KENANGAN LAMA
Lima cowok ganteng bertubuh tegap dan ateletis itu memasuki kantin, kembali desas-desus hangat terdengar merdu. Jika tiga gadis cantik itu di puji-puji para buaya sekolah kini gantian lima cowok yang tergabung dalam Geng Ghaveldaz turut jadi perbincangan para buaya betina minta digaruk.
“Yudith ganteng parah!”
“Tetep si kembar di hati gue,”
“Fathan sih tipe gue.”
“Lo pada buta? Mendingan si Arsen kemana-mana!”
“BERISIK!” teriak Yudith tiba-tiba, entah mungkin telinganya hampir budeg karena jadi omongan cewek-cewek tiap hari.
“Gak usah kegatelan!” sambungnya. Suara-suara itu mendadak berhenti meskipun beberapa di antara mereka justru makin senang ngeliat Yudith lagi mode galak.
“Santai, ngab!” tegur Fathan. Enggan berdebat mereka memilih langsung menuju kursi di mana Avika, Karina, dan Shenina berada.
“Eh, Sayangku,” tegur lembut Bagas sambil merangkul pundak Avika.
“Gak usah pegang-pegang!” sentak Avika sambil menepis tangan Bagas.
“Aseekk, berantem nih!” seloroh Fathan, cengengesan menanti keributan mereka.
“Jangan cepu lu, setan!” kesal Bagas, ia melirik Avika yang masih cemberut.
“Cantiknya aku kenapa?” goda Bagas.
“Kamu kenapa gak jujur?” Suara Avika meninggi.
“Jujur apa?”
“Tadi pagi aku suruh jemput, tapi kamu nolak. Ternyata kamu bareng Shenina? Kenapa gak bilang sama aku?”
“Maaf, Yang.”
“Gara-gara kamu, aku hampir percaya sama Fathan!” kata Avika.
“Fathan, lo bilang apa sama cewek gue?” tanya Bagas berdecak.
“Gue bilang lo selingkuh sama anak baru,” jawab Fathan santai.
“Anjing, babi, setan!” maki Bagas, tangannya berusaha menghunus Fathan dengan garpu. Melihat itu Shenina bergerak melerai, menenangkan keduanya agar tak lagi bertengkar.
“Berhenti, Gas!” titah Shenina, cowok itu hanya menurut, tangannya meraih kerupuk di dalam kaleng yang memang di sediakan di atas meja kantin, melahapnya dengan kasar.
“Eh, kita belum kenalan.” Fathan, cowok itu menatap Shenina seraya tersenyum lebar.
“Pindahan dari mana?” tanya Arsen, cowok yang keliatannya lebih rapih dan kalem di antara yang lainnya.
“Nama gue Shenina, gue dari Bandung,” jawab gadis itu singkat, senyumnya melebar menatap mereka semua.
“Kok, lo bisa bareng sama Bagas?” tanya Fathan.
“Sohib kecil gue,” sanggah Bima sambil menyeruput gelas es teh manis milik Bagas.
Mereka semua manggut-manggut, kecuali Yudith cowok ini hanya diam memperhatikan Shenina yang duduk tepat di sebelahnya. Menatap gadis itu di setiap rincian wajahnya.
“Kayak gak asing,” lirih Yudith. Shenina menoleh, mata indahnya membola menatap Yudith yang semakin intens memandangnya.
“Gue pernah lihat lo, tapi gue lupa lihat di mana.”
“Ngaco!” sanggah Bagas. “Dia aja baru balik dari Bandung,”
Shenina mengangguk. “Mungkin muka gue pasaran.”
“Anjir! Muka kayak lo mah cuma ada di khayangan,” sahut Fathan.
BRAK !!
Karina menggebrak meja, memutus suara berisik yang mengganggunya.
“Kalian ributin apa sih?!” sentak Karina dengan wajah datarnya. “Ganggu orang makan.” Ia bangkit dari kursinya menarik tangan Shenina dan berlalu dari sana.
“Kar, si Avika kok ditinggal?” tanya Shenina ketika menyadari Avika tak ikut di tarik oleh Karina.
“Biarin aja, jam segini jadwalnya dia ngebucin sama Bagas.”
Shenina terkekeh pelan, ia memilih menurut saja, mengikuti langkah Karina yang membawanya ke kursi yang berada di depan salah satu kelas.
“Sorry, ya,” ucap Karina tiba-tiba.
“Sorry buat apa?” Shenina mengernyit heran.
“Yudith gak sopan.”
“Ooh, gak pa-pa. Mungkin dia emang pernah liat gue.”
Karina menggeleng. “Lo mirip mantannya dia.”
Shenina diam, matanya mengerjap tertarik dengan ucapan Karina barusan.
“Bukan mantan sih, dia pernah suka cewek yang ada di dalam foto. Dia halu, bilang kalo cewek di foto itu pacarnya dia.”
Shenina tertawa kecil. “Kok bisa sih halu sama foto?”
Karina mengedik bahunya. “Dia pernah punya masa lalu yang aneh, gue juga bingung dan gak ngerti apa maksudnya.”
“Hmm ... Yudith siapa lo?” tanya Shenina memastikan.
“Sepupu gue,” jawabnya singkat.
Bel kembali berbunyi, pertanda jam istirahat telah usai. Perlahan tiap koridor mulai sepi, semua siswa berhambur masuk ke kelas mereka masing-masing.
****
Gadis bernama Shenina itu, membanting tubuhnya di atas kasur, matanya menerawang memandang langit-langit kamarnya.
“Yudith ...,” lirih nya pelan. “Karina?”
Ia bangkit dari kasurnya, perlahan membuka lemari kecil yang terletak di samping tempat tidurnya. Tangannya mengacak-acak, mencari sesuatu di dalamnya. Detik kemudian, ia mendapatkan selembar foto yang sudah usang. Foto seorang laki-laki remaja berusia sekitar 14 tahun terpampang di sana.
CEKLEK !
Pintu kamarnya terbuka, seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik dan segar masuk ke dalamnya.
“Udah pulang? Kok gak bilang-bilang Bunda?” tanya wanita itu sambil memeluk Shenina.
“Maaf, Bun.” Gadis itu membalas pelukan sang ibu.
“Lagi mikirin apa?”
Shenina menyerahkan foto ke tangan Nicky Zevionna, sang Bunda, wanita yang usianya hampir menginjak setengah abad itu tersenyum tipis.
“Udah ketemu?” tanya Nicky.
Shenina mengedik bahu. “Kak Jhovan ngasih fotonya gak jelas, foto usang begitu gak keliatan jelas mukanya.”
Nicky mengecup kening Shenina, kembali memeluk gadis itu memberikannya kekuatan.
“Bunda sabar ya, Shenina akan balas semuanya untuk, Bunda.”
Wanita itu tersenyum, menyeka setetes air yang hampir jatuh di sudut matanya. “Bunda percaya sama kamu,”
*****
Di sisi lain, Bagas, Bima, dan Fathan terlihat menikmati permainan basket asal-asalan mereka. Sebenarnya bukan asal-asalan tapi mana ada main basket cuma bertiga! Sedangkan Yudith dan Arsen memilih jadi penonton aksi absurd mereka.
“Lo kenapa?” tanya Arsen.
Yudith menggeleng. “Menurut lo?”
“Gue nanya, kenapa lo nanya balik!”
Yudith tersenyum tipis. “Gue keinget Shenina,” jawabnya tiba-tiba.
“Shenina si anak baru itu? Lo masih yakin pernah ketemu dia?”
Yudith megedik bahu, matanya masih fokus memandangi teman-temannya yang terlihat makin cape makin ngaco.
“Yakin tapi gue lupa di mana, mungkin dalam mimpi,” jawab Yudith.
“Yah, bangsul!” caci Arsen. “Halu mulu tiap ngeliat cewek cantik!”
Mereka berdua tertawa tipis. Bima terlihat mengakhiri permainannya, melangkah menghampiri Yudith dan Arsen meninggalkan Fathan dan adiknya melanjutkan permainan.
“Capek gue!” keluh Bima sambil menenggak botol air mineralnya lalu sedikit mengguyur ke wajahnya.
“Pelan-pelan, keringat lo nular!” cibir Arsen saat air itu sedikit menyiprat ke wajahnya. Bima hanya cengengesan, lalu mendudukan pantatnya di sebelah Yudith.
“Bim,” tegur Yudith.
“Hmm,”
“Lo tau di mana rumah Shenina?” tanyanya tiba-tiba.
“Tau. Kenapa?”
“Main, yuk,” ajaknya.
Mata Bima dan Arsen melotot, saling pandang lalu kembali menatap Yudith heran. Entah kesambet apa, Yudith Arsakha Nathanael cowok yang terkenal dengan sifat dingin dan galaknya ini tiba-tiba pengen nyamperin cewek.
“Kita harus syukuran,” kata Arsen.
“Oke, kita bikin tumpeng,” jawab Bima.
“Bangsat!!!” maki Yudith, cowok itu mendadak kesal mendengar cibiran Arsen dan Bima. Ia memilih bangkit dari podium, berlalu meninggalkan teman-temannya.
*****
Cowok berkulit putih dan berwajah datar itu duduk di sofa rumahnya. Membiarkan seragam sekolahnya masih menempel di tubuhnya.
“Tuan muda, mau Bibik buatkan air hangat?” tegur Bik Minah, seorang ART di rumah megah itu.
“Gak usah, Bik,” tolak Yudith. “Bikinin teh tawar anget aja.”
Bik Minah mengangguk, berlalu menuju dapur. Di tengah ruangan temaram itu, Yudith memejamkan matanya, kepalanya masih berputar tentang Shenina gadis yang langsung mencuri setengah isi otaknya hanya untuk memikirkannya.
“Gue yakin pernah ngeliat lo, tapi dimana?” lirih Yudith bermonolog.
Ia kembali menerawang, mengingat sisa masa lalunya yang mungkin masih menempel. Kecelakaan motor tiga tahun lalu membuat sebagian ingatannya menghilang walaupun Yudith berhasil mengumpulkan serpihan kenangan tapi tetap saja kenangan-kenangan kecil tak bisa ia ingat kembali.
“Aaarggghh!” pekik Yudith, ia meraup wajahnya dengan kasar. Tak lama kemudian, Bik Minah muncul membawakan segelas teh hangat.
“Ada lagi, Tuan?”
Yudith menggeleng. “Makasih, Bik.”
“Saya permisi dulu.”
“Eh, tunggu, Bik.” Yudith menghentikan langkah Bik Minah, wanita yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarganya itu.
“Yudith mau tanya.”
“Tanya apa, Tuan?”
“Dulu pernah ada cewek yang deketin Yudith gak?” tanyanya, Bik Minah mengernyit mencoba mengingat sesuatu karna bagaimanapun dirinya lah yang paling mengenal Yudith, anak yang ia kenal sejak masih di dalam kandungan Ibunya.
“Gak pernah, Tuan,” jawab Bik Minah. “Selama ini, cuma Non Karina yang sering mondar-mandir bertamu ke sini.”
Yudith manggut-manggut. Seingatnya memang hanya Karina satu-satunya perempuan yang masuk ke hidupnya. Bik Minah berangsur meninggalkan Yudith, membiarkan anak majikannya itu menyeruput teh hangatnya.
“Shenina ...,” lirih Yudith pelan diselingi helaan nafasnya. Malam itu, ia tertidur di sofa lengkap dengan seragam sekolahnya dan isi kepala yang bergulat tentang Shenina.
