Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Nasip Tragis

Benar benar tragis nasipku, aku selalu berpikiran kenapa harus aku yang terlahir di dunia ini dengan keadaan seperti ini?

Oh ya Tuhan, aku yakin Tuhan ku Maha Adil. Aku tau di luar sana masih banyak mereka yang lebih kurang dariku.

Tapi, apa yang bisa di harapkan dari seorang anak penjual roti bakar janda ini? Ayahku meninggal dua tahun yang lalu, tepatnya saat aku mulai duduk di bangku sekolah SMA. Dan saat aku berhasil mendapatkan beasiswa,aku harus menelan kenyataan pahit bahwa ayahku tidak ada. Beliau yang ingin aku banggakan telah pergi begitu saja. Tak apa ayah, aku janji akan berusaha untuk membuat Ayah bangga di sana. Dan karena aku hanya hidup bersama ibuku, Jadilah ibuku bekerja sebagai tulang punggung keluarga.

Apa yang bisa aku harapkan untuk masa depan ku? Hanya mengandalkan keahlian memanggang kue di atas mentega panas? Atau hanya sekedar mengharapkan beasiswa dengan segala ketertindasan ini?

Tidak cantik, cupu, jelek, dekil. Bahkan aku malu untuk memandangi kaca saat diriku terpantul di sana. Aku ingin sekali bertopeng untuk menutupi wajah jelekku ini. Oh tidak, tidak bukannya aku menghina ciptaan Tuhan ku. Tentu saja tidak. Tuhan sudah memberikan sesuatu yang berharga untuku, yang sama dengan manusia pada umumnya. Namun, sayangnya aku tidak menjaga dan merawat wajahku ini. Jadilah sekarang aku kena batunya, wajahku jelek, hitam. Bahkan aku malu berdekatan dengan Ray, pria itu berkulit putih, wangi, dan sangat tampan.

Kadang aku berpikir. Apa mungkin aku bisa berjodoh dengan laki laki seperti Hero? Dan tanpa banyak berpikir aku langsung menemukan jawabannya. Tidak. Tidak mungkin, karena jodoh adalah cerminan diri sendiri. Mana mungkin Hero mau dengan wanita sepetiku? Aku tau selera pria itu pasti tinggi tinggi sekali, kiri kanan ku lihat saja banyak pohon cemaraa ah ah.. ada apa aku ini? Lama lama aku gila membayangkan wajah tampan pria itu.

Oh stop, Ica. Pertahankan kekokohan tembok benteng kejombloanmu ini. Jangan sampai sebelum kamu benar benar lulus SMA kamu malah terlibat cinta cintaan. Ingat Ica, jatuh cinta itu ribet, dan sakit hati adalah konsekuensinya. Huftt.. sudahlah, aku tidak mau larut dalam suasana kebaikan Hero. Nanti aku akan salah mengartikan kebaikan pria itu lagi, sudahlah aku lelah.

Oh ya pikir pikir, tadi aku sempat marah marah sama Hero. Teman sehariku yang baik sekali. Aku tidak habis pikir, pertemuan dan perpisahan sesingkat itu. Tapi, aku bersyukur masih ada seseorang yang berniat baik menjadi temanku.

Sore ini aku berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Tanpa kaca mata tentunya, makannya aku sedikit berhati hati dengan jalanku. Jarak tempuh sekolah sampai rumahku adalah lima kilo meter. Tidak jauh bila di tempuh menggunakan kendaraan bertenaga disel. Tapi, cukup melelahkan bila di tempuh dengan kendaraan bertenaga betis kaki dan segala urat uratnya ini. Hihihi jadi, tidak perlu di ragukan lagi seberapa besar betis kakiku yang hitam ini. Ah sudahlah,kenapa jadi betis kaki?

"Ica," panggil ibuku dari kejauhan saat beliau tidak sengaja melihat putri semata wayangnya ini pulang sekolah sambil membawa beberapa rasa penat yang tak terhingga.

Senyum di sudut bibirku terpaksa aku keluarkan saat ibu menyapaku dengan senyum tulusnya,

"Kamu, kaca mata kamu mana?"

Rasanya sakit melihat kekawatiran ibu saat beliau tau aku tidak menggunakan kaca mata pemberian Ayahku tiga tahun yang lalu. Aku tidak ingin ibu membuang uangnya untuk membeli kaca mata baru. Aku ingin ibu menggunakan uangnya untuk mencukupi kebutuhan sehari hari.

Ibu, aku tau. Di balik senyum tipismu itu ada raut terluka. Aku tau, di balik keriputnya kulit pipimu ada sebuah kenangan yang terukir pahit. Ibu, aku tau di balik kasarnya tanganmu ada sebuah jerih payah yang tak terkira demi suapan nasi untuku. Ibu, aku berjanji. Aku akan berusaha menggantikan lelahmu ini dengan kesuksesanku di hari tuamu.

Benar benar mataku memanas melihat kekawatiran ibu cantiku ini. Sisa sisa kecantikan di wajah tuanya masih selalu bisa ku lihat. Wanita tercantik di dunia untuku, aku ingin sekali seperti ibu. Beliau adalah sosok yang selalu menginspirasi seorang Ica hingga bertahan sejauh ini. Aku ingin ibu benar benar bisa menangis karena bangga melihatku sukses nanti.

Aku yakin, semua ibu di duni ini sama. Mau kaya ataupun miskin tetap selalu sama. Ibu selalu ingin anaknya bahagia. Meskipun harus membanting sisa tenaganya di hari tua.

"Ibu, Ica masuk dulu ya. Terus kita ke pangkalan," kataku mengalihkan topik kekawatiran ibu.

"Kamu makan dulu, Ca. Ibu gorengin kamu ikan asin," kata ibu sambil mengelus rambut berkepangku.

Aku tersenyum untuk menghargai usahanya. Ibu, terimakasih karena selalu ada. Ica bersyukur dengan kesederhanaan Ibu. Ica banyak belajar arti kehidupan dari Ibu.

"Ibu udah makan?" Tanyaku yang membuat ibu kembali tersenyum. Namun, kali ini berbeda. Itu adalah senyum paksaan, aku tau artinya ini.

"Ibu udah makan. Ibu makan banyak tadi, sekarang Ica makan ya.."

Bohong. Aku tau, wajah tua itu bohong. Ibu belum makan. Pasti ibu tidak memiliki cukup uang untuk membeli beras. Dulu, karena bapak sakit ibu terpaksa harus berhutang ke tetangga. Dan sampai saat ini, ibu belum sanggup membayar lunas semua hutangnya. Hasil jualan roti bakar habis untuk membayar hutang dan membeli kebutuhan roti bakar lagi. Dan itu tidak lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari hari.

"Ibu, ibu makan bareng Ica ya?" Tanyaku sambil menggandeng tangannya.

Ibu menggelengkan kepala. Aku tau ibu berbohong. Beliau belum makan dan beliau keras kepala. Lebih baik aku yang mengosongkan perut seharian dari pada melihat ibuku kelaparan.

"Ibu udah makan, Ca. Sekarang Ica makan ya," kata Ibu kemudian melepaskan gandengan tanganku.

"Ica tau ibu belom makan, Ica nggak mau makan kalau ibu nggak makan,"

Ibu akhirnya luluh juga. Beliau menganggukan kepalanya untuk mengikuti langkahku masuk ke dalam rumah bertembok retak ini.

Aku mengambil sepiring nasi putih dengan ikan asin yang sudah di siapkan ibu di atas meja. Hanya itu yang tersisa di atas meja, tidak ada makanan lain. Aku yakin, ibu hanya punya ini untuk di hidangkan.

Aku makan bersama ibu, beliau makan dengan lamunannya. Aku tidak tau, apapun yang di pikiran ibu. Yang aku tau, banyak beban yang ia tanggung di pundak tuanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel