Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Batas yang kubiarkan ada

Malam itu, Nadine berdiri lama di depan kaca kamar. Pandangannya kosong. Wajahnya terlihat lelah meskipun tak satu pun pekerjaan berat ia lakukan hari itu. Bukan tubuhnya yang lelah, tapi hatinya.

Sejak Zahra masuk ke rumah ini, segalanya berubah. Bukan karena Zahra bersalah, tidak sama sekali. Zahra tetap menjadi sahabatnya, bahkan mungkin bagian dari dirinya. Tapi ada sesuatu yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

Perlakuan Mama kini terbagi. Kadang tak adil, meski tak sengaja. Sentuhan yang dulu hanya untuk Nadine kini terasa setengah-setengah. Ucapan “sayang” itu masih ada, tapi dinginnya terasa di balik suara lembut Mama.

Dan malam ini, Nadine memberanikan diri mengucapkan sesuatu yang telah lama terpendam.

“Ayah, Ma…” katanya lirih di ruang keluarga. Suaranya membuat Raka dan Tiara yang sedang duduk membaca langsung menoleh.

“Aku... mau bicara.”

Raka menutup bukunya. Tiara mendekat dengan senyum kecil. “Ada apa, Sayang?”

Nadine menggigit bibir. Matanya memerah, tapi ia berusaha kuat. “Selama ini aku berusaha menerima semuanya. Aku coba berdamai. Tapi jujur… aku merasa seperti tamu di rumah sendiri.”

“Sayang, jangan begitu—”

“Tunggu dulu, Ma,” potong Nadine dengan nada sopan, tapi tegas. “Aku tahu Mama dan Ayah menyayangi Zahra. Dia anak kandung kalian. Dan dia juga baik. Tapi aku juga punya ibu kandung… dan aku belum pernah mengenalnya.”

Tiara tercekat. Matanya melebar.

“Aku ingin tinggal bersama Bu Anita. Bukan karena aku nggak cinta kalian. Tapi karena aku ingin tahu rasanya… dicintai oleh orang yang benar-benar melahirkanku.”

Raka menatap putrinya lama. Tiara menunduk, mencoba menahan air mata.

“Kalau Zahra boleh kembali ke rumah ini dan memanggil Mama, bolehkah aku juga… pulang ke rumah yang seharusnya kupanggil ‘ibu’?”

***

Keesokan paginya, Nadine berdiri di depan rumah sederhana yang dulu hanya ia kenal sebagai tempat tinggal Zahra. Sekarang, rumah itu adalah bagian dari jati dirinya. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Bu Anita muncul dengan matanya membelalak melihat Nadine berdiri dengan koper kecil di tangan.

“Ibu…”

Satu kata itu membuat Anita meneteskan air mata.

Tanpa berkata banyak, Anita meraih Nadine ke dalam pelukan. Pelukan yang mungkin seharusnya terjadi sejak 18 tahun lalu. Hangat. Penuh kasih. Dan penuh duka yang tertunda.

“Maaf, Bu… aku bukan Zahra. Tapi aku anak Ibu.”

Anita mengangguk sambil terus menangis. “Kamu... anakku. Kamu... Nadine. Dan kamu... pulang.”

***

Di rumah keluarga Wibisono, suasana mendadak hampa. Zahra memandangi kamar Nadine yang kini kosong. Ia menyentuh lukisan Nadine yang masih tergantung di dinding. “Kenapa rasanya... aku seperti perampas?”

Tiara duduk di sebelahnya. “Kamu bukan perampas, Sayang. Ini semua hanya... luka yang belum sembuh.”

Zahra memandangi ibunya. “Aku bahagia Mama menerimaku. Tapi sekarang Nadine pergi. Dia terluka. Dan aku... bagian dari penyebabnya.”

Tiara mengusap rambut Zahra. “Mungkin dia butuh waktu. Tapi kalian saling menyayangi, aku tahu itu. Dan kasih sayang sejati... akan selalu menemukan jalan pulang.”

***

Di rumah sederhana itu, Nadine mulai belajar banyak hal, cara mencuci baju sendiri, membantu Anita di warung, menyesuaikan diri dengan suara kipas angin tua, dan rasa sabar dalam antrean kamar mandi pagi-pagi.

Tapi dari semua hal itu, satu yang paling ia pelajari adalah keikhlasan.

Setiap kali Bu Anita menyajikan sarapan sederhana dengan penuh cinta, Nadine menyadari bahwa kebahagiaan tak selalu datang dari kemewahan. Kadang, ia datang dari sentuhan jari ibu yang mengelus pipimu saat kamu batuk, atau dari pelukan hangat di sore hari tanpa banyak kata.

Dan perlahan, luka di hati Nadine mulai sembuh.

***

Zahra mengenakan jaket kampus Universitas Mahardika dengan semangat yang nyaris tertahan. Di wajahnya ada antusiasme, tapi di matanya masih tersisa kegelisahan. Ia menoleh ke sebelah, tempat biasanya Nadine berdiri. Kosong.

Tak ada Nadine di bangku sebelahnya saat sesi orientasi. Tak ada tawa pelan yang biasanya muncul saat mereka saling mengomentari cara bicara dosen atau isi presentasi pembuka.

Karena Nadine... belum mendaftar ulang.

Di rumah Bu Anita, Nadine duduk di depan meja kecil yang biasa digunakan untuk menghitung pendapatan warung. Tangannya memegang brosur kampus yang sudah lusuh, matanya menatap angka-angka kecil yang ditulisnya sendiri di kertas kosong, biaya pendaftaran, uang kuliah semester pertama, akomodasi, buku, dan transportasi.

Angka-angka itu tampak seperti tembok tinggi. Terlalu tinggi.

Bu Anita datang membawa teh manis hangat. “Kamu masih mikirin soal kuliah, Nak?”

Nadine mengangguk. “Aku pengin, Bu. Tapi... rasanya mustahil. Kita harus realistis.”

“Kamu boleh mimpi, Nadine. Tapi jangan sampai mimpi kamu hilang karena takut merepotkan Ibu,” kata Bu Anita lembut. “Kalau kamu mau kuliah, Ibu pasti usahain semampu Ibu.”

Nadine tersenyum, menahan haru. Ia tahu, Bu Anita akan menjual semua dagangannya, bahkan mungkin menggadaikan cincin kawinnya, demi membuatnya sekolah. Tapi Nadine tidak ingin itu terjadi. Ia tahu betapa beratnya hidup mereka.

***

Sore itu, Tiara datang. Sendiri. Ia berdiri di depan rumah sederhana itu sambil membawa map berisi berkas beasiswa dan form pendaftaran ulang. Nadine yang membukakan pintu.

“Maaf, Bu. Maaf kalau saya datang tanpa kabar,” ujar Tiara pelan.

“Silakan masuk,” jawab Nadine sopan, meski ada jarak di nada suaranya.

Mereka duduk di ruang tamu yang sempit tapi hangat.

Tiara menghela napas. “Nadine… Mama tahu sekarang kamu sudah kembali ke tempat yang seharusnya. Dan Mama... mencoba menerima itu, walaupun sulit.”

Nadine menatap perempuan yang dulu ia panggil "Mama". Perempuan yang membesarkannya selama 18 tahun, yang kini seolah menjadi orang asing.

Tiara melanjutkan, “Tapi izinkan Mama menjadi bagian dari hidupmu, walau hanya sebagai orang yang peduli. Bukan karena kamu dulu anak kami, tapi karena kamu tetap bagian dari hati Mama.”

Tiara menyodorkan map di tangannya. “Ini form pendaftaran ulang. Mama juga sudah mengurus beasiswa sebagian. Sisanya biar Mama yang tanggung. Bukan untuk mengambil mu dari Bu Anita. Tapi untuk memastikan kamu tetap punya masa depan.”

Nadine terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Harapan yang sempat ia kubur tiba-tiba disodorkan kembali oleh orang yang dulu ia tinggalkan.

Setelah hening cukup lama, Nadine menggeleng perlahan. “Terima kasih, Ma. Tapi aku nggak bisa menerimanya.”

Tiara mengerutkan kening. “Kenapa?”

“Karena aku sedang belajar berdiri dengan kakiku sendiri. Aku ingin Ibu merasa... aku ini anak yang bisa diandalkan. Bukan beban.”

Tiara menunduk. Ia mengerti. Tapi hatinya perih.

Nadine tersenyum tipis. “Mama tetap bagian dari hatiku. Tapi untuk kali ini, izinkan aku menolak, dengan hormat.”

***

Zahra duduk sendirian di kantin kampus. Suasananya ramai, penuh wajah-wajah baru dan obrolan tentang masa depan. Tapi bagi Zahra, yang ia rasakan justru kesepian. Bukan karena tempat ini buruk. Tapi karena orang yang seharusnya ada bersamanya... memilih menjauh demi kebaikan.

Nadine belum juga masuk kuliah. Dan Zahra tahu alasannya.

Malam itu, Zahra mengirim pesan:

“Aku kangen kita belajar bareng. Kangen kamu mengeluh soal teori komunikasi massa dan warna cat air yang habis. Tapi lebih dari itu, aku kangen kamu yang dulu selalu percaya kita bisa menaklukkan dunia sama-sama.”

Beberapa menit kemudian, Nadine membalas:

“Aku juga kangen. Tapi sekarang aku lagi belajar menaklukkan hidup tanpa bergantung. Aku nggak mundur, Zahra. Aku cuma berjalan lebih lambat. Tapi kita akan sampai, bersama. Nanti.”

Beberapa hari kemudian, Nadine mendapat panggilan dari kampus:

“Anda terpilih sebagai penerima beasiswa penuh kategori ‘Kandidat Inspiratif’ dari jalur pengabdian masyarakat.”

Ia membaca surat itu berulang kali, lalu memeluk Bu Anita sambil menangis.

Akhirnya... jalannya terbuka. Bukan karena belas kasih. Tapi karena ketekunan dan ketulusan yang dilihat orang lain darinya.

Ia mengirim pesan pada Zahra:

“Tunggu aku di Mahardika. Aku menyusul.”

Zahra membalas:

“Selalu. Aku simpan bangku di sebelahku, untuk kamu.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel