Bab 05 - Tipe Wanita
"Kamu diceraikan Candra? Kenapa? Kok bisa?" tanya wanita paruh baya yang kini tengah menggendong Malika.
Sudah diduga Sandra ibunya akan marah karena dia tidak bisa mempertahankan pernikahannya. Melihat anak-anaknya yang masih dini "Istri Akang pintar masak sekali ya?" ucap Candra, mencubit hidung istrinya dengan gemas.
Perilaku suaminya membuat Sandra tergelitik, setiap harinya selalu saja berhasil membuncahkan hati wanita itu meski dengan lelucon remeh.
Setiap malam keduanya saling berbincang hangat kala kesulitan untuk tertidur. Sandra selalu menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya sembari memejamkan kedua matanya.
Tangan kekar Candra selalu melingkar di pinggang istrinya, sesekali dia mengecup kening sang istri dengan lembut. Pria itu juga selalu menatap Sandra dengan penuh cinta.
Ucapan Dewi sepertinya tidak direspon dengan baik oleh Sandra. Tampaknya dia menggeleng mantap, wanita itu hanya ingin melihat perkembangan pada anak-anaknya. Apalagi Malika si bungsu yang masih membutuhkannya.
Sandra tidak akan kuat jika harus membiarkan anak-anaknya dengan asisten. Sedangkan dia harus berkutat dengan tanggung jawab yang merupakan pekerjaannya.
"Mana bisa, Bu? Aku seorang Ibu dengan tiga orang anak lho sekarang. Dulu pun bekerja bukan di perusahaan besar. Pekerjaanku hanya seorang warta berita saja," keluhnya.
"Kalau memang kamu enggak mau biarin anak-anak diasuh sama orang lain kalau gitu sama Ibu aja." Dewi menawarkan dirinya dengan mantap.
Dewi tetap kekeuh pada sarannya jika Sandra harus belajar untuk bergaul dengan masyarakat luas agar dia bisa menyesuaikan dirinya dengan mereka terutama pekerja kantoran. Wanita paruh baya itu hanya ingin menantunya kembali ke dalam pelukan putrinya. Dia hanya takut jika Sandra akan menjadi janda di usianya yang ke tiga puluh tahun. Padahal, dia saja tidak menikah lagi meski suaminya sudah tiada.
Sandra membatin dalam hati, "apa yang harus kulakukan?"
Wanita itu tidak tahu harus bagaimana menyikapi saran ibunya. Dia hanya tidak ingin jika anak-anaknya kekurangan kasih sayang. Memang, Dewi tidak akan pernah pilih kasih pada mereka. Akan tetapi, seorang Ibu dan peran Nenek dalam hidup anak itu berbeda.
"Sudah, jangan banyak dipikirkan. Ibu akan ambil alih semua pekerjaanmu di rumah terutama menjaga mereka." Pandangan Dewi mengarah pada cucu-cucunya. Seulas senyum tercetak jelas dari raut wajahnya.
"Aku harus kembali memikirkannya, Bu."
***
Sepulang dari rumah ibunya, Sandra membawa kedua anaknya mengunjungi pusat perbelanjaan. Malika berada dalam gendongannya, sedangkan Alika tangannya digenggam dengan erat. Tidak mudah baginya mengurusi tiga orang anak sekaligus, apalagi si pengais dan bungsu jarak usianya yang tidak begitu jauh membuat dia harus lebih ekstra dalam mengurusi mereka.
Dia membeli beberapa kebutuhan untuk keperluannya selama beberapa minggu ke depan. Dimulai dari popok anak sampai makanan pokok, stroller sampai penuh oleh kebutuhannya. Banyak sekali pengeluaran setiap awal bulan. Candra memang masih memberikan uang dengan jumlah yang sama seperti biasanya, hal itu sangat mencukupi hidupnya. Akan tetapi, dia tidak tahu bagaimana nasib hidupnya nanti setelah surat gugatan cerai itu keluar. Apakah Candra akan tetap memberikannya jatah bulanan dengan alasan untuk anak-anak. Apa yang disarankan ibunya jika dia harus bekerja. Bukan hanya untuk mengetahui lebih dalam mengenai penampilan mereka, tapi juga untuk menyambung kehidupannya.
Dia semakin mantap untuk menjadi seorang wanita karier karena keuangan pun harus tetap lancar.
"Saya tidak suka potongan baju seperti itu. Pilihan kamu terlalu kampung." Sandra menangkap suara seorang wanita yang tengah memilah pakaian. Jaraknya tidak jauh darinya, dia menoleh ke sumber suara.
Dadanya bergemuruh lebih cepat tidak karuan, dia menangkap pandangan yang menyakitkan. Wanita itu tengah memantaskan dirinya di depan seorang pria. Terkadang keduanya saling berpandangan begitu kembali melihat pakaian yang hendak dikenakan si wanita berpenampilan modis. Dia mengenakan rok selutut juga berbaju ketat. Blazer warna hitam pekat disampirkan pada kedua pundaknya.
Sandra berusaha menajamkan penglihatannya jika dia tidak salah orang. Pria itu adalah Candra, ayah dari anak-anaknya.
Dia mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Sandra merasa murka pada suaminya yang begitu seenaknya meninggalkannya karena wanita berpenampilan modis.
"Kang!" panggil Sandra dengan suara lantang.
Beberapa pasang mata mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Mereka memandangi Sandra dengan kebingungan, tapi begitu wanita itu mendekati Candra mereka sedikit memahami. Jika wanita itu ada hubungannya dengan si pria.
"Kamu tinggalkanku karena wanita ini?" tanya Sandra, jari telunjuknya mengarah pada si wanita di depannya.
"Apa sih maksud kamu, San? Malu tuh dilihat banyak orang." Candra membisikkan di telinga istrinya. Dia berusaha untuk memelankan suaranya.
"Biarin! Biar semua orang tahu kalau kamu pria enggak bertanggungjawab. Seenaknya ceraikan aku dengan alasan tidak logis." Sandra menggeleng pelan, lalu dia menilik ke arah si wanita di samping Candra.
"Apa sih maksud kamu, Sandra?" Candra memijat pelipisnya yang terasa pening.
"Oh jadi ini tipe wanita idaman kamu, Kang?" Dia tersenyum sinis begitu melirik ke arah si wanita yang kini memutar bola matanya malas.
"Iya. Memang kenapa? Coba lihat dan bandingkan. Dia lebih cantik dan modis daripada kamu. Coba lihat dirimu sendiri, tidak terurus dan terlihat kampungan."
Perkataan dari suaminya membuat Sandra mengeluh. Tepat sekali di depannya ada sebuah cermin besar. Dia mematut dirinya di sana. Berdampingan dengan wanita modis di dekatnya membuatnya tersadar jika dia memang terlihat tidak menarik. Jauh berbeda dengan wanita lain, dia mengakui jika dirinya tidak seperti apa yang diharapkan Candra.
"Tapi, aku sudah memberikan kamu anak-anak yang menggemaskan, Kang. Apa kamu lebih memilih dia dibandingkan anak-anakmu sendiri?" tanya Sandra dengan tatapan mata tajam.
Mendengar apa yang dikatakan oleh sang istri, justru malah membuat Candra terkekeh. Dia seolah meremehkannya.
"Ya, kamu memang sudah memberiku keturunan, tapi percuma juga kalau enggak ada aku, kamu enggak akan bisa punya anak, Sandra." Perkataannya begitu kasar dan sungguh menyakitkan perasaan Sandra.
"Oke aku akui itu, tapi apa yang kamu cari lagi sih, Kang?" tanya Sandra dengan lirih.
"Masih saja kamu menanyakannya seperti itu. Apa belum jelas ya? Aku mencari perempuan yang cantik, jelas dong kalau kamu terbuang, karena sekarang kamu tidak terurus lagi, kamu tidak menarik lagi di mataku!" sergahnya.
"Aku kayak gini pun karena kamu, Kang. Aku harus mengurus anak-anak, aku mengurusi rumah, terus kamu. Dan, kamu tetap mengatakan hal itu sama aku? Semua perempuan yang cantik saja akan berubah pada waktunya, Kang. Semuanya akan berbeda, entah itu menarik atau cantik semuanya akan tampak sama saja setelah beberapa tahun bersama, apalagi mengurusi rumah juga anak-anak yang tidak ada habisnya." Sandra mencoba untuk membela diri.
"Yang jelas, aku mau kita cerai, oke? Selesai." Candra menegaskannya kembali, agar istrinya tidak lagi mengatakan apapun.
