Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 07 - Wanita Lain

Sudah berusaha sebaik mungkin membuat surat lamaran kerja, tapi jika belum ada rezekinya hanya bisa mengelus dada untuk menenangkan diri sendiri.

Tidak ada satu perusahaan pun yang menerima lamarannya, hal itu membuat Sandra mengeluh tidak lagi mempunyai semangat.

Keinginannya menjadi wanita karier sekaligus seorang Ibu untuk ketiga anaknya seolah pupus begitu saja. Dia memandangi putra-putrinya yang tengah memainkan mainan.

Tawa Alika pecah seketika mengisi ruang yang terasa hampa. Kebahagiaan anaknya salah satu alasan baginya untuk bertahan. Dia bisa seperti ini pun karena ketiga anaknya.

Tersadar lamunan begitu terdengar suara ketukan pintu di depan rumahnya. Raka bangkit menghampiri pintu utama.

"Pasti itu Papa."

Dengan semangatnya Raka membuka kenop pintu tersebut, tampaklah seorang pria berawakan jangkung yang berdiri di depannya. Dia membawa sebuah amplop warna cokelat.

"Maaf, ini benar rumahnya Bu Sandra Angelia?" tanyanya, dia melongok ke dalam dan menemui wanita yang juga menatapnya.

"Iya. Ada apa, Pak?" tanya Sandra.

"Ada kiriman dari pengadilan, Bu."

Pengadilan? Maksudnya surat perceraiannya dengan Candra? Sudah terlempar ke dasar titik terendah karena lamaran pekerjaannya tidak saja membuahkan hasil, di hari yang sama dia juga mendapatkan pernyataan dari pria yang teramat dicintainya, dia ingin menyudahi hubungan mereka.

Wanita mana yang tidak sakit hati jika digugat cerai tanpa adanya masalah yang yang terjadi di antara mereka. Bahkan alasannya hanya karena tidak adanya ketertarikan lagi. Apa yang terjadi pada suaminya?

Dia mengembuskan napasnya pelan, dadanya terasa sesak begitu mengingat pernyataan suaminya yang tetap kekeuh untuk berpisah dengannya.

Surat tersebut kini berada di tangan Sandra, dia menerimanya dengan keteguhan hati meski sebenarnya wanita itu merasa jika hal ini tidak benar.

"Inikah bukti bahwa kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Kang?" Sandra berucap lirih nyaris tidak terdengar. Tidak terasa air matanya berjatuhan begitu saja membasahi kedua pipinya.

Raka memberengut begitu menyadari ibunya yang tengah bersedih. Dia meraih tangannya pula menggenggamnya dengan sangat kuat.

"Mama kenapa nangis?" tanyanya pelan.

Sandra mengulum senyumnya, dia perlahan menghela napas panjang. Berusaha untuk menahan segala rasa sakit yang ada dalam dirinya.

Wanita itu menyeka air matanya dengan kasar berusaha menyembunyikan segala tangis agar tidak terlihat oleh anaknya. Menjadi sok tegar padahal hatinya sangat rapuh.

"Mama cuman kelilipan, Sayang." Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Sini coba Aka tiup matanya." Sandra mengangguk pelan, dia menunduk menyamakan tinggi badannya dengan sang putra. Anak itu tersenyum senang kala ibunya mulai mendekat. Akan tetapi, pergerakan Raka terkunci begitu kedua tangan ibunya mendekap dengan sangat erat.

Sandra terisak saat itu juga, memeluk putranya dengan kehangatan kasih sayang yang tidak akan pernah hilang. Raka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sang Ibu, dia hanya meresapi rasa kenyamanan yang diberikan ibunya begitu terasa.

"Ibu jauh lebih baik memelukmu, Sayang."

Alika memandangi ibunya juga kakaknya yang tengah nyaman saling mendekap. Sandra akhirnya menyadari keberadaan putrinya, dia melambaikan tangan memintanya untuk ikut berpelukan.

Kedua anaknya masih dini untuk memahami perlakuan ibunya yang terasa berbeda. Bahkan terpancar dari bola matanya tampak ada kesedihan yang disembunyikan.

Raka mengangguk, lalu dia mengulum senyumnya. Anak itu begitu sangat manis membuat Sandra pula ikut membalas senyumannya.

"Mama sayang kalian." Sandra mendekap anak-anaknya dengan sangat erat.

***

Janda beranak satu itu memandangi karyawannya yang tengah berkutat memandangi layar monitor. Sosok Candra memang sangat gigih dalam bekerja, dia tidak pernah letih dalam mengerjakan segala hal. Tidak pernah disangka jika pria itu jatuh hati pada seorang Weni. Wanita yang usianya terpaut satu tahun lebih tua darinya, tapi dia begitu terpana dengan pesonanya.

"Kamu hari ini mau lembur seperti biasanya?" tanya Weni pada Candra. Kali ini pria itu menoleh begitu mendengar pertanyaan dari direktur utama di perusahannya.

Dia mengangguk pelan. " Tentu saja.

"Apa alasannya?" tanya Weni.

"Apa harus ada alasannya?" tanya Candra. Dia menatap Weni dengan tatapan secara penuh.

"Tentu saja. Seperti halnya mencintai, bukankah harus ada alasannya?" ungkap Weni. Sebelah alisnya naik ke atas, membuat Candra terkekeh pelan.

"Hari ini akan kubuat letih hingga tidak ada celah sedikitpun untuk menerima telepon dari siapa saja." Candra mengulum senyumannya.

Benda pipih berwarna biru langit yang dibiarkan tergeletak di sampingnya bergetar membuatnya melirik. Weni pula mengikuti bola mata si pria.

"Istri kamu." Weni menangkap nama sosok Sandra tertera di atas layar.

Dengan cepat Candra memutuskan hubungannya. Dia membiarkannya begitu saja. Perlakuan Weni membuatnya mengernyitkan dahinya kebingungan.

"Kenapa tidak diangkat?" tanya Weni lagi. Dia kembali memberanikan diri untuk membuka suara. Bekerja dengan Candra tidak sehari dua hari, tapi sudah bertahun-tahun dia berada di perusahaannya. Akan tetapi, setelah pria itu mengatakan perasaannya, hatinya seolah terbuka begitu saja.

"Bukankah kamu tahu jika saya sedang sibuk?" Candra memperlihatkan pekerjaannya di atas layar monitor. Padahal proposalnya tidak begitu banyak, tapi dia merasa jika semua itu menjadi beban untuknya malam ini. Dia akan berada di sana, meski semuanya sudah dikerjakan.

Mengenai Sandra, dia seolah tidak ingin berada dalam hidupnya lagi sekali pun ada ketiga anaknya yang dia tinggalkan begitu saja. Keputusannya sudah bulat berpisah dengan istrinya yang begitu sangat baik dan mencintainya dengan tulus demi seseorang yang mulus pula memiliki banyak aset perusahaan. Siapa lagi jika Weni, wanita incaran Candra saat ini? Baginya, sosok Weni jauh berbeda dengan istrinya karena dia lebih modis pula selalu menggetarkan hatinya.

"Baiklah." Weni menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin, mungkin karena dia terlalu lama mendiamkannya.

Candra meliriknya beberapa saat, tanpa disadari bibirnya tersungging ke atas membentuk senyuman bulat sabit yang membuat Weni mengernyit.

"Ada yang aneh?" tanyanya, Candra menggeleng pelan menyudahi kekehannya yang membuat dia salah tingkah.

Sepertinya Candra tengah jatuh cinta, puber kedua setelah menikahi Sandra. Dia kembali menebarkan buih-buih kasih sayang pada Weni, dan ternyata wanita itu cukup perasa peka terhadap segala kondisi yang terjadi dalam hidupnya. Mengenai Candra pun dia justru merasa istimewa karena pria itu melepaskan istrinya begitu saja demi dirinya. Bukankah itu suatu kebahagiaan tersendiri bagi Weni?

Kedua matanya menatap tajam memandangi segala yang ada pada diri Weni. Bahkan di tidak pernah henti memandanginya. Hingga terhenti pada dua belah bibir ranum milik si wanita.

"Kamu berbeda dari Sandra."

"Tentu saja. Karena Sandra bukan aku, begitu juga sebaliknya." Weni menjawabnya masih dengan tenang. "Lalu apa yang kamu inginkan?"

Tampaknya Candra lebih dulu mengembuskan napasnya untuk menetralkan kondisi dirinya. "Memilikimu, Weni."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel