Pustaka
Bahasa Indonesia

Kehidupan yang Tertukar

31.0K · Ongoing
Ika Nurpitasari
22
Bab
21
View
9.0
Rating

Ringkasan

Di suatu malam yang penuh hujan di Rumah Sakit Brawijaya, dua perempuan dari dunia yang sangat berbeda tengah berjuang melahirkan anak pertama mereka. Tiara Wibisono, istri dari pengusaha muda yang kaya raya, melahirkan di ruang VIP dengan segala fasilitas mewah. Sementara Anita Pratama, istri dari seorang pegawai rendahan yang penuh tanggung jawab, melahirkan dengan sederhana di ruang bersalin umum yang pengap. Namun takdir sedang bermain kejam. Karena kelalaian rumah sakit dan tekanan malam itu, bayi mereka tertukar. Tiara membesarkan Nadine, yang sebenarnya darah daging Anita. Sementara Anita merawat Zahra, yang sebenarnya adalah anak kandung Tiara. Dua gadis tumbuh dalam kehidupan yang bukan milik mereka. Nadine menjadi gadis pemalu yang merasa asing di tengah kemewahan yang tak pernah ia pahami, sementara Zahra tumbuh menjadi sosok berkelas di tengah kehidupan sederhana yang penuh kasih sayang. Delapan belas tahun kemudian, satu pertemuan takdir mempertemukan mereka dan perlahan membuka rahasia kelam yang telah lama terkubur. Identitas yang runtuh, cinta yang terbelah, dan luka batin dari dua ibu yang harus menghadapi kenyataan memilukan. Saat cinta tumbuh di antara anak-anak yang tertukar, dan keluarga dihadapkan pada pilihan antara darah dan hati, siapa yang akan bertahan? Apakah cinta mampu menyembuhkan luka yang ditorehkan oleh kesalahan masa lalu? "Kehidupan yang Tertukar" adalah kisah tentang keluarga, identitas, dan cinta yang diuji oleh kenyataan pahit. Sebuah drama emosional yang mengaduk perasaan, menggugah hati, dan menyadarkan kita bahwa ikatan bukan selalu soal darah tapi tentang siapa yang tetap tinggal saat dunia mulai berubah.

RomansaKehidupan SosialModernCeritaDramaSelebritiCinta Pada Pandangan PertamaSalah PahamKeluargaWanita Cantik

Bab 1 Satu Tangisan, Dua Takdir

Hujan turun deras malam itu. Langit Jakarta seperti sedang menangis bersama dua perempuan yang tengah menahan sakit luar biasa di dua sisi berbeda rumah sakit yang sama. Rumah Sakit Brawijaya, sebuah gedung tinggi dengan tembok putih mengilap, malam itu menjadi saksi bisu kelahiran dua jiwa yang kelak akan menjalani hidup yang bukan miliknya.

Di ruang bersalin VIP lantai tiga, Tiara Wibisono, perempuan muda dengan wajah cantik dan penampilan elegan, menggenggam tangan suaminya, Raka, dengan erat. Nafasnya tersengal-sengal, peluh membasahi pelipis, dan matanya menatap penuh harap ke arah suaminya yang tampak tegang meski berusaha tenang.

"Aku nggak kuat, Ka... sakit sekali..." isaknya lirih.

“Kamu bisa, Sayang. Kamu kuat. Demi anak kita,” bisik Raka, menunduk dan mencium kening Tiara.

Tiara sudah melewati delapan bulan masa kehamilan dengan segalanya yang serba terbaik dengan dokter terbaik, makanan terbaik, hingga kelas senam hamil di pusat kebugaran ternama. Ia menginginkan segalanya sempurna untuk anak pertamanya. Tapi malam itu, kesempurnaan tak cukup untuk meredakan rasa sakit yang membelah tubuhnya.

Sementara itu, di ruang bersalin umum lantai satu, Anita Pratama menggigit bibirnya menahan jerit. Di sampingnya hanya ada ibunya, Bu Yanti, seorang wanita renta yang menggenggam tangan anaknya sambil membaca doa dalam gumaman lirih.

“Tarik napas... Anita, kamu bisa. Ayo, Nak...” kata Bu Yanti.

Tidak ada fasilitas mewah. Tidak ada pendingin ruangan. Hanya kipas angin yang mengerang pelan. Tidak ada suami di sampingnya. Bayu, suaminya, masih bekerja malam itu sebagai petugas keamanan di kantor kecamatan, mencoba mengumpulkan uang tambahan untuk biaya persalinan.

Di dua ruangan berbeda, dua perempuan itu menangis. Dalam rasa sakit. Dalam harap. Dalam cinta pada sosok mungil yang belum mereka kenal tapi sudah mereka cintai sepenuh jiwa.

Dan pada pukul 23.47 WIB, dua tangisan bayi pecah hampir bersamaan.

Beberapa jam kemudian, dua bayi mungil dibawa ke ruang neonatal oleh perawat yang sama yaitu Suster Dinda, seorang staf baru yang kelelahan karena sudah bekerja lebih dari dua belas jam. Gelang identitas bayi di tangan kanan, seharusnya membedakan bayi siapa yang mana. Tapi dalam satu momen panik dan kelelahan, Suster Dinda tertukar dalam mencatat dan mengganti identitas gelang.

Satu bayi kembali ke pelukan Tiara terlihat mungil, berambut ikal, dan tampak tenang saat digendong. “Cantiknya anak kita, Ka... Mirip kamu,” bisik Tiara.

Sementara Anita memeluk bayi yang sesungguhnya bukan darah dagingnya dengan air mata haru. “Selamat datang, Nak... Zahra, kamu hadiah dari Tuhan...”

Mereka tak pernah tahu. Tak seorang pun tahu. Kesalahan itu akan membentuk takdir baru, membelokkan jalan hidup dua anak perempuan, dan membongkar luka yang akan sulit disembuhkan di masa depan.

***

Malam itu, hujan berhenti. Tapi badai sesungguhnya... baru saja dimulai.

Delapan belas tahun berlalu.

Jakarta tetap sama terlihat sibuk, bising, dan penuh hiruk-pikuk ambisi. Tapi dua gadis yang tumbuh dari rahim yang salah, hidup dalam dunia yang sangat berbeda.

Di sebuah rumah besar berarsitektur modern di kawasan Menteng, Nadine Wibisono berdiri di balik jendela kamarnya yang luas. Tangannya menggenggam kuas, membubuhkan warna-warna lembut ke atas kanvas. Lukisan bunga matahari, kesukaannya sejak kecil. Senyap dan hangat seperti dirinya. Meski tinggal di rumah megah, Nadine tak pernah merasa sepenuhnya menjadi bagian dari dunia itu.

Ia bukan seperti Rayhan, adik laki-lakinya, putra kandung Tiara dan Raka yang lahir dua tahun setelah dirinya. Rayhan pandai bicara, percaya diri, selalu jadi pusat perhatian. Sedangkan Nadine lebih sering diam, menyendiri, dan merasa asing di rumahnya sendiri.

“Kenapa kamu nggak ikut ke acara gala dinner malam ini, Nadine?” tanya Tiara dari pintu kamar, mengenakan gaun berkilauan.

“Aku ada tugas seni, Ma. Lagipula, aku nggak nyaman di acara-acara seperti itu,” jawab Nadine pelan.

Tiara hanya mengangguk, tapi ada luka kecil di matanya. Selama bertahun-tahun, ia selalu mencoba memahami Nadine. Tapi ada jarak yang tak bisa dijembatani. Bukan karena Tiara tak menyayangi anaknya, tapi karena dalam hati terdalamnya, ia kadang bertanya... mengapa Nadine tak memiliki satu pun ciri Raka ataupun dirinya?

Sementara itu, di sudut kota Jakarta yang berbeda di gang sempit di daerah Rawamangun Zahra Pratama tengah membantu ibunya, Anita, merapikan lapak kecil warung kelontong di depan rumah. Rambutnya di kuncir rapi, wajahnya bersih dan cerah meski hidup dalam kesederhanaan. Zahra punya semangat hidup yang menular. Ia pintar, kritis, dan punya kepekaan sosial yang tajam.

“Zahra, kamu beneran nggak mau ikut kerja di kantor kelurahan kayak Ayahmu?” tanya Anita sambil menyapu.

“Nggak, Bu. Aku mau jadi jurnalis. Aku pengen nulis tentang orang-orang kecil yang nggak pernah didengar. Kayak kita.”

Anita tertawa kecil. “Kamu ini... gaya ngomongmu itu, kadang bikin Ibu lupa kamu anak warung.”

Zahra tersenyum. Tapi jauh di hatinya, ia sering bertanya-tanya, mengapa ia merasa asing dari lingkungan tempat ia dibesarkan? Ia selalu merasa ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda bukan karena sombong, tapi karena ia merindukan sesuatu yang bahkan tak bisa ia definisikan.

Dan di saat yang bersamaan, takdir mulai menautkan mereka.

***

Festival antar SMA se-Jakarta digelar di taman kota. Nadine mewakili sekolahnya dalam lomba melukis langsung. Zahra datang sebagai finalis lomba debat. Saat waktu istirahat, dua gadis itu bertemu tanpa sengaja di dekat stan makanan.

“Maaf... ini kamu yang lukis?” tanya Zahra, menunjuk kanvas Nadine yang menampilkan pemandangan kota dengan nuansa kesepian.

Nadine mengangguk pelan. “Kamu suka?”

“Entah kenapa... lukisan ini terasa... sepi. Tapi jujur. Kaya orang yang hidup di tengah keramaian tapi merasa nggak ada yang benar-benar mengerti,” ujar Zahra, tanpa sadar menatap mata Nadine cukup lama.

Nadine terkejut. Biasanya orang hanya bilang lukisannya ‘cantik’ atau ‘unik’. Tapi baru kali ini ada yang membaca lukisannya seperti membaca isi hatinya.

“Kamu bisa membaca perasaan orang dari warna, ya?” tanya Nadine.

Zahra tertawa kecil. “Mungkin karena aku sendiri juga sering ngerasa gitu.”

Dari percakapan singkat itu, ada sesuatu yang bergerak di dalam dada mereka. Hangat. Aneh. Dekat. Seperti bercermin pada seseorang yang baru dikenal tapi rasanya sudah lama sekali hadir.

Dan di tempat yang lain, Tiara yang datang menghadiri festival mewakili yayasan seni yang ia kelola menatap Zahra dari kejauhan, tak sengaja. Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam wajah gadis itu... sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Tatapan itu menusuk.

Seperti melihat potongan dirinya sendiri yang hilang.

Tiara tidak bisa tidur malam itu.

Wajah Zahra terus membayang di benaknya. Sorot matanya. Senyum tipisnya. Cara bicara yang begitu tegas tapi halus. Bahkan garis rahangnya...

Mengapa terasa begitu familiar?

Ia duduk di ranjang sambil menggenggam ponsel, membuka ulang foto-foto dari festival tadi siang yang diambil oleh panitia yayasan. Foto Zahra berdiri di antara rekan debatnya tak sengaja muncul dalam bingkai kamera dengan pencahayaan yang tak bisa berbohong. Gadis itu tampak bersinar, bukan hanya karena kecantikannya, tapi karena aura yang membuat Tiara menggigil.

“Kenapa aku merasa dia…”

Tiara tak melanjutkan kalimatnya. Ia bahkan tak berani menyebutkannya dalam hati.

Sementara itu, Zahra di kamarnya tengah menulis artikel untuk buletin sekolahnya. Tapi pikirannya melayang pada Nadine. Gadis pelukis itu begitu berbeda. Diam, lembut, dan seolah hidup di antara dua dunia yang satu kaya tapi kosong, satu lagi... entah di mana.

Zahra menghela napas, memandangi langit-langit kamarnya yang retak. Ia merasa aneh. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ingin tahu tentang seseorang. Bukan sebagai bahan liputan. Tapi sebagai... rasa yang tak bisa ia definisikan.

***

Beberapa hari kemudian, sebuah panggilan dari rumah sakit membuat hidup Tiara berubah.

“Bu Tiara, kami sedang melakukan audit dokumen lama tahun 2000-an awal. Ada hal yang ingin kami klarifikasi soal catatan kelahiran putri Anda,” ujar suara dari ujung telepon.

“Catatan kelahiran?” Tiara tercekat. Tangannya bergetar.

“Iya, ada inkonsistensi di nomor gelang bayi. Kami sedang mencocokkan ulang arsip dan... ada kemungkinan bahwa gelang identitas bayi tertukar malam itu. Kami ingin bertemu langsung untuk menjelaskan secara detail.”

Tiara membeku.

Tertukar?

***

Seminggu kemudian, di sebuah ruangan tertutup di Rumah Sakit Brawijaya, dua keluarga dipertemukan. Tiara dan Raka duduk berdampingan, wajah tegang. Anita dan Bayu duduk di seberang mereka, bingung dan gugup.

Dokter menunjukkan hasil pemeriksaan data ulang dan hasil DNA yang baru dilakukan secara rahasia untuk kepentingan konfirmasi.

“Berdasarkan data yang kami telusuri dan hasil tes DNA... Nadine bukan anak kandung Ibu Tiara dan Bapak Raka. Zahra juga bukan anak kandung Ibu Anita dan Bapak Bayu.”

Senyap.

Seperti waktu berhenti.

Tiara menutup mulutnya, gemetar. Raka mengatup rahangnya, matanya memerah.

Anita menatap Zahra yang duduk di sampingnya dengan mata berlinang. “Zahra… bukan… anakku?” gumamnya patah.

Zahra menatap semua orang di ruangan itu. Tubuhnya menegang. “Maksud kalian... aku… tertukar sejak lahir?”

Tak ada yang menjawab. Hanya linangan air mata.

Tiba-tiba, Zahra merasa seluruh hidupnya adalah kebohongan.

***

Malam itu, Nadine berdiri di kamarnya yang senyap. Ia baru pulang dari galeri kecil tempat ia belajar. Belum tahu apa pun tentang rahasia besar yang meledak di ruang pertemuan siang tadi.

Tiara masuk dengan langkah pelan. Di tangannya ada foto lama terlihat bayi mungil dengan mata besar dan senyum lebar.

“Nadine…” katanya lirih.

Nadine menoleh. “Ada apa, Ma?”

Tiara menatap putrinya lama. Sangat lama. Lalu ia memeluknya erat-erat.

“Mama... cuma mau bilang, apapun yang terjadi... kamu tetap anak Mama.”

Nadine mengerutkan kening. “Maksud Mama apa?”

Tapi Tiara tak menjawab. Ia hanya menangis dalam diam.

Sementara itu, Zahra duduk di atap rumah sederhananya, menatap langit Jakarta. Angin malam menyentuh wajahnya, dingin dan menusuk. Ia menggenggam surat rumah sakit yang baru ia baca sendiri.

"Siapa aku sebenarnya?" bisiknya.

Untuk pertama kalinya, Zahra merasa kosong. Kosong seperti lukisan Nadine.