Bab 06 - Hanya Sebatas?
Tidak ingin terpuruk dalam keadaan pahit mengenai kehancuran rumah tangganya Sandra berusaha untuk bangkit demi ketiga anak-anaknya. Mana mungkin dia mengeluh hanya karena Candra yang tidak lagi tertarik padanya.
Setumpuk berkas berada di depannya, niatnya hari ini dia akan pergi untuk melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan ternama. Padahal dirinya saja belum mempunyai pengalaman bekerja di perusahaan besar, hanya seorang warta berita yang selalu mencari informasi hangat. Namun, dia terlalu percaya diri bahwa akan mendapatkan jabatan di posisi yang lebih baik.
Dia melirik ke arah Malika yang masih terlelap di box bayi, sedangkan Alika tengah bermain boneka. Anak sulungnya sedang sekolah, tinggallah dia dengan kedua putrinya di rumah. Kepalanya nyaris membludak dengan segala pemikiran yang sungguh melelahkan hatinya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Jika saja dia mendapatkan panggilan, mungkin nasib ketiga anaknya akan berakhir di pangkuan ibunya. Tidak terasa bulir bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya. Dia menyekanya pelan mencoba untuk menahan tangisnya yang nyaris pecah.
"Aku akan buktikan sama kamu, Kang. Bahwa aku bisa bersanding dengan wanita tipemu. Bahkan aku lebih unggul di bandingkannya." Kedua tangannya mengepal dengan sangat kuat.
Kali ini dia menekankan pada dirinya agar bisa bangkit dari rasa sakit juga keterpurukan. Dia tidak boleh merasa lemah, jika memang bisa harus menunjukkannya pada semua orang terutama suaminya.
Dengan tekad yang kuat dia melampirkan dokumen lalu dikirimkan pada email perusahaan pilihannya. Mungkin, ada beberapa yang membuatnya tersenyum senang begitu pesan email-nya berhasil terkirim semua.
"Semoga saja salah satu di antaranya bisa menerimaku. Semoga saja rezeki untuk anak-anak."
***
"Bagaimana proses perceraianmu dengan istrimu? Selesai?" tanya Weni selaku direktur utama di perusahaan tempat Candra bekerja.
"Masih proses, Bu." Candra menyunggingkan bibirnya ke atas membentuk senyuman manis.
"Kenapa kamu menceraikannya?" tanya Weni. Dia tahu hal ini karena pertemuannya dengan Sandra saat di pusat perbelanjaan.
Mengingat kejadian kemarin Sandra begitu marah melihat suaminya dengan Weni. Hal itu membuat wanita berambut ikal yang masih setia menatap layar monitor mempertanyakan hal tersebut.
"Bukan lagi selera."
Weni tampaknya terkekeh mendengar hal itu, dia merasa aneh dengan alasan pria itu. Baru kali ini dia mendengar ada orang yang tidak lagi berselera pada istrinya sendiri.
"Benarkah begitu? Apa yang terjadi?" tanyanya. Kali ini kedua matanya menatap ke arah Candra secara penuh. Dia mengindahkan kontak matanya dari layar monitor yang hanya melelahkan saja jika terus dipandang lamat-lamat.
"Apa harus ada alasannya, Bu?" tanya Candra, bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman. Padahal dari kejadian kemarin sudah dapat digambarkan jika dia tidak lagi tertarik pada istrinya dengan alasan penampilannya yang terlalu kampungan. Baginya, style kini lebih dipentingkan. Dia sama sekali tidak ingat dengan peran sang istri yang juga seorang ibu dari tiga orang anak.
"Tentu saja. Segala sesuatu yang membuatmu mundur pasti ada alasannya. Ada suatu hal di balik itu, bukankah begitu?" tanya Weni.
Candra kembali terkekeh pelan, tapi beberapa saat kemudian kembali terhenti. Dia memandangi bosnya yang selalu dipanggilnya Ibu sebagai penghormatan karena salah satu karyawan di perusahaannya. Meski kenyataannya usia mereka hanya selisih satu tahun. Pria itu lebih muda dari Weni.
"Saya tertarik pada Ibu." Kalimat pernyataan itu seolah menohoknya, membuat Weni bersusah payah menelan salivanya.
Jawaban dari karyawan kepercayaannya sungguh mengejutkan. Weni tidak bisa berkata apa-apa, setelah lamanya menyendiri tanpa seorang suami akhirnya dia bisa merasakan dicintai oleh seorang pria.
"Jangan terkejut, Bu," ucap Candra dengan tenang. "Perkataan saya bukanlah sekedar lelucon. Ini benar adanya. Saya tertarik pada Ibu jauh sebelum hari ini."
Entah apa yang ada di dalam pikiran Candra sampai dia menyukai bosnya sendiri yang merupakan seorang janda beranak satu. Anaknya seusia dengan putra sulungnya.
"Apa maksud kamu, Candra?" tanya Weni, dia menggeleng. Sesekali memijat pelipisnya yang terasa pening.
"Maaf, jika saya telah lancang, Bu. Lupakan saja." Candra kembali terkekeh seolah tidak ada apa-apa.
Sebelum Candra benar-benar melangkahkan kakinya ke arah ambang pintu dia kembali memandangi bosnya. Lalu membuka suaranya, "kalau gitu saya permisi."
"Soal perasaan itu tidak boleh dilupakan sekali pun tiada terbalas." Weni menjawabnya dengan tenang.
Ucapan Weni menghentikan langkah Candra. Dia berbalik menoleh ke belakang mendapati wanita itu yang kembali berkutat pada komputernya.
"Apakah harus memperjuangkannya?" timpal Candra, dia mencoba untuk memastikan pertanyaannya.
"Pikirkan saja." Weni menjawabnya dengan santai.
Candra menggeleng pelan dia membuang lebih dulu segala pemikiran mengenai Weni. Pekerjaannya masih numpuk dan sudah melambai-lambai memintanya untuk segera diselesaikan.
Wanita berambut ikal itu tersenyum tipis setelah kepergian Candra dari ruangannya. Entah kenapa hatinya merasa menghangat kala pria itu mengatakan perasaannya dengan gamblang. Dia tersipu.
***
"Ma ... kok Papa sekarang jarang pulang sih?" tanya Raka. Anak itu baru saja pulang dari sekolah. Seperti biasanya dia selalu mencari keberadaan sang Ayah.
Akan tetapi, sudah beberapa hari ke belakang ayahnya jarang ada di rumah. Hal itu menjadi tanda tanya bagi putranya.
"Papa sedang ada dinas, Sayang." Menjadi seorang Ibu, Sandra harus bisa menenangkan putra-putrinya.
"Lama ya, Mah?" tanyanya, dilihat dari raut wajahnya anak itu tampak memelas begitu mengatakannya.
"Nanti Papa juga datang kok. Sabar ya, Sayang."
Sandra mengusap lembut puncak kepala putranya. Dia tidak tahu setelah ini harus menjelaskan apa pada putra-putrinya jika mereka menanyakan keberadaan sang Ayah. Memang, Candra masih berada di kota yang sama dengannya, tapi keduanya kali ini sudah tidak lagi bersama.
Tidak lama, ponselnya berdering membuatnya mengernyitkan dahinya begitu memandangi nama suaminya yang tertera di atas layar.
Candra menghubunginya, dan hal itu membuat bibirnya tertarik ke atas. Dia tahu jika suaminya masih mempunyai rasa padanya sehingga kata rindu itu masih ada.
"Nih Papa nelpon, Sayang." Sandra menunjukkan benda pipih itu pada putra sulungnya.
"Aka pengin ngobrol sama Papa."
"Bentar ya, Sayang. Mama terima dulu teleponnya."
Tanpa berpikir berkali-kali Sandra menerimanya, perkataan suaminya tempo hari yang menjatuhkan dirinya seolah dilupakan dalam benaknya.
"Halo, Kang?" tanya Sandra, wanita itu menempelkan ponselnya tepat di telinga kanannya.
Raka menyunggingkan senyumannya dengan sangat manis, menunggu sesi untuknya mengobrol dengan ayahnya. Alika tampaknya mengerti, anak itu mendekati ibunya yang masih setia menggenggam benda pipih di tangannya.
"Iya. Kamu di mana, San?" tanya Candra. Sandra merasa senang karena pria itu menanyakan keberadaannya berarti dia masih peduli padanya.
"Di rumah. Ada anak-anak juga."
"Saya sedang di pengadilan, hanya memberitahumu saja jika perceraian kita sedang diproses."
Jleb ....
Pernyataan yang hanya membuat dadanya terasa sesak. Sandra cukup patah hati dengan apa yang dikatakan suaminya. Candra menggugat cerainya hanya karena penampilannya yang dia katakan kampungan.
Sandra membatin dengan lirih, "apa cintanya hanya sebatas zaman? Perihal penampilan bukan tentang kenyamanan? Seperti itukah cintamu, Kang? Hanya sebatas?"
