4. Dekil
Aku berjalan lesu untuk pergi ke ruang kelasku. Semalaman aku tidak tidur karena kebetulan dagangan ibu ramai pembeli hingga tengah malam. Jadilah aku harus pulang ke rumah subuh tadi setelah berbelanja kebutuhan dagang besok.
Hari ini aku benar- benar lelah. Sangat lelah.
Dan aku berharap, semoga mereka berlima tidak menggangguku lagi.
Dengan langkah gontai aku berjalan pelan untuk pergi segera menuju ruang kelasku. Sesampainya di kelas, aku segera masuk dan duduk di bangku mejaku.
Mereka melihatku dengan tatapan jijik dan aneh. Aku tidak pempedulikan itu karena itu adalah hal yang biasa aku terima.
"Heh cupu!" Panggil Bunga yang membuat aku menoleh ke arahnya dengan malas.
"Nggak punya temen kan lo?"
Baiklah, memang benar. Mela tidak masuk dua hari ke depan. Dan aku sendirian. Pastilah mereka puas mengerjaiku hari ini.
"Dari pada lo nganggur, mending lo kerjain PR gue deh,"
Ya Tuhan. Sabar Ca. Ini adalah bagian dari suksesmu. Aku yakin, semua kesabaranku ini akan berbuah suatu saat nanti.
Aku menganggukan kepalaku menerima perintah mereka. Bukan karena aku tidak bisa menolak atau membantah keinginan mereka. Aku melakukan ini karena aku tidak cukup memiliki tenaga melawan mereka dengan uang yang berkuasa di atas segalanya.
Aku mulai mengerjakan pekerjaan rumah Bunga. Untung saja aku sudah mengerjakan pekerjaan rumahku. Aku sengaja mengerjakan PR Bunga agak lama. Biar yang lain juga tidak menyuruhku. Tanganku sangat pegal, tapi aku tidak bisa berbuat apa apa.
Aku melirik sekilas ke arah tempat duduk bunga dan teman temannya. Tidak ada wanita itu di sana. Di mana Bunga dan Sindi? Hanya ada Cila, Ellang dan Rangga.
"Heh cupu! Buruan kerjain. Jangan mentang- mentang itu Pr Bunga, dan Bunga nggak ada lo berhak macem- macem ya!"
Aku menghela napasku kesal mendengar ucapan dari Ellang itu. Dia pikir aku ini apa? Aku juga manusia yang punya capek dan pegal di tangan saat harus menulis kembali ribuan huruf di buku tulis ini.
Aku kembali menulis di atas buku tebal yang sebenarnya ingin sekali aku coret coret wajah si pemiliknya. Sabar Ica sabar.
Tak lama dari itu, Bunga datang bersama Sindi masuk ke kelas. Wanita itu tampak menggerutu karena roknya yang sedikit basah. Berarti Bunga selesai dari kamar mandi. Ah apa peduliku. Yang terpenting aku sudah selesai menyelesaikan tugas Bunga ini. Dan bisa segera mengistirahatkan tanganku.
Aku berjalan ke arah Bunga. Mengembalikan buku tebal miliknya yang sudah ku isi dengan coretan tinta tanganku.
"Ini," kataku yang membuat senyum licik Bunga keluar dari wajahnya yang cantik.
"Bagus," katanya kemudian melipat kedua tangan di depan dada.
"Heh Dekil, beliin kita minum di koperasi. Sekarang!" kata Rangga sambil melemparkan uang seratus ribuan ke arahku.
Benar benar, mereka tidak menghargaiku sebagai manusia di sini. Setelah memanggilku dekil, cupu, mereka melempariku dengan lembaran uang berwarna merah. Aku sangat kesal, namun aku tak berdaya.
"Buruan! Tunggu apa lagi lo. Gue udah haus!" Kata Sindi dengan suara kerasnya ke arahku.
Aku menganggukan kepalaku dengan segera. Aku takut mereka akan mencelakaiku lagi nanti.
Dan saat aku hendak berjalan menuju pintu keluar kelas. Tanpa sadar dengan langkahku, ternyata Ellang memajukan sebelah kakinya. Hingga menghadang jalanku. Aku pun terjatuh tersungkur di lantai depan kelasku.
Sangat sakit. Aku juga sedikit kaget. Saat aku terjatuh, mereka pun tertawa keras ke arahku. Bahkan Sindi dan Cila sampai menangis karena menertawaiku. Aku ingin sekali menangis, sakit, setiap hari mendapatkan perlakuan seperti ini. Kalau bukan karena Ibu, aku tidak akan bertahan dengan situasi seperti ini.
"Heh tukang roti bakar! Buruan lo berdiri! Nggak usah manja deh, buruan ke koperasi! Lo mau sampai kapan kayak gitu? Biar di lihatin guru? Biar iba gitu sama lo!"
Aku memejamkan mataku sejenak mendengar gertakan keras dari Bunga ke arahku. Aku segera bangkit berdiri. Tidak memperdulikan tatapan tatapan aneh dari siswa siswi lain yang berlalu lalang di sini.
Aku berjalan gontai ke arah koperasi. Tubuhku lemas, mungkin karena kurang tidur malam tadi. Kepalaku pusing, di tambah aku belum sempat sarapan pagi tadi. Tapi, aku harus apa? Aku tidak punya cukup uang untuk membeli makanan. Dan sialnya, hari ini aku juga tidak sempat membawa bekal. Oh Ya Tuhan.. aku harus apa?
Saat sampai di koperasi yang terlihat sangat sepi. Tiba tiba saja pandanganku berputar, semuanya tampak berkunang. Dadaku terasa sangat sesak, hingga kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku sendiri. Aku pasrah Tuhan. Aku sudah tidak kuat lagi untuk berjalan pergi. Aku terlalu lemah untuk itu. Dan saat mataku benar benar memburam, tubuhku terhempas ke belakang.
Tapi, ada sesuatu yang menahanku. Yang membuat tubuhku tidak terjatuh ke lantai. Aku tidak sadar lagi, karena setelah itu semuanya gelap.
