Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Ica

Hari ini aku masih sendiri. Tidak ada Mela, sahabat baikku yang menemani aku di sekolah ini. Mela pulang besok dari Probolinggo. Hari hariku semakin sepi, tidak ada candaan dari Mela yang biasa kami lakukan. Tidak ada pembahasan soal Matematika bersama Mela di kelas saat jam istirahat sekolah di mulai.

Seperti saat ini. Selesai dari perpustakaan saat jam istirahat pertama di mulai. Usai mengembalikan buku novel yang sudah aku baca, aku berniat untuk kembali ke kelasku lagi.

Di tengah perjalanan menuju kelas, langkahku terhenti saat mataku tak sengaja melihat ke arah seorang laki laki yang sama juga melihat ke arahku.

"Hero," gumamku pelan. Melihat wajah pria itu membuatku kembali teringat ucapan ucapan pedasku kemarin sore pada Hero. Seharusnya aku tidak bica seperti itu. Benar katanya, dia bebas untuk berteman dengan siapa saja. Kalau Hero telah memutuskan untuk berteman dengaku tandanya dia sudah siap dengan segala konsekuensinya.

Aku menundukan kepalaku. Merasa bersalah melihat Hero yang ternyata malah berjalan ke arahku.

"Ica," katanya kemudian memegang kedua bahuku.

Aku mengangkat kepalaku. Oh ya, hari ini aku sekolah tanpa kaca mata. Apakah bisa? Jawabannya adalah tidak. Seharian ini aku pusing karena tidak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran yang di jelaskan di depan kelas. Meskipun aku duduk di meja paling depan, namun semua tulisan di papan tulis itu seakan berkumpul menjadi satu membentuk kubu yang sulit aku pahami.

"Maafin aku ya, Ca. Aku kemarin udah egois sama kamu," kata Hero yang membuat keningku berkerut.

"Aku harusnya tau posisi kamu, Ca. Dan nggak seharusnya aku maksa kamu buat tetep temenan. Aku harusnya ngertiin kamu dalam kondisi tertekan kemarin. Ca, yang harus kamu tau. Aku nggak seperti mereka yang berteman kalau ada maunya aja. Aku emang niat mau temenan sama kamu. Dan aku harap semoga aku tetep bisa temenan sama kamu," jelasnya yang membuat aku kembali menundukan kepala.

Terdengar miris bukan? Anak manusia yang ingin sekali mempunyai teman yang tulus tapi sulit mendapatkannya. Aku sudah menganggap bahwa mereka semua tidak ada yang mau berteman dengan gadis sepertiku. Mereka hanya mencari keuntungan dariku. Padahal, tanpa mereka minta aku akan dengan senang hati membantu mereka. Asal mereka mau menjadi temanku. Apa susahnya? Aku hanya ingin teman, teman yang baik, dan teman yang tulus seperti Jamela.

"Nggak papa," jawabku singkat.

"Ca, harusnya kamu jangan diem aja kalau kamu di rendahin kayak kemarin."

Aku mengangkat kepalaku mendengar ucapan Hero. Apa maksutnya? Aku sudah pernah mencoba untuk melawan mereka semua. Semua, tidak hanya satu. Dan aku hanya sendiri tanpa orang lain yang membelaku. Mereka sama sekali tidak menghargai aku sebagai bagian dari mereka. Kalau melawan mereka tanpa bekal, aku yakin mereka akan semakin gencar merendahkan aku.

"Udah lah, semuanya bakal sia sia Hero. Aku udah pernah nyoba buat nentang keinginan mereka yang semena mena sama aku. Tapi apa? Hasilnya nihil. Sama aja," kataku sambil berjalan untuk duduk di kursi panjang di sana.

"Kamu bisa buktiin ke mereka kalau kamu nggak kayak gitu,"

Aku menoleh ke arah Hero yang ikut duduk di sampingku.

"Nggak kayak gitu gimana? Udah kenyataan Hero aku kayak gitu. Kamu aja yang nggak tau aku siapa. Aku sama seperti yang mereka sering bilang," jelasku yang membuat Hero menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Aku pikir kamu udah tau diri kamu sendiri. Ternyata kamu nggak kenal sama diri kamu sendiri,"

Apa maksutnya? Aku mengangkat sebelah alisku. Aku masih gagal mencerna segala kalimat Hero barusan. Siapa dia sampai bisa menyimpulkan aku seperti itu?

"Maksut kamu?" tanyaku bingung.

Hero memutar posisi duduknya hingga menghadap ke arahku. Wajahnya terlihat sangat serius.

"Ca, coba deh kamu tanya ke diri kamu sendiri. Ada nggak kelebihan kamu?"

Aku menggelengkan kepalaku sambil terus melihat ke arah Hero.

Hero berdecih sambil memukul kepalaku membuatku mengaduh kesakitan.

"Aduh, kok di pukul sih. Sakit," kataku yang membuatnya tersenyum senang.

"Abis kamu sih ngeselin banget. Ya mana ada orang di dunia ini yang nggak punya kelebihan sama sekali," jelasnya yang membuatku berpikir kembali. Benar juga kata Hero. Lalu apa kelebihanku?

"Terus apa kelebihanku?" Tanyaku asal. Entah dari mana kalimat itu tiba tiba saja keluar dari dalam mulutku sendiri

"Tanya ke diri kamu sendiri," jawab Hero.

"Nggak ada. Adanya aku jelek, aku hitam, aku cupu, aku dekil, dan aku.."

"Huusss..stop. Berhenti rendahin diri kamu sendiri, Ca. Kamu nggak kayak gitu," cegahnya yang membuatku berhenti berbicara.

Ada apa dengan pria ini. Selalu berkata "kamu nggak kayak gitu," sepertinya aku harus menyarankan Hero untuk membeli Insto agar matanya lebih jernih saat melihatku.

"Udah lah Hero. Udah, biarin aja mereka kayak gitu, aku nggak mau ribet ribet."

"Kamu mau terus bertahan sama kondisi kayak gini?"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Kamu mau terus di bully setiap hari?"

Aku menggelengkan kepalaku lagi.

"Kamu suka mereka injak injak harga diri kamu?"

Aku menggelengkan kepalaku lagi.

"Aku nggak nyuruh kamu untuk jadi orang lain. Cukup lihat diri kamu sendiri, Ca. Ada yang lebih baik dalam diri kamu sendiri yang selama ini orang lain nggak tau,"

"Apa?" Tanyaku penasaran.

"Yang bisa jawab cuma kamu sendiri, tapi aku bisa bantu kamu, Ca."

"Jawab apa?" Tanyaku polos karena aku benar benar tidak tau.

"Tuh kan, kamu aja nggak kenal sama diri kamu sendiri. Selama ini kamu cuma tau kamu Ica dan kamu Pinter kamu sekolah dan kamu bantuin orang tua, itu kan?"

Tunggu tunggu. Ada sesuatu yang membuat aku kembali berpikir dengan ucapan Hero tadi. Apa yang Hero tau dari kehidupanku selama ini?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel