa ekspresi apa pun. Shenina hanya terkekeh pelan, kembali menyendok parutan kelapa dan memasukan ke dalam mulutnya.
“Gue Shenina,” jawabnya.
“Gue tau, tapi bukan itu jawaban yang gue mau,” tandas Yudith.
“Terus?”
“Gue gak asing sama lo.”
Shenina terkekeh. “Karina bilang, gue mirip mantan lo.”
Yudith tersentak, yang Karina bilang memang benar walaupun bukan mantan sungguhan tapi dirinya memang sangat menyukai gadis itu.
“Tapi gue bukan mantan lo,” lanjut Shenina.
“Lo mirip dia, tapi kenapa gue gak bisa inget siapa dia.”
Shenina tersenyum sinis. “Aneh lo.”
“Cowok itu dateng ke gue, ngasih foto itu dan bilang kalo dia bisa bantu gue, dia yang dimaksud adalah cewek yang mirip sama lo itu,” jelas Yudith.
Shenina terdiam sesaat, matanya menatap lekat ke arah Yudith.
“Cowok itu? Siapa?” tanya Shenina pelan.
Yudith menggeleng, kedua tangannya meraup wajahnya frustasi lalu menjambak pelan rambutnya sendiri. “Gue gak ingat.”
*****
Pagi menyapa, tiga cewek yang baru bersahabat itu sudah berkumpul di dalam kelas. Karina asyik dengan ponselnya, Avika dengan bedak compact di tangannya, sementara Shenina hanya memperhatikan keduanya.
“Si setan kalo bawa motor beneran kayak setan!” cibir Avika sambil memoles wajahnya. “Bedak gue jadi luntur.”
“Kenapa gak bareng Bagas?” tanya Karina.
“Bagas Bima bangun kesiangan abis tanding PS, yaudah terpaksa gue nebeng Fathan.” Ia kembali mengingat kejadian tadi pagi secara tak sengaja bertemu Fathan di depan halte. Sebagai cowok gentle, ia berinisiatif menawari Avika untuk berangkat bareng. Meskipun awalnya gadis itu menolak akhirnya ia menurut saja daripada harus telat sampai ke sekolah.
“Oh iya, Shen.” Kini Karina beralih pada Shenina. “Kemarin lo abis darimana sama Yudith?”
Mata Avika membola, senyuman lebar tercetak di wajahnya, ia bergegas merapihkan alat makeupnya dan ikut menanti jawaban dari Shenina.
“Hmm, cuma ke danau,” jawab Shenina.
“Ngapain?” tanya Avika bersemangat. “Kencan ya?”
Shenina menggeleng tegas. “Ngobrol aja, itu pun gak sengaja.”
“Gak sengaja gimana? Ciee ... PDKT,” seloroh Avika gemas, ia mencubit-cubit pelan lengan Shenina.
“Bisa diam gak, Vik?” Karina menginterupsi, wajah datarnya kini terlihat lebih menakutkan membuat Avika menghentikan aksinya.
“Sorry,” lirih Avika pelan. Shenina hanya terkekeh, ia mengguncang bahu Karina pelan.
“Sepupu lo gak gue apa-apain kok.”
“Kok dia bisa pingsan?” tanya Karina.
“PINGSAN?!” Avika makin melotot dengan suaranya yang super nyaring, kemudian langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
“Gue gak tau, tiba-tiba dia ngeluh sakit kepala terus pingsan,” jawab Shenina, ia kembali mengingat kejadian kemarin saat Yudith memaksa mengingat sesuatu yang terlupakan cowok itu malah mendadak mengerang merasakan sakit di kepalanya. Akibat kejadian kemarin, akhirnya Shenina mengambil alih motor Yudith dan membawa cowok itu kembali ke rumah Putra.
Karina manggut-manggut. “Gue boleh minta tolong sesuatu?” tanyanya.
“Apa?”
“Suatu saat nanti jangan sampai ada hal yang bikin Yudith jadi berpikir keras.”
Shenina hanya diam, ia tak ingin lanjut bertanya. Kejadian kemarin sore dan penuturan Karina barusan cukup memberikannya banyak informasi yang memang sangat ia butuhkan selama ini. Jika para jagoannya di sana memberinya teka-teki, Shenina justru mengolah teka-teki itu menjadi jawaban yang tak di sangka-sangka. Jawaban tentang Yudith dan empat inti Ghaveldaz juga tentang Karina dan kelemahannya.
*****
Sore itu, empat inti Ghaveldaz, serta Karina dan Avika memutuskan berkunjung ke rumah Yudith untuk menjenguk. Selama di perjalanan mereka masih berdebat tentang Shenina yang ngotot gak mau ikut ke rumah Yudith.
“Kenapa gak lo paksa aja sih, Vik?” tanya Fathan.
“Dia bilang ada urusan, masa gue harus kepo juga sama urusan dia,” jawab Avika ketus.
Memilih enggan berdebat lagi, akhirnya mereka melenggang masuk ke rumah megah itu. Kedatangan mereka langsung di sambut Bik Minah, wanita itu mengantar mereka menuju kamar Yudith di lantai dua.
“Bik, bikinin minum, ya,” titah Karina dan diangguki oleh wanita itu. Detik kemudian, Karina sebagai orang yang paling dekat dengan Yudith memberanikan diri untuk membuka pintu kamar yang tak terkunci.
“Hei!” seru Yudith sedikit tertegun melihat kedatangan mereka.
“Kaget, ya,” cetus Fathan cengengesan.
“Sorry, gak ngabarin dulu.” Arsen menghampirinya memberikan salam high five persahabatan. Diikuti Bagas, Bima, dan Fathan.
“Gimana kabar lo, Dith?” tanya Avika.
“Gue gak pa-pa kok,” jawab Yudith.
“Jangan sok kuat,” sanggah Karina, gadis itu mengambil botol obat anti depresan di atas nakas, mengguncang botol itu perlahan.
“Lo gak minum obat?” tanya Karina tegas. Yudith menggeleng pelan, sejurus kemudian Karina membuka botol obat itu, mengeluarkan sebutir isinya lalu menyodorkannya secara paksa kepada Yudith.
“Lo juga minum,” titah Yudith lalu menenggak obat itu.
Karina mengangguk lalu ikut menenggak obat itu dan menelannya hingga tandas. Sedangkan yang lainnya hanya memperhatikan keduanya. Saling melempar pandang, tatapan sendu dan iba terpancar dari wajah mereka.
“Kalian ...” Avika hendak bersuara.
“Gak usah khawatir,” potong Karina.
“Gue pastiin gak akan ada kejadian parah lagi yang menimpa kalian. Gue janji,” sahut Arsen.
Mereka mengangguk, saling menggenggam tangan memberikan kekuatan satu sama lain. Kejadian masa lalu yang cukup mengguncang Yudith dan Karina, sangat membekas di otak mereka. Ingin membalas, tapi mereka tak tahu akan mulai darimana. Mereka hanya ingat, seorang lelaki yang pernah menghampiri mereka di malam insiden itu. Seseorang yang punya peran penting atas kejadian di masa lalu mereka.
****
