Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Ancaman

Aku berlari tak tau arah, mataku memanas. Aku tidak kuat lagi mendengarkan lontaran kalimat pedas mereka untuku. Katakan saja aku cengeng, memang benar adanya. Hatiku kecil, dan aku tidak sanggup menerima semua perlakuan pahit mereka setiap harinya.

Orang orang menatapku dengan tatapan aneh saat aku berjalan sambil menyeka kedua mataku yang berkeca mata. Aku melepas kaca mataku saat kacanya mengembun. Dan saat itu juga seseorang menabraku dengan sangat keras. Kaca mata itu lepas dari genggaman tanganku. Dan aku bisa memastikan kaca mata itu pecah karena benturan yang cukup keras.

"Kacamataku," gumamku di iringi tawa semua orang yang ada di sana.

Pandanganku memburam sambil mencari cari kacamataku yang jatuh di bawah.

"Uppsss maaf," kata seorang wanita yang entah aku tidak dapat melihatnya dengan jelas.

Aku menemukan kaca mataku dan benar saja, benda itu sudah hancur karena kacanya yang pecah. Air mataku tak dapat di bendung lagi. Bagaimana cara aku membeli kaca mata lagi? Hanya untuk sekedar membeli novel saja setengah mati aku mengumpulkan uang. Lalu untuk Kaca mata? Ini adalah pemberian Almarhum bapak dulu. Aku harus apa? Aku tidak bisa lagi membeli kaca mata baru.

Di tengah tangisanku, seseorang memegang pergelangan tanganku. Memaksaku untuk bangkit berdiri. Aku tau siapa pria ini. Dari aroma tubuhnya dan bayangan bayangan tubuhnya.

"Ica kamu nggak papa?" Tanyanya dengan nada kekawatiran.

Aku menggelengkan kepalaku sambil menyeka air mata yang terus saja keluar dari sudut mataku.

"Diem semuanya! Ada yang lucu ? Hah!" kata Hero tegas ke semua siswa yang masih tertawa renyah di sana. Dan ketika itu juga semuanya diam. Hanya terdengar suara bisik bisik yang masih bisa aku dengarkan.

"Ica kaca mata kamu rusak," katanya yang membuatku tersenyum. Aku tidak ingin Hero tau kesusahanku.

"Iya nggak papa kok, Hero.." kataku yang membuat Hero menarik pergelangan tanganku untuk berjalan pergi dari sana.

"Hero, pelan pelan. Aku nggak bisa jalan cepet cepet," kataku jujur.

Hero pun melepaskan pegangannya di pergelangan tanganku. Pria tampan itu berhenti di sebuah gang sepi arah ke aula. Aku masih bisa menebaknya dengan sebelah mataku yang masih terlihat agak jelas.

Hero mendengus kesal sambil memijat kepalanya sendiri. Pria itu terlihat gusar dengan aku yang hanya berdiri diam di hadapannya.

"Hero terimakasih," kataku akhirnya memulai bersuara sambil tersenyum untuk bantuan Hero yang berulang kali ia lakukan untuku.

"Ica. Kamu selalu dapet perlakuan kayak gitu dari mereka?" Kata Hero yang mengubah topik penbicaraan.

Senyumku pudar seketika saat Hero memegang kedua bahuku. Aku harus jujur atau bohong? Aku tidak tau, aku bingung, entahlah.

"Jawab aku, Ca! Kamu selalu di bully kayak gitu? Kenapa?"

"Enggak kok," elakku yang membuat Hero tersenyum miris menatapku.

Aku menundukan kepalaku. Menyembunyikan tatapan takut dari mataku yang masih basah karena air mataku yang tak berhenti mengalir.

"Kamu terima mereka rendahin kamu kayak gitu?" Tanya Hero yang membuatku menggelengkan kepala.

"Kamu selalu di bully kayak gitu?"

Aku mengangkat wajahku, melihat ke arah Hero dengan napas tak beraturannya. Pria itu terlihat sedikit marah. Entah apa yang membuatnya marah. Aku tidak tau, yang jelas Hero nampak sedikit emosi dari nada bicaranya barusan.

"Kenapa mereka bully kamu, Ca?"

"Mungkin karena aku berbeda," jawabku yang menarik perhatian Hero.

"Aku nggak sama kayak kalian, Hero. Aku miskin, aku bukan dari keluarga menengah ke atas seperti kalian. Aku jelek, aku cupu dan aku dekil," jelasku melanjutkan ucapanku tadi.

Hero tampak menggelengkan kepalanya sambil tersenyum miring. Apa yang ada di pikiran pria itu? Aku sendiri tidak tau, pria ini selalu bersikap aneh padaku. Aku pikir, perlakuan Hero sangatlah sepesial, karena jarang sekali orang lain memperlakukan aku dengan baik. Hero adalah teman baik keduaku setelah Mela.

"Terus kenapa? Kenapa harus dengan cara kayak gini? Status sosial nggak bakalan jadi penghambat kamu buat kamu punya temen dan di hargai, Ca. Mereka nggak tau kamu, mereka nggak kenal kamu. Mereka hanya sebatas melihat penampilan luar kamu," jelas Hero menggebu nggebu.

Aku tersenyum miris. Sangat miris membayangkan ucapan mereka yang seakan selalu benar setiap harinya.

"Nggak papa kok Hero.Lagian mereka benar. Aku aja yang berlebihan. Seharusnya aku sadar diri, kita nggak bisa temenan. Kamu nggak pantes temenan sama perempuan rendah kayak aku, Hero. Dan mereka bener, seharusnya kamu jauhin aku seperti mereka," kataku ke arah Hero.

Hero melihat ke arahku. Lekat, sangat lekat. Membuat jantungku kembali bereaksi dengan detaknya yang semakin kuat. Dadaku sesak, seperti ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam sana, selalu saja setiap kejadian seperti ini, nyawaku seakan meronta ingin segera di keluarkan dan di bebaskan dari segala ketakutan.

"Berteman sama siapapun nggak ada salahnya, Ca. Aku nggak pernah bedain teman. Aku nggak peduli siapapun mereka, asal mereka baik dan bisa jadi teman aku. Aku nggak peduli, jadi kamu jangan dengerin mereka ya,"

"Udah lah, Hero.Berehenti peduli sama aku. Kamu cuma sekedar kasihan sama aku. Lebih baik kita jauh jauh. Anggep aku bukan temen kamu dan sebaliknya. Aku nggak mau mereka semakin gencar bully aku. Dan lebih baik, kamu jangan pernah lagi temuin aku, Hero." Tegasku yang membuat Hero tidak terima dengan keputusan sebelah pihak dariku.

"Kamu apa apaan sih, Ca? Masa temenan aja nggak boleh? Kamu kenapa sih?"

"Kamu boleh temenan sama siapapun. Bebas, kamu bisa temenan sama semua siswa di sekolah ini. Asal bukan aku, mereka nggak akan suka kamu temenan sama aku," jelasku yang membuat Hero menggelengkan kepalanya.

"Aku nggak peduli, Ca. Mau satu sekolah nggak suka aku temenan sama kamu. Tandanya aku bisa tau, ada satu orang yang baik di antara mereka semua yang jahat."

Ada satu orang yang baik di antara mereka semua yang jahat.

Kata kata itu seakan masuk ke adalam pikiranku. Apa maksut dari ucapan Hero itu. Aku masih tidak paham. Intinya, aku hanya tidak ingin ke populeran Hero menurun karena ulahku. Aku tidak ingin Hero juga menjadi sasaran empuk anak anak lain karena berteman denganku.

"Nggak bisa Hero. Udah ya, lebih baik begini. Anggap kita nggak saling kenal."

"Kenapa sih, Ca?"

"Nggak papa. Intinya semuanya cukup. Terimakasih Hero."

"Kasih aku alesan kenapa kamu kayak gini? Jangan cuma karena bullyan dari mereka kamu kayak gini,"

"Hero, aku cuma nggak mau kamu di bully sama mereka karena kamu temenan sama aku. Aku nggak mau nama baik kamu yang udah populer jadi rusak karena kamu temenan sama aku. Jangan korbanin semua yang udah ada di dalam citra diri kamu buat cuma sekedar temenan sama gadis cupu kayak aku," jelasku kemudian segera berlalu pergi dari hadapan Hero yang masih mencoba mencerna semua kata kataku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel